nacu (
oceansahead) wrote in
sheepandwolf2015-07-28 11:10 pm
![[personal profile]](https://www.dreamwidth.org/img/silk/identity/user.png)
![[community profile]](https://www.dreamwidth.org/img/silk/identity/community.png)
Entry tags:
stallone and statham won't even bother.
stallone and statham won't even bother;
741w.
Mengalahkan seru-seruan Van Damme dan bunyi peluru dari Stallone, mengacuhkan kemunculan Chuck Norris membawa machine gun kaliber dewa, Seunghyun menoleh ke sebelah kanannya dan mengerutkan dahi.
“Ha?”
Ulat bulu bertengger di jidat, begitu kata Tian Kai dulu; gadis itu mengingat-ingat sembari mendelik pada alis Seunghyun dan bergerak sedikit, seolah tidak nyaman. Lengan Seunghyun ada di sekeliling bahunya, dan pemuda itu mengangkatnya seiring Tian Kai mengernyit ke arah tempat duduk mereka seperti sofa itu pendosa.
“Sempit. Kamu nggak ngerasa?” Tian Kai mengulang, menyingkirkan sekantung keripik agar tidak tumpah ke selimut di pangkuan. Seunghyun memandang ke sekeliling tidak mengerti. Sofa itu kelihatan nyaman-nyaman saja, sepanjang sejarah dia berkunjung ke flat Tian Kai semenjak tiga tahun yang lalu. Televisi menyuarakan lebih banyak ledakan, dan mereka berdua tidak peduli.
Tian Kai mengeluarkan suara seperti mendengus saat Seunghyun menariknya lagi ke pundaknya dan bilang, “nggak,” dengan lugas, dan Tian Kai masih belum berhenti bergerak di sebelahnya, “ya. Stallone mau one on one. Kamu kayak cacing kepanasan.”
Satu kaki naik, kemudian turun, lalu perpindahan bantal-bantal dari satu sisi ke sisi yang lain. Entah gerah, entah jadi susah merebah. Gadis itu sendiri juga aneh. Baru menyadari evolusi massa badan setelah tiga tahun lamanya? Hei. Seunghyun harus menyibak selimut tipis yang mereka pakai untuk melihat di mana mereka duduk, kembali meleng tepat ketika Bruce Willis muncul di layar. Film yang mereka tonton baru berjalan selama empat puluh menit.
“Tapi—hah. Aku juga nggak ngerti,” mendengar pernyataan gadis itu, kembali Seunghyun bingung. Siapa juga yang akan mengerti? Gadis-gadis bukan cuma tahu soal makeup dan tinggi hak sepatu, tapi juga luas persis sebuah sofa dan berapa banyak spasi yang bokong mereka pakai. Hah. Ini aneh, tapi nggak juga; Seunghyun tidak pernah berpikir badan mereka membengkak sampai sebesar apa. Sofa ini luas, kok.
“Aku lebih nggak ngerti,” disuarakan pemuda itu saat Tian Kai menggeliat dan merapatkan bibirnya, bikin geli yang melihat. Selimut kembali ditariknya dan kening itu belum juga lepas dari lipatan.
“Kayaknya dulu aku bisa selonjoran dengan leluasa, deh,” gadis itu mencoba meluruskan kakinya ke samping, menghadiahkan sebuah “…bukannya sekarang juga bisa—duh, oi,” dari pihak yang didorong ke pinggir sofa secara brutal—dalam momen itu, Seunghyun berpikir, kayaknya memang makin sempit. Seolah bisa membaca pikirannya, Tian Kai mendongak dan dari sini Seunghyun bisa menghitung banyak lekuk di keningnya. Katanya, “iya kan?” dan Seunghyun tidak menjawab karena dia menahan napas.
Kaki Tian Kai dilipat kembali, dan Seunghyun menarik bungkus keripik itu mendekat karena dia masih dengan kurang ajarnya belum kenyang setelah burger yang mereka beli. Kini Statham yang ada di TV, bicara dengan nada-nada serius kepada entah siapa. Rasanya akan ada adegan kolosal naik suatu kendaraan epik sehabis ini. Tian Kai masih bergerak sedikit di atas bantalan lengannya, dan rambut pendeknya menggelitik kulitnya. Meski memang rasanya menyusut, tapi Seunghyun cuma tahu satu hal: adaptasi.
“Kita juga makin besar, tahu,” Seunghyun berkata sembari mengangkat kaki Tian Kai dua-duanya untuk ditumpangkan di atas pangkuannya, “dan berat. Mana kerjanya nonton melulu. Makanya jangan kaget,” pipinya menyentuh ubun-ubun gadis itu, “nanti lama-lama sofa ini juga nggak akan muat buat kita. Ya. Aku nggak ngerti filmnya sampai mana.”
Aku-juga-nggak-tahu dari Tian Kai datangnya serupa cicitan, dan Seunghyun tertawa sambil menaikkan selimut sampai leher mereka. September membawa hawa yang bikin menggigil, dan film seepik Expendables tidak bisa dilewatkan separuh beku. Keripik mereka tinggal separuh bungkus. Gadis itu sudah berhenti bergerak dan kini matanya menuju pada Arnold Schwarzenegger yang lagi-lagi bilang ‘I’ll be back’ sebagai lelucon berjalan. Kepalanya bergerak di sebelah lehernya.
Masih ada ledakan, ayunan pisau, dan bunyi pertarungan tangan kosong yang ditampilkan di layar. Tangannya mencubit pipi Tian Kai sekali, dua kali, sampai yang empunya protes lalu bilang bahwa Stallone akan one on one sekali lagi dan dia harus lihat. Seunghyun terkekeh. Mereka sudah tidak butuh selimut karena begini saja rasanya sudah hangat. Tayangannya adiktif dan bikin sekadar tembak-tembakan belaka jadi seru sekali; mata mereka ada di televisi, namun kaki mereka tumpang tindih.
Mereka tidak bergerak—kecuali untuk cubit-dan-gigit yang semuanya dibalas dengan tangan yang mendorong setengah hati—hingga hampir satu jam kemudian, ketika semua ledakan berakhir seperti big bang raksasa, semua orang berdarah, dan mereka tidak sadar bahwa pintu flat sudah dibuka.
Hingga, “kalian, mm, sudah makan?” yang diusahakan terdengar kasual oleh bibi Tian Kai itu membuat mereka reflek hampir melompat dan memberi jarak kurang lebih tiga puluh senti antara pundak dengan pundak.
Kaki mereka masih saling bertindihan hingga di layar kaca ditampilkan puing-puing dinding hangus dan Sylvester Stallone yang melangkah gagah di antaranya.
end.
741w.
Mengalahkan seru-seruan Van Damme dan bunyi peluru dari Stallone, mengacuhkan kemunculan Chuck Norris membawa machine gun kaliber dewa, Seunghyun menoleh ke sebelah kanannya dan mengerutkan dahi.
“Ha?”
Ulat bulu bertengger di jidat, begitu kata Tian Kai dulu; gadis itu mengingat-ingat sembari mendelik pada alis Seunghyun dan bergerak sedikit, seolah tidak nyaman. Lengan Seunghyun ada di sekeliling bahunya, dan pemuda itu mengangkatnya seiring Tian Kai mengernyit ke arah tempat duduk mereka seperti sofa itu pendosa.
“Sempit. Kamu nggak ngerasa?” Tian Kai mengulang, menyingkirkan sekantung keripik agar tidak tumpah ke selimut di pangkuan. Seunghyun memandang ke sekeliling tidak mengerti. Sofa itu kelihatan nyaman-nyaman saja, sepanjang sejarah dia berkunjung ke flat Tian Kai semenjak tiga tahun yang lalu. Televisi menyuarakan lebih banyak ledakan, dan mereka berdua tidak peduli.
Tian Kai mengeluarkan suara seperti mendengus saat Seunghyun menariknya lagi ke pundaknya dan bilang, “nggak,” dengan lugas, dan Tian Kai masih belum berhenti bergerak di sebelahnya, “ya. Stallone mau one on one. Kamu kayak cacing kepanasan.”
Satu kaki naik, kemudian turun, lalu perpindahan bantal-bantal dari satu sisi ke sisi yang lain. Entah gerah, entah jadi susah merebah. Gadis itu sendiri juga aneh. Baru menyadari evolusi massa badan setelah tiga tahun lamanya? Hei. Seunghyun harus menyibak selimut tipis yang mereka pakai untuk melihat di mana mereka duduk, kembali meleng tepat ketika Bruce Willis muncul di layar. Film yang mereka tonton baru berjalan selama empat puluh menit.
“Tapi—hah. Aku juga nggak ngerti,” mendengar pernyataan gadis itu, kembali Seunghyun bingung. Siapa juga yang akan mengerti? Gadis-gadis bukan cuma tahu soal makeup dan tinggi hak sepatu, tapi juga luas persis sebuah sofa dan berapa banyak spasi yang bokong mereka pakai. Hah. Ini aneh, tapi nggak juga; Seunghyun tidak pernah berpikir badan mereka membengkak sampai sebesar apa. Sofa ini luas, kok.
“Aku lebih nggak ngerti,” disuarakan pemuda itu saat Tian Kai menggeliat dan merapatkan bibirnya, bikin geli yang melihat. Selimut kembali ditariknya dan kening itu belum juga lepas dari lipatan.
“Kayaknya dulu aku bisa selonjoran dengan leluasa, deh,” gadis itu mencoba meluruskan kakinya ke samping, menghadiahkan sebuah “…bukannya sekarang juga bisa—duh, oi,” dari pihak yang didorong ke pinggir sofa secara brutal—dalam momen itu, Seunghyun berpikir, kayaknya memang makin sempit. Seolah bisa membaca pikirannya, Tian Kai mendongak dan dari sini Seunghyun bisa menghitung banyak lekuk di keningnya. Katanya, “iya kan?” dan Seunghyun tidak menjawab karena dia menahan napas.
Kaki Tian Kai dilipat kembali, dan Seunghyun menarik bungkus keripik itu mendekat karena dia masih dengan kurang ajarnya belum kenyang setelah burger yang mereka beli. Kini Statham yang ada di TV, bicara dengan nada-nada serius kepada entah siapa. Rasanya akan ada adegan kolosal naik suatu kendaraan epik sehabis ini. Tian Kai masih bergerak sedikit di atas bantalan lengannya, dan rambut pendeknya menggelitik kulitnya. Meski memang rasanya menyusut, tapi Seunghyun cuma tahu satu hal: adaptasi.
“Kita juga makin besar, tahu,” Seunghyun berkata sembari mengangkat kaki Tian Kai dua-duanya untuk ditumpangkan di atas pangkuannya, “dan berat. Mana kerjanya nonton melulu. Makanya jangan kaget,” pipinya menyentuh ubun-ubun gadis itu, “nanti lama-lama sofa ini juga nggak akan muat buat kita. Ya. Aku nggak ngerti filmnya sampai mana.”
Aku-juga-nggak-tahu dari Tian Kai datangnya serupa cicitan, dan Seunghyun tertawa sambil menaikkan selimut sampai leher mereka. September membawa hawa yang bikin menggigil, dan film seepik Expendables tidak bisa dilewatkan separuh beku. Keripik mereka tinggal separuh bungkus. Gadis itu sudah berhenti bergerak dan kini matanya menuju pada Arnold Schwarzenegger yang lagi-lagi bilang ‘I’ll be back’ sebagai lelucon berjalan. Kepalanya bergerak di sebelah lehernya.
Masih ada ledakan, ayunan pisau, dan bunyi pertarungan tangan kosong yang ditampilkan di layar. Tangannya mencubit pipi Tian Kai sekali, dua kali, sampai yang empunya protes lalu bilang bahwa Stallone akan one on one sekali lagi dan dia harus lihat. Seunghyun terkekeh. Mereka sudah tidak butuh selimut karena begini saja rasanya sudah hangat. Tayangannya adiktif dan bikin sekadar tembak-tembakan belaka jadi seru sekali; mata mereka ada di televisi, namun kaki mereka tumpang tindih.
Mereka tidak bergerak—kecuali untuk cubit-dan-gigit yang semuanya dibalas dengan tangan yang mendorong setengah hati—hingga hampir satu jam kemudian, ketika semua ledakan berakhir seperti big bang raksasa, semua orang berdarah, dan mereka tidak sadar bahwa pintu flat sudah dibuka.
Hingga, “kalian, mm, sudah makan?” yang diusahakan terdengar kasual oleh bibi Tian Kai itu membuat mereka reflek hampir melompat dan memberi jarak kurang lebih tiga puluh senti antara pundak dengan pundak.
Kaki mereka masih saling bertindihan hingga di layar kaca ditampilkan puing-puing dinding hangus dan Sylvester Stallone yang melangkah gagah di antaranya.
end.