nacu (
oceansahead) wrote in
sheepandwolf2021-01-17 12:33 am
![[personal profile]](https://www.dreamwidth.org/img/silk/identity/user.png)
![[community profile]](https://www.dreamwidth.org/img/silk/identity/community.png)
Entry tags:
heavenhell comes in white feathers
807 words.
post-apocalypse AU.
Pada hari kesembilan puluh tiga setelah separuh dunia mulai menghilang, Seunghyun mengaku bahwa dia pernah tidur dengan orang lain.
post-apocalypse AU.
Pada hari kesembilan puluh tiga setelah separuh dunia mulai menghilang, Seunghyun mengaku bahwa dia pernah tidur dengan orang lain.
“Dia rekan kerjaku,” katanya datar, belum menyentuh sekaleng Hite di atas meja, “hanya sekali. Setahun yang lalu. Saat kamu pulang ke Shanghai.”
Tiankai selalu mengira fakta seperti ini akan harus ditelannya suatu hari, tapi tak disangka hatinya begitu tumpul. Dalam hubungan yang serba non-eksklusif di dunia modern, Seunghyun dan Tiankai tidak pernah berjanji untuk mengistimewakan satu sama lain—mereka terjebak bersama, atau begitulah labelnya. Setahun yang lalu, mereka bertengkar hebat. Setelah dua minggu tarik-ulur mereka memutuskan untuk terus bersama. Waktu itu, Tiankai tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat.
“Maaf,” Seunghyun melanjutkan, menatap lantai yang mengilat, “aku nggak tahu apakah besok kita masih—apakah aku yang akan… aku nggak mau menyesal.”
Seharusnya Tiankai bisa membantah, bertanya kenapa baru menyesal sekarang, saat petak-petak besar metropolitan Seoul kini digantikan kekosongan putih layaknya kabut. Saat kantornya sudah tak lagi berdiri, tonggeret tidak berderik, lusinan orang yang dia tahu tidak lagi berada di dunia.
Sebaliknya, Tiankai hanya menghela napas dan balik mengaku: “aku juga pernah. Di Shanghai. Dia teman kakakku.” Dia menatap Seunghyun lurus-lurus. “Aku nggak menyesal.”
Seunghyun menatapnya tak berkedip, namun setelahnya dia mengangguk.
Malam itu mereka tetap tidur saling merangkul.
-
Mulanya mereka tidak ambil pusing.
Kilas berita tentang sekawanan antelop yang menghilang di savana Afrika, tuna dan kod yang tak lagi bisa dijaring di lautan, suara jangkrik yang menghilang di antara ilalang. Kepunahan satwa, katanya. Propaganda pemanasan global. Itu kabar yang mereka dengar sepulang kerja dengan bir ditenggak, makanan cepat-saji yang dibawa pulang, atau sembari gosok gigi di tengah malam. Oh. Ya, besok kita bawa kantong belanja sendiri, lah, padahal bukan itu masalahnya.
Kantor Seunghyun diliburkan tanpa alasan yang jelas, sementara Tiankai mulai menemukan kejanggalan di berita yang harus diterjemahkannya—paragraf-paragraf yang dicoret hitam seluruhnya. Kasus orang hilang semakin menjadi di minggu kedua. Mulanya satu rumah di pinggiran Seoul, kemudian seisi panti jompo di Paju, hingga sejumlah menteri nasional yang harus diganti tanpa sebab.
Mulanya polisi dikerahkan, dan saat kasusnya buntu NIS membuka investigasi publik. Kemudian, mereka mendengar berita internasional bahwa PBB mendeklarasikan keadaan darurat. Sebuah negara di Eropa menghilang seluruhnya, daratan musnah menjadi putih yang hampa. Tidak ada apa-apa. Tanah, tanah, rumput, aspal… kemudian kekosongan. Mereka menerjunkan helikopter dan kamera untuk menyorotnya dari antariksa, tetapi putih yang datang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
-
Artikel, dokumenter, dan berita muncul bertubi—jahitan di semesta sudah runtuh, dan tidak ada yang bisa menjelaskan. Mereka hanyalah debu di galaksi yang luas, dan siapa pun yang membangun dunia ini sudah tidak bisa lagi membiarkannya berdiri.
Maka, mereka memutuskan untuk menunggu saatnya pudar.
Akhir dunia datang begitu cepat pada awalnya, kemudian semakin pelan seiring waktu, membiarkan sisa nyawa yang bernapas untuk menunggu kapan giliran mereka. Tiankai kadang berharap dia pergi terlebih dulu. Dia tidak bisa hidup dengan kegelisahan, takut untuk tidur dan membuka mata tanpa siapa-siapa di sisi kasurnya, bangun di apartemen yang kosong… dia tidak bisa berhenti menghitung,
Satu menit lagi. Mungkin sepuluh detik lagi. Mungkin sekarang, ini napas terakhirku, kerjapan mata terakhirku.
Dia masih bangun setiap pagi dengan Seunghyun di sebelahnya, mata terbuka lebar.
-
Keluarga besar Seunghyun sudah menghilang di minggu-minggu awal. Sebulan setelahnya, Tiankai mendapat telepon dari Shanghai yang mengatakan rumah keluarganya kosong tak bersisa. Dua bulan kemudian, hanya seminggu yang lalu, Tiankai membuka pintu apartemen kakaknya untuk menemukan keheningan. Dia bahkan tidak tahu sejak kapan Donghai pergi.
“Aku sudah sendirian sekarang,” Tiankai berbisik malam itu di sebelah Seunghyun, memeluk dirinya sendiri di balik selimut yang tipis, merasakan angin tanpa derik serangga dan kicau burung senja.
Seunghyun tidak akan tahu apa rasanya sampai dua minggu kemudian, saat dia menemui adiknya di rumah masa kecilnya. Soori sedang menyeduh teh di dapur, dan semenit kemudian saat Seunghyun membalik badan, gadis itu sudah lenyap.
Menyetir pulang dengan kalut, air mata menetes di dasbor, Tiankai di sebelahnya membisu. Pulang, menaiki tangga, menutup pintu hingga berdebam, saling memeluk hingga malam.
Kapan giliranku?
-
Bangun pukul dua pagi, nyaris tidak terlelap. Saling memandang satu sama lain di tengah gelap. Kapan mereka bisa tenang, kalau detik berikutnya bisa saja mereka hilang?
Mungkin hari ini Seunghyun.
(Mendorong bubur masuk kerongkongan, memuntahkannya di toilet. Hampir minum satu kapsul lebih banyak dari yang seharusnya.)
Atau Tiankai.
(Tidak tidur lagi, tidak pernah tidur lagi. Jemari yang penuh tremor, serangan panik hingga seluruh tubuhnya bergetar, keinginan untuk membuang semua pisau.)
-
Apartemen mereka terasa menipu.
(Sepertinya dulu mereka punya rak pajangan di sini, isinya sertifikat penghargaan Seunghyun. Bukankah mereka punya banyak kaktus di pinggir jendela? Bukankah lebih banyak buku di lemari?)
Menghilangkah?
(Tidur, bangun, tidak ada bedanya. Malam ini Seunghyun akan menghilang.)
Atau mereka memang sudah membuangnya bertahun-tahun lalu?
(Bukan. Tiankai.)
Apakah kamu mau jadi yang pergi terlebih dulu,
atau jadi yang tersisa paling akhir?
Satu pagi, beberapa hari lagi,
seorang di antara mereka akan terbangun di apartemen yang kosong,
sendirian.