scarletise: (photowalls)
scarletise ([personal profile] scarletise) wrote in [community profile] sheepandwolf2016-01-24 01:04 am
Entry tags:

those monsters in our sleep

prompt: sleeping
1729 words.


those monsters in our sleep

-

(Ayo kita putar ulang. Seperti dulu. Tujuh belas, delapan belas, sembilan belas, dua puluh. Tidakkah kamu mau?)

-






i.

Bertemu berarti bertemu dan melepas rindu, dan sudah itu saja. Enam bulan lebih sudah cukup untuk membuatnya terbiasa dengan keadaan dan berkata ringan bahwa dia bisa berkunjung ke Shanghai bulan itu. Mengambil tiga hari libur. Akan menyenangkan bertemu Tiankai, dan hanya itu. Seunghyun sudah memastikan kalau dia sudah terbiasa. Karena itu--tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Dia datang dengan senyuman--tangan yang meraih dan bergandengan. Mereka membuat jadwal yang normal. Ayo bertemu dan berjalan-jalan. Ada batasan yang tidak mereka katakan. Tidak perlu: karena mengatakannya hanya akan membuat batas itu jadi semakin terasa. Lagipula, dulu juga, mereka pernah mengenal hari-hari seperti ini. Yang hanya mengenal cahaya matahari siang hari dan jalanan yang menunggu untuk dikitari. Petualangan kecil yang berakhir dengan perpisahan di koridor, berlari, mengingatkan masing-masing jadwal di keesokan hari.

"Kamu belum pernah ke sini, kan?"

Gadis itu membawanya ke sebuah dunia asing. Ini bukan tempat yang belum pernah didatanginya, bukan tempat yang tak pernah didengarnya. Namun tetap saja berbeda. Cuaca lebih dingin dan salju rintik-rintik. Mereka berjalan cepat di antara orang-orang dan cahaya lampu reklame, lalu berhenti sejenak di kios makanan. Seunghyun berjalan mengikuti dengan membawa payung. Ada pesanan, kata Tiankai sambil berjalan, lalu tersela oleh kalimat bahasa mandarin karena mereka baru saja menyenggol orang.

Mereka memutuskan untuk membuat pola baru, agar terbiasa. Mungkin itu keputusan yang tidak mereka ambil dengan kata-kata. Seperti ketika kemarin, mereka bertemu dengan orangtua Tiankai--lagi, bukan kesempatan yang pertama. Mereka makan dan bercakap dengan kalimat terpatah-patah, tawa yang separuhnya karena tidak mengerti. Ibu Tiankai tidak berkata apa-apa. Ayah Tiankai mengajaknya bicara di dekat jendela yang besar, menghadap kebun, berbicara dengan punggung. Ada halangan bahasa di antara mereka. Namun Seunghyun tahu dia tidak akan pernah bisa menjawab dengan benar-benar biarpun misalnya dia bisa lancar bicara.

(Karena untuk jawabannya, Seunghyun tidak tahu. Apa yang dia mau?)

Celotehan cepat yang tak tertangkap telinga masuk ke kepalanya sebagai sebuah dengungan. Ketika mengangkat kepala, ia melihat gadisnya yang berkata, dengan lincah memesankannya makanan dan menarik tangannya berjalan. Menembus padatnya jalanan dan pertokoan. Orang tidak akan mengenalmu di sini, katanya, dan gadis itu benar. Rasanya jengah. Pemuda itu jadi terkejut dengan sedikit perkataan. Dan ia hanya menjawab singkat-singkat sementara gadis itu kembali berceloteh dengan bahasa mandarin dengan orang-orang yang ada.

Keningnya berkerut. Senyumnya ada ketika dia diajak menemui ayah, ibu, dan kakaknya; kepalanya mengangguk canggung dan menjawab seperlunya untuk pertanyaan yang telah diterjemahkan, semua di luar satu pertanyaan yang bertahan di dalam kepalanya. Mereka keluar dan membeli makanan serta berjalan-jalan. Namun ia tidak bisa sepenuhnya menjadi turis yang menyenangkan.

"Seunghyun. Kamu sudah salah jawab pertanyaanku tiga kali," Tiankai mendadak muncul di hadapannya, membuat Seunghyun mengejapkan mata. Seunghyun bahkan tidak sadar kalau gadis itu sekarang sudah membawa dua kantong kertas dan satu kantong plastik, semuanya berisi makanan.

Bibirnya terasa kering.

"Penerbangan pulangku dengan pesawat pagi," kata-katanya dikatakan tanpa sengaja, namun memang hanya itu yang sejak kemarin ada di pikirannya. Betapa otaknya begitu egois, karena saat ini gadis itu bisa dia sentuh, ada bersamanya, namun pikirannya menginginkan lebih dari itu. Jangan buang-buang waktu.

Tiankai tidak tersenyum, memilih untuk menggigit makanan yang baru saja dia beli.

"Mm."

Gadis itu punya rumah sendiri sekarang, dan tidak bersamanya.






ii.

Mimpinya berisi cahaya merah, jingga, dan sesuatu yang hitam. Ada banyak orang yang mengatakan sesuatu yang tidak dia mengerti, tak berwujud, serta Tiankai yang hanya menjawab dengan bahasa yang tidak dia kenal. Ia bahkan tak bisa memanggilnya.

"Shengxian-ah."

Panggilan itu menggema, membuatnya membuka mata. Sejengkal, dua jengkal dari wajahnya ada Tiankai. Tangannya refleks menggapai, menarik gadis itu, mendekapnya, membawa Tiankai ke sela di antara wajah dan bahunya. Dia ada. Namun pandangannya masih berbayang, matanya seperti baru saja menampakkan ledakan. Tak ada yang pernah jelas di mimpinya; akhir-akhir ini, dia memutuskan untuk membuat tubuhnya lelah sampai lupa untuk bermimpi. Di dalam pelukannya, Tiankai bergerak sedikit. Gumamannya tidak terdengar.

"Kamu mimpi buruk?" gadis itu berbisik di lehernya sekali lagi, lengan yang kesulitan bergerak dan ia tidak beranjak, masih berjongkok di lantai, dengan tubuhnya yang terpeluk. Seunghyun merasakan wajahnya yang disentuh, tangan yang meraba dalam gelap dan nafas yang tertahan. Pemuda itu melonggarkan pelukannya. Di dalam gelap, ia tak bisa melihat wajah Tiankai dengan jelas. Namun pertanyaan itu membuat Seunghyun tergugu.

(bukan dia yang seharusnya ditanyai seperti itu.)

"Sedikit susah tidur," ia akhirnya memutuskan untuk bangkit dan duduk. "Aku bilang apa?"

Sofa apartemen itu masih asing, terasa keras. Tidak mengherankan karena Tiankai juga bilang jarang orang yang datang. Gadis itu masih ada di tempatnya semula dan Seunghyun menghindari tatapan matanya.

"Nggak tahu," Wajah gadis itu tidak berekspresi, mengambil tempat di sebelahnya. "Gumamanmu nggak jelas dan kebetulan aku keluar. Ambil air minum."

Seunghyun mendelik. "Kenapa kamu malah duduk."

Ruang yang ada besar, dan ada banyak tempat untuk mereka masing-masing. Dindingnya dia tidak kenal. Gorden di luar menampakkan bias cahaya samar dari lampu-lampu perkotaan. Tiankai terpekur. Jam di dinding menunjukkan pukul dua pagi.

"Aku juga susah tidur." Suara itu terdengar jujur, kaki yang terlipat ke atas dengan mata yang kosong menatap televisi mati. "Omongan Baba, hm, jangan terlalu dipikirkan."

Seunghyun tidak mau memandang matanya. Namun gadis itu mengangkat kepalanya dan melihat Seunghyun lagi, tepat di mata. Seunghyun ingin mengatakan sesuatu--yang bisa menyelesaikan percakapan itu begitu saja dan membiarkan mereka kembali ke kamar masing-masing, lalu pagi akan datang tanpa terasa.

Tapi tidak, karena Seunghyun memutuskan untuk mencium bibir Tiankai dan tetap menciumnya ketika seharusnya dia menyudahi. Mungkin mudah untuk lupa, pikirnya, tatkala ada pagutan di bibirnya dan ada lengan yang melingkar di lehernya, tubuh yang ia bawa ke pangkuannya, balas mengisi ruang yang tersisa. Mungkin mudah karena seingatnya setelah ini semua akan terasa bahagia.

Mungkin semua masih sama seperti kemarin dan hanya dengan cara begini dia bisa merasa kembali mengenali. Mungkin ini yang dia cari ketika kemarin mereka bertemu di bandara, dengan senyum kaku dan pelukan yang seadanya. Mungkin ini yang membuatnya tidak banyak bicara sewaktu mereka bertemu kembali.

Semua mengingatkan mereka pada hal-hal yang seharusnya menyenangkan, namun tak ada namanya yang dipanggil dan hanya nafas yang tertahan. Ruangan itu sunyi, terlalu sunyi, dan Seunghyun bisa menyadari bahu Tiankai yang berguncang. Ketika mata mereka bertemu, Seunghyun mengerjapkan mata, dan ia tahu gadis itu juga berkata hal yang sama di dalam kepalanya.

(Nggak bisa begini. Kamu tahu?)

"Masuk lagi ke kamarmu, Tiankai," ucapannya kaku dan dingin, jemari yang perlahan melepaskan. "Sudah terlalu malam."

Senyum Tiankai tampak ditahan dan hanya ada kata 'iya' yang pendek sebelum mereka membenahi semuanya. Ketika Seunghyun kembali berbaring di sofanya, ia mendengar lagi suara gadis itu.

"Kamu 'kan hanya di sini sebentar. Tidurlah yang nyenyak."

Pemuda itu ingin bilang jangan, jangan pergi dulu. Tangannya mengepal dan ia ingin mengajak gadis itu menyusuri hal-hal yang dulu mereka tahu--aku tidak bisa mengatakannya, tolong katakan. Tidak?

Selamat tidur. Hanya itu yang bisa ia katakan.

Selamat tidur, Seunghyun, katanya, sembari mencium pipinya sekilas dan lampu dimatikan. Meninggalkan mereka dalam dua ruangan berbeda, tersekat dinding, dan pikiran yang tenggelam.

Antara mimpinya dan yang ini, dia tidak tahu mana yang lebih buruk.






iii.

Ada banyak masa ketika Seunghyun merutuk, mengapa satu hari hanya dua puluh empat jam. Pekerjaan yang mengambil waktu dua hari penuh karena harus ulang take bukan termasuk dalam hal itu. Pemikiran itu mengganggunya ketika dia berada lima ratus mil dari rumah, berada di tempat asing dan menemui apa yang menurutnya seharusnya tidak ada di sini.

Tapi semua ada dan menjadi, dan di sinilah dia. Jam dan kalender menjadi hal-hal yang lebih menakutkan dari apa pun. Delapan jam untuk tidur, tiga jam bertemu dengan keluarga Tiankai, tiga jam untuk makan, dan berapa jam lagi yang bisa mereka habiskan berdua. Semua tidak cukup, tak pernah cukup. Kemarin begitu mudah karena Tiankai ada dalam jangkauan tangan, dan suara yang ia dengar tidak terhalang media apa pun.

Rasanya sama ketika sekarang ia duduk di sisi tempat tidur Tiankai, mengamati. Biarpun hanya melakukan itu, rasanya Seunghyun sudah masuk ke dalam teritori yang tidak dia kenal: karena mereka sudah punya perjanjian yang tidak dikatakan dengan suara. Sampai sini saja, sampai begini saja. (Karena kita tidak tahu setelah ini bagaimana.) Lampunya mati dan cahayanya temaram. Tempat tidurnya kecil dan tidak ada banyak bantal atau juga meja sisi di mana mereka bisa meletakkan jam dan buku bacaan.

Gadis itu bergumam sedikit dalam tidurnya.

"Seunghyun," lamat-lamat didengarnya kata itu, pelan dan tidak jelas, tangan terulur mencari-cari. Seunghyun mengerutkan kening, matanya menyipit, pandangannya samar. Tiankai bergumam lagi. "Seunghyun-ah."

Di dunia kecil yang asing ini, hanya sedikit yang terasa familier, dan Seunghyun mulai takut kehilangan yang ini juga.

Digenggamnya tangan Tiankai. Ia ingin menggenggam tangan ini selalu, hari ini, besok, seterusnya. Mungkin seandainya Tiankai lebih kecil, ia ingin membawanya ke mana pun, ke tempat mereka seharusnya berada. Namun ia tak tahu "seharusnya" itu di mana--karena saat ini matanya begitu berkabut dan tak terlihat apa pun. Kakinya seperti menginjak sesuatu yang tak berdasar, dan Seunghyun tidak suka itu.

Tangannya menyentuh sisi wajah Tiankai, menyisiri rambutnya yang menempel ke wajah. Mata Tiankai separuh terbuka dan suaranya samar-samar. "Kamu nggak pulang." Itu kalimatnya ketika matanya membuka benar-benar, menatap Seunghyun lama, dan pemuda itu tidak bisa tidak memeluknya.

Mendengar itu tenggorokannya sakit.

Seunghyun ikut berbaring pada akhirnya dan Tiankai mendekat. Rasanya masih sesak. Napasnya tertahan di tenggorokan dan ia abaikan. Ruangan itu masih terasa dingin biarpun gadis itu bernafas tepat di dada. Ditariknya selimut agar melingkupi, mendekap tubuh Tiankai agar hangat. Dari banyak hal yang tidak dia kenal, mungkin hanya ini hal yang bisa ia kenali. Biarpun rasanya bukan ini, bukan begini.

"Aku di sini." Untuk seterusnya, untuk seterusnya. Ia ingin mengatakan itu. Namun pada akhirnya tak ada suara yang keluar. Tinggal suara jam yang berdetik di dinding, suara pengatur udara, dan gorden yang tertiup angin. Terlalu cepat. Beberapa jam lagi akan pagi. "Tidurlah."

Tiankai mengangguk.

Maaf, bisiknya, pelan-pelan, ketika gadis itu lama sudah kembali tertidur. Seunghyun ingin memberikan kata-kata yang lebih baik daripada sekadar memintanya tidur; namun semua tertahan di dalam lidah yang terkunci, dalam wujud huruf-huruf abstrak yang tak tersusun. Di dalam mimpinya, ia kembali masuk ke dalam dunia berwarna merah dan jingga, kabut yang menyesakkan paru-paru dan membuat pedih mata; ia berjalan, dan terus berjalan.

Di ujung kabut itu tak ada Tiankai, dan mungkin itu yang paling menakutkan.

Semua tidak cukup. Tidak pernah cukup.



-

(Ayo kita kembali ke masa lalu, sewaktu kita masih tujuh belas, delapan belas, sembilan belas, dan dua puluh. Tidak, aku tidak minta itu. Ayo kita pulang.

Ayo kita pulang, dari sini, dari tempat ini yang memang rumahmu.)

-



end




wut. waaaw. apa ini.