scarletise: (hands)
scarletise ([personal profile] scarletise) wrote in [community profile] sheepandwolf2015-07-28 10:37 pm
Entry tags:

those days that will pass us by

location: Hansung public high.
timeline: April 2013.



JAE SEUNGHYUN

Masih hari yang biasa bagi Seunghyun.

Hari yang biasa, diisi dengan anak-anak yang biasa pula. Belajar dengan rajin di satu sisi, atau bermain dengan ponselnya di sudut kelas yang lain--atau mengobrol. Memang semakin lama jumlah orang-orang itu semakin sedikit, tapi untungnya, masih ada yang mau jadi teman main Seunghyun. Ya iyalah, Seunghyun mana ingat belajar kalau nggak disuruh. Sedari tadi ia menghabiskan waktunya dengan membuat bola kertas dan memainkannya jadi semacam pingpong, sampai akhirnya Ilhoon si juara kelas menimpuknya dengan buku, menyuruhnya berhenti. Ya sudah.

Sejak kemarin begitu. Ia selalu merasa tangan dan kakinya harus sibuk. Bahkan kemarin dia bolos self-study dan memilih untuk berlatih. Oke, bagian bolos self-study-nya mungkin sudah biasa. Tapi bagian "memilih untuk berlatih" itu tidak biasa. Dia bahkan latihan sampai lima set berturut-turut. Yang Seunghyun pikirkan adalah bagaimana caranya agar ia bisa sibuk terus dan tak sempat memikirkan yang lain.

Disuruh diam di kursi, tangannya mencari-cari headset--Playstation Portable terlalu membosankan untuk dimainkan; lagu-lagu lama Big Bang mengisi telinganya sementara kakinya diketuk-ketukkan dengan tak sabar. Lima, sepuluh menit--baru sebentar, akhirnya ia memutuskan untuk berdiri. Tangannya mengetikkan sebaris pesan singkat. Ada pertanyaan dari teman di bangku sebelah ("Seunghyun-ah, kau mau kemana?"), tapi ia tak sempat--atau tak ingin menjawab. Hanya nyengir lebar sebagai jawabannya.

Kelasnya T.K. di sebelah.

Hei, dia bahkan nggak tahu apa yang mau dia katakan. Tak ada rencana. Yang dia ingat tadi, ia sudah mengirim pesan yang memberitahu--kalau tidak mau dibilang memberi instruksi--agar TK tetap ada di kelas. Ponselnya bergetar memberitahukan kalau ada pesan masuk, tapi Seunghyun tidak peduli lagi--pintu kelas sebelah masih terbuka, dan ia berdiri di sana. Anak yang dicarinya ada--sedang bersama teman-temannya entah ngapain.

"K," suaranya keras, membuat beberapa anak menoleh ke arah pintu--tapi entahlah dengan yang dipanggil. Seunghyun berdecak, mengedikkan kepalanya dan mengeraskan suaranya. "K! Sini."




FONG TIAN KAI.


“Ya, kan, T.K.? Lee Byunghun di G.I. Joe kemarin keren banget—eh, anak ini dengerin nggak, sih.”

Ketika dia mengantungi ponselnya, ada alis terangkat Do Junghyun yang menagih respons. Sontak, dia pasang tampang atentif, lalu berkata santai, “Storm Shadow, kan? Dih, dikira aku nggak tahu, apa.” Kakinya bergerak, lantas menendang ringan tulang kering pemuda itu. Ada tawaan dari berbagai sisi; suara-suara yang dia kenal baik. Masalahnya tidak lagi perasaannya senyaman tadi. Meski Changil masih memberi komentar-komentar goblok dan Maki dengan oh-so-kupernya tidak mengerti apa topik mereka kini, T.K. jadi tidak bisa konsentrasi. Obrolan berjalan. Dari bisep Dwayne Johnson menuju kepala kinclong Bruce Willis. Tidak, tidak bisa mengerti lagi jalannya konversasi. Terima kasih pada pesan yang, anehnya, membuat perutnya mulas.

Padahal yang mengirim bukannya orang asing, kan—tapi dia takut dia tidak kenal lagi.

Dan dia bingung kenapa dia membalas, sungguh. Ketika seharusnya dia bisa mengacuhkan, dia justru menanggapi. Goblok. Dia juga sudah tidak mengerti lagi kenapa pakai acara mulas-mulas segala. Nada menyuruh tidak kenal tanda baca itu membuat dia ingin mendecih. Siapa dia, pakai acara main perintah segala. Yang seharusnya marah dan menggalak itu dirinya—bukan dia. Dan T.K. betul-betul jengah akan apa yang mulai menggeluti dadanya kini; tahu bahwa dia, sebentar lagi, pasti akan muncul… dan dia tidak tahu ke mana harus pergi. Kelasnya cuma berjarak lima langkah kaki. Bagaimana mau lari?

“K,”

Dia akan menolak dengar—dia janji.

“K! Sini.”

Akhir-akhir ini, dia brengsek sekali.

Belasan kepala menoleh ke arah pintu, nampak tak begitu heran. Canda tawa yang tadinya mampir di kerumunan mereka mendadak buyar. Perihal Dwayne dan Bruce seketika berhenti. Changil menyikutnya, membuat dia mengernyit tidak suka—lalu, terpaksa dia ikut menatap. Memandang Seunghyun di ambang kelas dengan sorot paling tidak peduli yang dia bisa. Pasalnya, dia memang masih kesal. Dan dia betul-betul tidak mau bertemu.

“Ada urusan apa, memangnya?”

Penting banget, ya.




JAE SEUNGHYUN

Tak biasanya Jae Seunghyun berteriak dengan agak keras seperti itu. Tak biasanya juga ia hanya nangkring saja di depan pintu. Ia sama sekali tak berminat masuk, rupanya. Ada beberapa anak yang menyapanya, melambaikan tangan--dan sebagai respons, ia hanya menganggukkan kepalanya, melambaikan tangannya juga--cukup memberi tanda bahwa ia tak akan masuk kelas, cukup di luar saja. Tapi rupanya beberapa penghuni kelas yang memang sudah tahu kebiasaannya setiap hari, tidak tahan untuk tak berkomentar.

"Yooh, Seunghyun-ah! Masuk saja, macam tamu saja kau." suara Lee Changil menarik perhatian Seunghyun. Anak itu melambaikan tangannya ke arah Seunghyun, mengajaknya masuk kelas. Wajar, memang, karena biarpun Seunghyun penghuni kelas sebelah--cukup sering juga ia kemari. Entah memang ada perlu (mencontek PR adalah hal yang termasuk penting, kau tahu), atau juga mencoba cemilan yang dibawakan Maki atau apalah. Sering juga menyusul T.K. kalau jam pulang dan mau melakukan hal khusus sebelum training di WBE--entah makan ramen atau juga main di game center.

Menanggapi sapaan Changil, Seunghyun hanya tersenyum. Senyum sekilas yang hanya sebagai basa-basi, karena ia ingin segera urusannya selesai. Urusannya saat ini bukan tentang PR. Bukan juga soal drilling self-study yang masih banyak. Pikirannya cuma ada satu--kalau memang itu bisa disebut pikiran, karena toh tubuhnya bergerak lebih dulu. Yang penting bertemu dululah. Soal bicara apa, itu urusan nanti belakangan.

Seunghyun bisa mendengar suara lain dari pojokan kelas. "Woooi, Seunghyun, kok grogi amat," suara itu terdengar agak meledek, membuat Seunghyun mengalihkan pandangan sejenak. "Kalian berantem, ya? Yeee, harusnya berantem sekalian saja di sini. Tendangan maut, Seunghyun-aaah! Jangan pasang muka begitu, nggak cocoooook!"

Biasanya, anak lelaki itu akan membalas dengan ledekan yang nggak terlalu berfungsi--aha, dia sudah dikenal sebagai badut lokal yang suka membalas komentar mereka dengan komentar yang tidak kalah bodoh. Lalu, ujungnya mereka akan meledeknya lagi, dan bercanda. Yah, memang tidak mungkin--bagi teman-temannya itu--Seunghyun bisa memasang wajah seperti sekarang, sih.

Tapi untuk hari ini, cukup.

Anak lelaki itu menarik napas. Senyumnya agak tertahan kali ini--cengiran lebar yang biasanya muncul dengan mudahnya digantikan lengkung senyum kaku yang nyaris lurus. maksud hati mau bicara yang lain, semacam "nggak ada urusan dengan kalian", namun ia tak bisa mengatakan hal itu. Teringat lagi bahwa teman-temannya toh memang tidak ada urusan, tak perlu dikatakan segala. Hanya saja urat emosinya agak lebih pendek hari ini. Entah mengapa.

Urusannya cuma dengan Fong Tian Kai hari ini.

"Aku bilang ke sini," nada suaranya tegas dan tidak berminat untuk dibantah lebih lanjut. Tak beranjak dari tempatnya, tatapannya lurus ke arah anak perempuan yang tampaknya tak peduli-peduli amat dengan kehadirannya. Oh, okelah. "Aku mau bicara sebentar. Nanti juga aku ada kelas trainee kan, sama Kevin-hyung. Nggak akan lama-lama di sekolah."

Sesaat, anak lelaki itu menyadari kalau nada suaranya mungkin agak terlalu keras. Tapis udah terlanjur. Dan sayangnya, ia tak berminat memperbaiki intonasinya.

(Bahkan kalimatmu tadi sama sekali tidak menjawab pertanyaan, Seunghyun.)




FONG TIAN KAI.

Gadis itu mendelik galak pada Changil karena dia memang sedang tidak mau Seunghyun diperlakukan hangat seperti itu. Dia semacam anggota semu kelas T.K. yang bisa datang dan pergi kapan saja. Terbukti dari kehadirannya yang memang tidak membawa kejanggalan macam apapun—baik ketika dia hanya muncul sebentar untuk menjemputnya, atau saat dia nangkring lama-lama demi menyalin PR biologi. Banyak yang menyapa, banyak yang mengenal. Seolah-olah semuanya memang begitu rutin dan nyaris wajib. Semakin lama, fakta itu semakin mengganggu T.K.; bahwa Seunghyun begitu sering datang kemari.

Begitu… wajar (ketika sekarang, jadi tak ada satu pun yang wajar).

Mendadak, ada keinginan yang begitu kuat untuk menonjok wajah Kang Daeho. Dia memang tidak pernah berhenti jadi goblok—teriak-teriak di tengah kelas, seperti tengah mengumumkan dengan keras dan bangga… dikiranya lucu, apa. Anak perempuan itu jadi kesal sekali. Rasanya seperti ada hal yang tahu-tahu disibak dan dipublikasikan tanpa izin. Tidak sedikit kepala yang jadi celingukan, tahu? Lalu, dia jadi mengerutkan dahinya sebal. Keinginannya menjalar menjadi urgensi yang kuat untuk menjauh dari semua ini untuk waktu yang lama. Dari kelompoknya di sudut kelas, dia bisa merasakan tatapan ingin tahu. Dan dia jengah dengan itu.

Apalagi, ketika dilihatnya Seunghyun menanggapi dengan senyuman yang seperti itu. Yang begitu. Entah mengapa, dia jadi semakin sebal saja. Dia tidak mengerti. Keningnya sudah mengkerut sedemikian rupa, dan dia tampak risih.

Ketika Seunghyun malah meneruskan dengan suara seperti itu yang sangat dia benci, dia tidak bisa menahannya lagi. Dia tidak suka. Mungkin dia akan mengalami waktu yang sulit untuk mengulang semua tahap perkenalan kalau Seunghyun memutuskan untuk terus bicara dengannya dengan nada yang demikian. Keras. Tegas. Benci harus mengatakannya, tapi… asing. Mirip seperti pesan masuk yang diterimanya beberapa menit lalu. Seperti datang dari tempat yang begitu jauh, yang T.K. tidak tahu.

Dia tidak suka kalau merasa tidak kenal begitu. Dan dia tidak suka pula mendadak disuruh-suruh tanpa alasan yang jelas—ketika sesungguhnya dia memang enggan bertatap muka. Lebih tidak suka lagi saat Daeho yang tidak tahu apa-apa itu berkata-kata. Dia jadi tidak menyukai banyak hal, dan itu pun tidak disukainya. Untuk satu pesan goblok, dia jadi sebegini berantakannya—tidak, tidak, tidak suka.

Sebelum dia sadar, dia sudah bangkit tanpa pamit ke kawan-kawannya. Berjalan cepat menuju Daeho yang masih mencerocos (“Ne? Iya, kan, kayaknya lagi ribut? Udahlah, bawa saja tonjok-tonjokannya ke sini…”) dan menendang mejanya keras sebelum menatapnya sengit. Seketika ada keheningan yang jatuh; Daeho menatapnya kaget, tidak bilang apa-apa. T.K. berbalik meninggalkannya dan berjalan ke arah pintu, membiarkan kelas yang sunyi itu terisi ramai lagi. Pintu ditutupnya keras.

Lalu, terpaksa dia harus menatap menuju sepasang mata yang lama tak dijumpainya. Baru beberapa hari, tapi rasanya memang ganjil—dia memaksa dirinya untuk menganggapnya tidak ganjil, though. Tangannya disilangkan. Sorot matanya dilancarkan, mungkin lebih sengit dari pandangnya kepada Daeho.

Dan dia tidak mengatakan apa-apa.




JAE SEUNGHYUN

“Ne? Iya, kan, kayaknya lagi ribut? Udahlah, bawa saja tonjok-tonjokannya ke sini..."

Seunghyun baru saja akan angkat bicara, namun suara anak itu--seingat Seunghyun, namanya Kang--entahlah dia lupa nama kecilnya; tak terdengar lagi, digantikan suara tendangan keras di meja. Mata Seunghyun menyipit. Kejadiannya cepat sekali. Belasan pasang mata yang tadinya sudah mulai asyik dengan urusan masing-masing, kembali terpusat ke arah mereka. Membuat seisi kelas hening seketika. Dan anak lelaki itu menelan ludah. Seperti diingatkan lagi. Buat apa dia ke sini? Mau bengong, diam saja, menyuruh Tian Kai ke sini, untuk apa.

Debam pintu terasa keras mengisi gendang telinga. Pandangan matanya bersirobok dengan bola mata T.K. yang menatapnya dengan sengit--dan seketika pula emosi Seunghyun yang tadinya sudah ada di ujung ubun-ubun, menurun. Tangannya meraih tangan T.K. Memicingkan mata ke ujung lorong. "Di sana," anak lelaki itu mengedikkan kepalanya, "nggak enak kalau di depan pintu kelas begini."

Seunghyun menarik T.K. ke ujung lorong itu, tak berkata apa-apa lagi. Di sudut mati yang hanya berisi bangku-bangku tak terpakai, rak yang sudah reyot, dan jendela-jendela besar dengan coretan-coretan jahil murid di kacanya. Bagian ini jarang tersentuh oleh para murid kalau sedang kerja bakti--sehingga sering dijadikan pojok untuk membolos.

Melepaskan tangan gadis itu, Seunghyun berdiri saja, menyandarkan tubuhnya ke tumpukan bangku tak terpakai yang disusun seperti lego. Jemari tangannya bertautan longgar, namun matanya tidak mencari-cari lagi--menatap T.K. lurus-lurus. Seunghyun menarik napas panjang. Sekali lagi. Menatap wajah yang ada di hadapannya. Mengetahui dengan pasti bahwa kalau gadis itu marah, adalah wajar. Menutup teleponnya di tengah jalan, adalah wajar.

(Kamu takut, Seunghyun?)

T.K. nggak kemana-mana, kan. Dia datang. Seunghyun kira anak perempuan itu sudah tidak mau melihat mukanya lagi. Setelah apa yang dia lakukan kemarin, memangnya dia bisa berharap apa. Wajah T.K. masih sama seperti yang ia lihat ketika anak perempuan itu tertidur di bus kemarin dulu.

"Kamu pasti belum puas marah padaku, kan."




FONG TIAN KAI.


Akhir-akhir ini, dia memikirkan tentang sesuatu yang melompat, ledakan sporadis tak beraturan, dan sensitivitas yang ekstrim. Hanya akhir-akhir ini; sejak waktu itu. Waktu dia bilang pada dirinya sendiri bahwa dia mungkin akan mulai benci sentuhan Seunghyun. Padahal, dulu rasanya semuanya begitu mudah. Tendang-tendangan. Tampol. Jewer. Cubit. Seruduk dan sikut tanpa takut apa-apa. Drastis sekali ketika sekarang mereka jadi penuh perhitungan. Ragu setiap beberapa gestur. Menimbang dan memutuskan untuk tidak melakukan. Kesalahan terjadi—lalu, semuanya jadi tidak baik-baik saja. Betapa sekarang semuanya jadi semakin repot.

Akhir-akhir ini, jadi lebih sulit untuk tidak menarik tangannya ketika Seunghyun memegangnya. Dia masih marah, pula ia enggan berkontak fisik dengan orang yang baru-baru ini… hh. Jadi lebih sukar untuk tidak berjengit dan mengabaikan rasa familier yang beberapa hari ini tidak terindra. Dulu, rasanya memang begitu wajar. Hanya berselang beberapa malam saja, lalu semuanya jadi asing. Dia adaptif, tapi benci hal dinamis yang terlalu dikebut. Seperti… ini.

Seperti semua ini.

Dia diam saja ketika dibawa ke ujung koridor. Pojok membolos yang berdebu itulah. Semacam bagian dari Hansung yang legendaris di antara murid; di mana ada nama-nama tercantum di kaca, para pahlawan onar yang dipuja-puja. Di mana dia langsung menempatkan diri dengan spasi terjauh yang bisa diraihnya dari Seunghyun, yakni di depan rak tua yang tinggal tunggu rubuhnya saja. Tangannya disilangkan lagi. Matanya, meski tadi ragu, berlanjut dengan balas menatap Seunghyun. Satu kali, dua kali dia mengalihkan pandangan. Merasa enggan.

(Atau—)

Sorot yang tadinya mengarah ke linoleum terpoles itu langsung jatuh ke mata Seunghyun lagi. Menggalak. Kalimatnya itu jelas-jelas menyatakan apa yang sudah kelihatan. Goblok. Lebih tepatnya, mungkin, berkesan optimis ironis. T.K. mendengus.

“Nggak usah ngomong kalau sudah tahu jawabannya.”

Diungkit begitu—rupanya memang betul-betul kepingin dia marah semakin parah, ha?




JAE SEUNGHYUN

Seunghyun meringis mendengar kata-kata Tian Kai.

Anak lelaki itu berdiri, menegakkan tubuhnya. Kepalanya miring, mengamati. Tian Kai menatap matanya sama beraninya dengannya, rupanya. Memang kentara sekali dia marah, bukan. Seunghyun juga sudah paham sekali, kok. Untuk itulah dia pergi menemui T.K. hari ini.

Yang pertama ia ingat di hari berikutnya adalah menelepon anak perempuan itu, memberitahukan apa yang sudah ia lakukan dengan jujur. Melewatkan waktu berjam-jam diam di kamar hanya untuk bergelut apa yang harus ia katakan. Sampai akhirnya ia memberikan pernyataan yang paling simpel: "kemarin aku cium kamu." sudah, itu saja.

Teleponnya diputus. Tentu saja, bukan? Entah mengapa emosi Seunghyun langsung menggelegak setelah itu. Marah. Dia marah pada dirinya sendiri. Apa-apaan, sih--lihat, dia ngapain, sih--meski tak ada bagian dari dirinya yang menyesal bahwa dia sudah jujur. Seumur hidup dia tidak akan pernah berbohong, itu yang Seunghyun jadikan janji pada dirinya sendiri.

"Hanya ingin memastikan." Seunghyun itu menarik napas lagi--cengirannya yang biasanya selalu ada, di setiap apa pun hal yang ia lakukan--sudah lenyap entah sejak kapan; digantikan oleh helaan napas yang semakin lama semakin dekat jedanya.

Kalau mau tonjok, tonjok saja. Selalu itu yang Seunghyun ingat kala ia menemui Tian Kai yang menggelegak sekali waktu. Kali ini pun, ia ingin mengatakan hal yang serupa. Terlebih ketika penyebabnya adalah dirinya sendiri. Namun mendengar kata-kata Tian Kai tadi, diurungkannya. Bukankah hal itu sudah jelas? Anak perempuan itu paling sudah tahu. Atau malah akan menonjoknya tanpa aba-aba.

Tubuhnya tegak. Jemarinya yang tadinya bertautan, kini mengepal di sisi tubuhnya. Tian Kai tepat beberapa langkah darinya. Menatap Tian Kai lurus-lurus sekali lagi, sebelum akhirnya membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. Sampai pandangan matanya tidak lagi ke arah anak perempuan itu, melainkan ke lantai.

"Maaf." ia masih tak menatap Tian Kai, pandangannya lurus ke lantai. Kaki anak perempuan itu yang berjarak tipis dari kakinya sendiri. "Kalau setelah ini kamu nggak mau bicara denganku lagi, setidaknya aku mau kasih salam."

Harus bisa menerimanya, tentu. Setelah apa yang dia lakukan kemarin--dari sisi mana pun--nggak ada yang bisa dibilang benar. Seunghyun sendiri tidak mengerti apa yang membuatnya mencium Tian Kai waktu itu. Ada sesuatu yang menghentak ketika ia mengatakan kalimat terakhirnya sendiri.

Sudahlah. Memang sudah sepantasnya dia menerimanya. Seunghyun paham sekali hal itu, tentu--tapi tetap saja. Hentakan itu ada lagi.

Kamu

Benar

Mau

Begitu?

(Kamu yang hancurkan.)

Memang.


Dan ia harus menerima apa pun hasilnya.




FONG TIAN KAI.


Terkadang dia berpikir; seberapa gobloknya Jae Seunghyun itu.

“...tch.”

Untuk menjadi si tolol yang tahunya makan, game, dan menari. Untuk rela direpotkan hanya demi kebutuhan tidak penting Tian Kai. Untuk menjadi spontan dengan sangat, sangat, merugikan—pula, untuk menjadi sebego ini. Mungkin, seumur hidupnya, Tian Kai hanya akan bisa membodoh-bodohi Seunghyun seorang… sekaligus memujinya untuk menjadi cerdik saat dia sendiri tidak. Sekarang ini, contohnya, dia sedang bego seperti biasa. Memastikan apa yang sudah nampak di depan mata. Seunghyun sendiri yang merasakan, padahal. Dan Tian Kai tidak pernah bilang apapun pada orang-orang. Tidak satu pun, tidak siapapun. Cukup dia. Karena ini terlalu besar untuk diceritakan, dan dia tidak mau minta saran.

Dia tidak butuh saran. (Hanya butuh marah.)

Kadang pula dia berpikir, kebodohan itulah yang membuat mereka jadi tidak bisa lepas. Sesama goblok. Sesama pemalas yang memandang rendah urusan akademik. Sesama anak-anak yang terikat simpul mati. Tenggelam ketika tahu mereka tidak bisa berenang. Terbakar ketika tahu api itu mematikan. Tidak tahu, katanya. Mereka ingin mereka tidak tahu—atau, tepatnya, Tian Kai ingin mereka tidak tahu apa-apa. Agar tidak perlu pusing, kan? Agar semuanya tahan lama, kan?

Tapi gara-gara siapa dia jadi berpikir sampai sejauh ini, ha?

Tidak habis pikir—belum puas juga pemuda itu membuat dia sebal. Yang ada hanyalah sesak di tenggorokan, berbeda dengan tempo hari di apartemen. Yang ini lebih sakit, lebih tebal, lebih susah dihilangkan… sedangkan yang kemarin itu bisa langsung pecah seketika. Alisnya terangkat menatap bungkukan Seunghyun, sementara matanya membeliak tidak percaya. Mendadak dia dijejali semua tetek-bengek yang berusaha dia hindari semenjak beberapa hari yang lalu. Bahwa jangan-jangan, ini semua hanyalah lelucon besar. Atau bahwa dia jadi tidak bisa menghilangkan rasa mulas itu dari perutnya dengan teh hangat. Atau mungkin, bahwa ledakan di dadanya itu akan muncul secara konstan terus-menerus.

Dan bahwa dia tidak bisa memandang Seunghyun seperti dulu lagi—betapa dia benci.

“Goblok!” she snapped; dan dia tidak sadar apa lagi yang membuncah dari dirinya. Tatapannya tajam mengarah ke Seunghyun yang membungkuk. Dahinya berkerut dan tangannya mengepal erat. Sejenak kemudian dia mencoba menghela napas, namun kini ada getaran pula yang mengiringi tarikannya.

“Lalu kamu pikir dengan kamu minta maaf, semuanya bakal baik-baik saja, begitu?”

Dia teringat lampu-lampu bus, deru mobil, dan kehangatan yang bilang dia akan terus berjaga. Teringat matanya yang menutup tanpa was-was lagi. Teringat suara yang begitu kaku dan dingin dan tidak dikenali—

“Aku bakal bisa perlakukan kamu kayak dulu lagi—begitu, hah?” dia tidak bisa menahan. Sosok Seunghyun yang membungkuk maaf itu justru membuatnya gusar setengah mati. Sesak, sesak, betapa dia menyukai keberadaan itu; yang tidak akan pergi, tidak akan lari. Rasanya seperti dikerjai. “Kamu kira segampang itu lupa? Sepenting apa sih, memangnya, kemarin itu? Cuma dengan maaf saja bisa selesai? Sesepele itu, hah?!”

Ketika dia sadar, dia sudah nyaris berteriak. Rasa sesak itu pecah menjadi air yang menggenang samar di pelupuk mata. Sedikit—seperti titik-titik. Ada deru di dadanya yang minta dia merepet lagi. Minta dia marah sampai puas. Dia menunduk, tangannya menangkup wajah. Tidak mau menatap lagi… mungkin.

“Matamu dibuka, bego.”

(Padahal dia juga takut kalau saat buka mata, dia tidak menemukan siapa-siapa.)




JAE SEUNGHYUN

Tangannya mengepal lagi. Satu persatu kata-kata itu didengarnya. Tapi ia tak bisa mengingat ataupun mencerna apa maksudnya kata-kata itu. Hanya sedikit yang bisa ia ingat, sebelum ia sibuk dengan kepalanya sendiri. Sebetulnya Seunghyun ingin bilang bahwa hal itu seharusnya tidak usah terlalu dipikirkan. Namun hentakan dan teriakan anak perempuan yang tertahan itu membuatnya berhenti, menelan lagi kata-katanya; karena rupanya anak itu sudah kadung sakit hati. Dan begitu mencapai bagian akhir, dimana suara Tian Kai mengecil, anak lelaki itu menegakkan tubuhnya.

"Aku bakal bisa perlakukan kamu kayak dulu lagi"

Kepalanya pening.

Memang harus ada yang berubah?

Karena baginya tidak ada.

Tapi mendengar kata-kata gadis itu, Seunghyun tiba-tiba tak ingin lagi bertanya "aku harus apa".

(Nggak berguna, bangsat.)

"Kamu nggak bisa." kata-katanya lurus, dan terdengar dingin, dan Seunghyun nyaris tidak bisa mengenali suaranya sendiri. Dia ingin membalikkan keadaan dan mengubahnya jadi candaan, biarkan dia--biarkan dia melakukan tindakan bodoh di saat seperti ini--suatu tindakan yang biasanya suka dia sesali sambil tertawa. Tapi kali ini tidak.

Paham. Dia paham. Dan tubuhnya mematung. Tangannya tak bergerak. Mau apa dia, kalau bisanya cuma membuat Tian Kai marah-marah--dan--menangis? Tenggorokannya sakit. Mana yang menyenangkan? Tidak ada. Apa yang bisa dia perbuat? Tidak ada. Bagaimana cara membuat anak perempuan itu tertawa lagi? Kalau sekarang kemunculannya cuma bisa bikin anak itu susah?

Tidak ada.

"Aku tidak bilang gampang." suaranya masih kaku. Menelan ludah lagi. "Kamu suruh aku pergi, aku pergi."

Katakan ada cara lain. Karena kalau Tian Kai bilang dengan maaf saja tidak cukup, dia tidak tahu lagi. Dia harus bagaimana. Matanya menatap lurus ke arah anak perempuan yang sekarang sudah menunduk dan menangkupkan wajahnya dengan tangan, suaranya tersendat; namun tubuhnya masih diam. Kalau sudah begini, memangnya dia bisa apa. Mau membujuk anak perempuan itu agar tidak menangis lagi, eh?

Tidak suka. Seunghyun tidak pernah suka melihat ada temannya yang tidak....bahagia. Entah dalam hal kecil, maupun hal besar. Seunghyun tahu ada beberapa ekspresi dalam mengungkapkan rasa senang--termasuk menangis, salah satunya. Tapi yang kali ini--tidak. Mau bilang kalau itu bohong dan cuma bercanda? Sama sekali tidak bisa. Karena sudah terlambat kalau ia ingin membawanya sebagai sebuah candaan.

Dan bagi Seunghyun, hal itu tidak ingin ia buat bahan candaan. Biasanya dia punya segunung bahan pembicaraan. Punya segala hal yang bisa dijadikan celetukan dan apa saja--apa saja--bahkan sekadar coretan di kaca jendela atau rak-rak yang sudah miring di belakang itu pun, bisa ia berikan komentar.

Mau bilang "jangan nangis"? Lalu tertawa? Lalu menghibur?

Sampah. Mana bisa. Penyebabnya dia sendiri.

(Dia sendiri yang menerobos.)




FONG TIAN KAI.

Napasnya tidak beraturan. Titik-titik berwarna samar di gelap kelopak matanya itu membuatnya pusing. Dia meloloskan cahaya, mengintip ke mengkilatnya lantai di bawah kakinya. Detak jantungnya semakin keras, seiringan sesak yang memekat di tenggorokannya lagi. Dia menarik napas panjang; pundaknya dilemaskan. Sebegitu sulitnya kembali mengangkat kepala. Susahnya memandang. Sejak kapan, dia tidak tahu. Mungkin semuanya sudah bermula lebih awal, namun dia tidak pernah ingin tahu.

Kalau Seunghyun bilang semuanya usai ketika Tian Kai memaafkan, maka dia brengsek—gara-gara siapa, coba. Baginya, ini bukan sekadar masalah sepele yang bisa dilupakan bersama waktu. Ini mulai jadi merepotkan sejak siapa-yang-tahu. Mungkin, dulu, dia bakal tertawa. Sok tidak percaya. Bilang itu cuma April Mop yang terlalu awal, lalu pura-pura semuanya tidak terjadi. Problemnya, sekarang, hal itu bukannya tidak pernah ada. Justru, tanpa ia sadari, semuanya jadi lebih besar dari yang kelihatannya. Dia jadi mempermasalahkan. Dia jadi mengurusi. Dia jadi ingin membatasi diri, meski hanya sesaat, meski hanya sejenak. Tidak berapa lama kemudian, entah dia sadar atau tidak, sesuatu akan membuatnya merindukan lagi.

Dia tidak pernah membenci Seunghyun. Bahkan sekarang pun tidak.

Nyatanya, kalimat yang disuarakan dengan dingin itu membuatnya merasakan takut lagi—dia begitu asing. Begitu kaku. Begitu… jauh. Seakan langkah di antara mereka sudah merenggang menjadi mil dan kilo. Ada waktu di mana dia sebal pada dirinya sendiri untuk tidak bisa menyukai Seunghyun yang bersuara kalem di telepon. Ada pula saat ketika dia membenci pesan-pesan bernada serius yang menyuruhnya pulang ke rumah. Dia terkadang begitu tidak tahu diri; padahal, dia dilindungi. Tapi, tolong, dia hanya tidak ingin kehilangan orang yang disayanginya. Tidak dengan ucapan yang semakin formal atau gestur yang semakin terhalang. Tidak dengan apa pun. Tidak sampai kapan pun.

Ketika dia mengangkat wajahnya, Seunghyun masih ada. Masih bicara padanya. Masih menatapnya. Yet, dia tidak menemukan sedikit pun Seunghyun di sana. Tidak yang di telepon, tidak yang terbaca di pesan instan. Hanya semacam kilat samar di matanya. Dia tidak berbohong. Dia memang tidak pernah berbohong pada Tian Kai. Karena itulah, dia percaya.

Kenapa seenaknya bilang begitu—

“Kalau kamu tahu itu nggak gampang dan aku nggak bisa,” dia menegakkan dirinya, menegaskan suaranya, “lantas, kenapa masih kamu lakukan, ha?” suara yang begitu menuntut. Begitu ingin sebuah jawaban; karena, yang diberitahu padanya kemarin itu tidak masuk akal. Dia tidak mengerti. Dan dia tidak akan pernah mengerti kalau selamanya pembicaraan mereka Cuma berputar-putar antara maaf dan tidak.

“Kamu tahu aku bisa jadi nggak sama lagi. Kamu kenal aku, Seunghyun—dan kalau kamu pikir dengan pergi aku bakal senang, maka kamu salah!” dia melangkah maju, dengan suara yang keras meski agak bergetar. Berhenti di depan sang pemuda, lurus-lurus menatap matanya. Memperhatikan setiap dilasi, karena dia ingin tahu apakah dia masih kenal.

“Kamu cium aku malam itu dan bisa minta maaf sekarang. Seharusnya kamu juga bisa bilang kenapa,” suaranya semakin tegas. Menekan. Menjadi seberani yang dia bisa. Lalu, dia berkata lagi, dengan lebih perlahan kini,

“...aku nggak ngerti.”




JAE SEUNGHYUN

Seunghyun sebetulnya tidak terlalu mengerti apa yang dimaksud Tian Kai dengan "berubah". Ia juga tak mengerti rentetan kata-kata anak perempuan itu. Sampai tadi ketika anak perempuan itu bertanya mengapa Seunghyun menciumnya. Tentu saja. Tentu saja pertanyaan itu akan muncul, bukan? Bodoh, Seunghyun, menyangka bahwa itu tidak akan berefek apa-apa? Atau malah kau saja yang malas untuk berpikir begitu?

Karena itu... ia putuskan untuk menjawab dengan jawaban yang dia punya. Karena ia tak mungkin bertanya pada Tian Kai jawaban seperti apa yang anak perempuan itu maksud. Sampai mana jawabannya dapat dipertanggung jawabkan. Seunghyun tidak dapat berpikir lebih jauh dari itu. Ia hanya bisa menjawab sesederhana mungkin.

Karena ia kebingungan ketika ditodong dengan pertanyaan itu. Dan diberondong dengan komentar lain. Dia terlalu bingung dan tidak bisa menentukan apa yang dimaksud Tian Kai. Seandainya alasan kata-kata Tian Kai yang keluar tadi adalah karena orang lain, ia bisa dengan mudah mengeluarkan kata-kata penghiburan; namun tidak dengan saat ini. Otaknya seperti mati rasa. Dia tidak bisa memikirkan kata-kata yang paling baik.

"Aku tidak bisa jawab dengan jelas 'kenapa'..." Seunghyun menelan ludah lagi. Karena sumpah dia juga tidak mengerti. Apa yang bisa ia mengerti dari pikiran kosongnya yang hanya ada beberapa detik? Karena itu juga ia memarahi dirinya sendiri, bukan? Apa yang dia pikirkan waktu itu. Harusnya bisa ia katakan dengan mudah. Harusnya. Tapi di situasi saat ini, apa yang ia pikirkan seakan dipangkas sebelum keluar dari bibirnya.

"...karena itu kamu."

Jawabannya tidak akan pernah terdengar sempurna.

Namun, Seunghyun memperhatikan gerak-gerik anak perempuan itu sedari tadi. Bagaimana kemarahannya memuncak. Bagaimana seorang Tian Kai meledak, suaranya yang meninggi dan memberondong dengan deretan kata-kata. Mungkin saja kata-kata itu berhubungan, namun bagi Seunghyun, semuanya terdengar inkoheren. Dan kalimat terakhirnya yang lebih pelan.

Tidak mengerti. Sama. Dia juga tidak mengerti. Apa yang terjadi. Dan harus bagaimana. Apa baiknya.

Tubuhnya yang tegak goyah. Goblok, mencoba mengatakan hal itu meskipun tahu semua itu gara-gara dia. Seharusnya ia tak berhak bilang begitu, karena semua juga terjadi karena ulahnya--tapi mana bisa--mana bisa.... Tidak, ia tidak berani menyentuh Tian Kai lagi. Cukup tubuhnya yang menunduk sedikit biarpun mata gadis itu menatap lurus ke arahnya. Suara yang dingin itu mencair sedikit bersamaan dengan helaan napas. Tangannya berusaha tetap terkepal sekali pun sejak tadi tangan itu memaksa untuk terangkat. Tidak bisa. Jangan sekarang.

"Kamu jangan nangis..."




JAE SEUNGHYUN

Ada tonjokan yang mengenai Seunghyun setelah jeda beberapa menit. Disusul gumaman semacam 'tolol' dan 'bego'. Dan air mata dari anak di hadapannya yang perlahan membanjir. Tubuh Seunghyun tegak, namun bahunya terasa lemas. Lagi, ia berusaha mengingat. Berusaha mencerna. Namun masih, ia tak tahu jawaban apa yang bisa ia berikan.

Satu yang Seunghyun tahu, ya ia yang membuat anak perempuan itu sekarang begini. Tangan Seunghyun terulur; menyentuh tangan Tian Kai yang tadi memukuli bahunya. Menahannya di sana dan tak membolehkannya pergi ke mana-mana. Ketika gadis itu mengangkat kepalanya dan bertanya lagi, Seunghyun tahu pasti bahwa anak perempuan itu benar membutuhkan jawaban.

Namun ia tahu pula kalau ia tak akan pernah bisa memberikan jawaban yang tepat. Memang benar kata Tian Kai, bukan? Dia memang bodoh. Mata Seunghyun yang sedari tadi hanya menatap nanar, jadi perlahan melemah. Meski ia tahu bahwa seharusnya ia tidak boleh, tidak boleh--tapi sisi lain Seunghyun bilang bahwa ia ingin, dan bahkan tak bisa mencegah dirinya sendiri.

Anak perempuan itu terasa begitu kecil ketika Seunghyun meraihnya untuk dipeluk. Samar-samar ia ingat; pernah ia memeluk Tian Kai, seperti ini, hanya saja ia tak berpikir panjang waktu itu. Kali ini, dipeluknya Tian Kai--kedua lengannya mendekap punggung gadis itu--memangnya sebegitukecilnyakah anak ini sehingga bisa ia rengkuh dengan kedua lengannya? Ia tak bisa melihat wajah Tian Kai karena anak perempuan itu ia tarik, namun wajah Seunghyun bisa menemukan rambutnya, bisa menemukan telinganya di situ.

"Maaf, ya?"

Suaranya terccekat, sehingga tidak sekeras tadi; nada suaranya melunak. Ia tak berkata apa-apa lagi setelah itu, sekali pun masih ada pertanyaan yang belum terjelaskan. Ia tidak tahu. Karena ia ingin bilang bukan, bukan; namun ia tak dapat memberikan penjelasan yang lebih baik. Sehingga yang keluar tinggal maaf.

(dia juga tidak bisa bilang 'aku tidak akan lakukan lagi', begitu.)




FONG TIAN KAI.

Dia bahkan sudah tidak menghapus air matanya lagi.

Terlanjur capek untuk bilang apa-apa—lantas, dibiarkannya tetes air itu jatuh dari pipinya. Terlalu muak untuk marah-marah lagi, pula. Mungkin dia sudah terlalu banyak merasa. Mungkin pula, yang namanya emosi itu ada batasnya. Dia tidak lagi mengisak, hanya menatap. Tangannya yang ditahan itu terkepal erat. Seunghyun memang lebih kuat darinya. Dia diingatkan kembali setelah ini, setelah tinjunya dihentikan dari aksi lebih jauh. Padahal, rasanya dulu begitu mudah untuk melakukan apa saja. Kini, melepaskan tangannya saja tidak bisa. Mengernyit tidak suka, dia, karena tidak kunjung datang jawaban.

“Lepas, gob—”

Mirip. Memang mirip. Sebagaimana dia merasa Seunghyun mendadak jadi jauh dan asing, tak bisa dipungkiri bahwa dari semua ini, masih ada sedikit yang tertinggal. Dia tidak suka, masih. Sangat tidak suka. Badannya awalnya menolak; dia nyaris mundur. Pundaknya kaku dan panas. Gamitan di tangannya dilepas, tergantikan dengan dekapan di sekeliling tubuh. Dia mencoba bergerak, awalnya; menggeliat tidak nyaman, agar lepas. Dia benci sekali ketika sadar bahwa Seunghyun memang memeluknya dengan kuat. Bahwa semua toyoran main-main itu mungkin karena ada yang ditahan juga—memangnya, kalau sama Taekyung dan kawan-kawan Myeongdongnya itu, Seunghyun berlaku sama?

Lalu, ucapan itu. Nadanya yang lemah dan suaranya yang surut. Lagi-lagi, untuk yang kesekian kali.

Tian Kai tidak tahu harus apa kecuali untuk runtuh, satu kali lagi. Tidak mengerti. Tidak mengerti mengapa dia tidak mencoba untuk melepaskan diri lagi. Tidak mengerti mengapa pelukan itu terasa sama seperti yang di flat, meskipun jadi lebih memaksa. Tidak pula mengerti mengapa dia menangis lagi—frustrasi? Bingung? Gemas karena yang didengarnya hanya maaf, maaf, dan maaf? Dia melemas di dalam dekapan Seunghyun. Tidak balas memeluk, tidak bersandar, tidak melakukan apa-apa. Emosi yang menggelegak di lubuk itu adalah marah, betul. Namun, dia tidak lagi memiliki tenaga untuk menyalurkannya.

Jas seragam anak lelaki itu akan basah.

“...kamu nggak jawab aku, sialan—k-kenapa, sih,” tapi suaranya lemah dan kecil, sementara perasaannya membuncah. “padahal aku b-benar-benar nggak ngerti... kamu c-cuma minta maaf terus...”

Air matanya masih keluar, terus-menerus, terus-menerus. Dan dia tidak bisa menahan.




JAE SEUNGHYUN

Dirasakannya anak perempuan itu protes, namun tidak serta-merta ia lepaskan. Sejenak ia ingin bilang kalau ia tidak mau melepas--tapi ketika Tian Kai akhirnya diam, ia tak bisa bertahan. Sampai akhirnya tinggal isak tangisnya saja yang terdengar di dekat bahunya, membasahi seragam sekolahnya.

Maaf itu bukan jawaban. Tapi bahkan Seunghyun sendiri tidak tahu apa jawabannya. Dan apakah jawabannya itu bisa menjawab pertanyaan dari Tian Kai. Dia marah. Marah pada dirinya sendiri yang sebodoh ini. Memang, ia mengakui dia bodoh--namun kenyataan kalau kebodohannya sampai tak bisa membuat air mata anak perempuan itu berhenti membuat dia lebih benci lagi. Dia harus apa?

Perasaannya ini sama seperti waktu di flat itu. Kalau melihat Tian Kai menangis, dia jadi bingung. Sama seperti waktu itu, ketika di flat--dan anak itu malah menangis ketika ia datangi. Seunghyun sudah melupakannya--tapi ia serasa diingatkan lagi. Masih, ia tidak mengerti. Sama, yang ia lakukan adalah memeluk Tian Kai. Waktu itu dia tertawa karena tidak mengerti.

Kali ini, alih-alih tertawa, yang ia rasakan adalah hentakan super keras di rongga dadanya. Aneh sekali. Ia tidak bisa bercanda kali ini. Meskipun ia tak tahu apa yang harus ia katakan.

Seunghyun mundur. Dilepaskannya pelukannya--karena tadi toh Tian Kai sudah bilang untuk lepas. Berat sekali rasanya mendengar anak itu menangis sedari tadi. Inginnya bilang menangis saja. Inginnya bilang jangan menangis. Semua campur aduk di kepalanya.

Tangannya menepuk kepala Tian Kai yang ada beberapa jengkal di bawahnya; perlahan membawa wajah anak perempuan itu agar bisa ia lihat. Ia tidak bisa bilang pada anak perempuan itu untuk berhenti menangis. Ia juga tidak bisa meledek soal mata Tian Kai yang sekarang merah dan lembap, serta jejak-jejak basah yang lengket ketika jarinya menyentuh dan mencoba menyeka. Percuma.

Tangan kanannya membetulkan rambut Tian Kai yang berantakan, yang terkena gesekan dengan seragamnya. Mencoba menyingkirkan bekas air mata yang penyebabnya toh dia, sedari tadi--dan Seunghyun menelan ludah. Karena memangnya air mata itu bekas kerjaan siapa. Tangannya bertahan di kepala Tian Kai, pada akhirnya. Mengusap-usapnya dengan canggung.

"Kamu nggak suka?"

--kalau aku cium kamu?

(nggak suka?)

Seunghyun tidak bisa bilang bahwa dia ingin menyentuhnya.

Mana bisa.




FONG TIAN KAI.

Bilangnya, dia benci menangis. Memang, benci. Tidak suka sensasi sumbatan di hidung dan tenggorokan itu. Tidak suka bengkaknya mata. Tidak suka buang-buang tenaga hanya untuk meratap. Tidak suka dilihat orang dalam keadaan rentan. Makanya, dia tidak suka ketika dia malah menangis seperti ini. Lemah. Kelihatannya begitu. Padahal, biasanya, di depan Seunghyun, rasanya dia bisa melakukan apa saja dan tidak akan dikomentari. Dia bisa menangis atau mengamuk atau apapun, dan tidak akan ada penilaian tersendiri.

Biasanya, rasanya aman.

Tapi, fakta bahwa selalu Seunghyun yang melihatnya seperti ini... entah dia merasa seperti apa. Rasa itu masih ada, diam-diam, merayap kala dia dipeluk dan hilang ketika Seunghyun menjauh. Dia tidak mau tahu. Dia memilih untuk tutup mata dan lupa. Bahwa dia ingin tidak ada orang lain lagi yang melihat dia seperti ini, dia nyaris tidak ingat lagi rasanya seperti apa. Semua yang ada di pikirannya jadi tidak koheren. Bercampur dengan sesak di tenggorokannya dan air mata yang tidak mau berhenti.

Dia tidak suka dilihat saat sedang menangis, sekali lagi. Itu alasannya mengapa dia memilih untuk menunduk. Itu alasannya mengapa, ketika Seunghyun hendak menatap wajahnya, dia memalingkan muka sedikit. Toh, tidak begitu berguna, gerakannya itu. Seunghyun tetap menepuk-nepuk kepalanya, memperlakukannya seperti anak kecil atau apa, entah—anak lelaki itu tinggi sekali. Hal yang lumayan dia benci. Air matanya dihapus perlahan; juga, dia menarik diri, namun Seunghyun tetap melakukannya. Mengingatkannya tentang semua tonjokan, cubitan, berikut jeweran yang tak jarang bersarang.

Tentang bagaimana semua lelucon kasar itu hilang, pelan-pelan. Tentang bagaimana dia mulai menyadari bahwa suara Seunghyun sudah tidak seperti dulu lagi. Bagaimana dia suka, bagaimana dia tidak suka pula hal itu. Ada kenyamanan yang tidak bisa dibandingkan—di satu sisi, kelegaan malah merambati lubuknya perlahan. Dia juga tidak mengerti kenapa. Bahunya melemas. Bagaimana dia tidak menepis tangan Seunghyun menjauh... tidak mengerti. Sejak awal, dia sudah tidak mengerti.

Dia bertanya, sementara tangannya berada di atas kepala Tian Kai. Ada jeda lama yang terpotong saat anak lelaki itu mulai bicara lagi. Dia jadi begitu. Tidak banyak bicara. Mungkinkah karena suaranya tercekat saat dia melakukannya?

Nggak suka?

Nggak suka apa?

Dia tahu apa yang dimaksudkan Seunghyun lebih dari itu, namun entah merujuk ke apa. Lagi, anak lelaki itu jadi sulit ditebak? Nggak suka apa, maksudnya? Pelukan yang tadi? Seunghyun yang sekarang? Kata-katanya, tindakannya, sorot matanya—apa? Terlalu banyak hal yang ada untuk ditanya, dan Tian Kai tidak tahu harus menjawab apa. Kepalanya kembali mengulas, namun kosong mengisi semua tempat.

Kepalanya menggeleng.

—Jangan.

“...aku nggak tahu.”

(..detak jantungnya, getaran di bahunya, sensasi di perutnya…

semuanya sudah berbeda.)




JAE SEUNGHYUN

Lorong sekolah masih sunyi. Hanya sudut itu saja. Di kejauhan, terdengar sayup-sayup suara para murid, entah sedang apa. Bayangan matahari yang menembus jendela mulai memanjang.

Anak perempuan itu menggeleng.

Pandangan mata Seunghyun tak berpaling biarpun Tian Kai mencoba menyingkir. Anak perempuan itu terlihat capek; dan lagi, ada hentakan aneh menghantam bagian tengah dadanya. Karena biasanya ia melihat mata itu berbinar dan ekspresi yang cerah dan gestur yang lincah dan senyum yang mengembang dan segalanya. Ketika waktu itu ia melihat Tian Kai menangis, kesan yang ada tidak seperti ini. Karena kali ini berbeda.

Apa ya, yang membuat dia memeluk Tian Kai? Tubuhnya yang kecil? Atau apa? Mata anak perempuan itu tampak sembap, hidungnya mengembang dan napasnya terdengar tersumbat; jari-jarinya turun lagi, berusaha menghentikan air mata yang masih mengalir perlahan. Berusaha membuat wajah mungil itu jadi kembali lagi seperti biasa ia melihatnya--tolong, tolong. Karena kalau tidak begitu, bagaimana caranya supaya hentakan di dadanya itu bisa hilang?

Nyatanya tangannya bergerak sendiri. Tangan kirinya juga menyentuh wajah Tian Kai kini. Aneh. Baginya sekarang, lebih mudah menyentuh wajah anak perempuan itu seperti ini, ketika tangannya yang menyentuh pipinya seperti ini; masih berusaha menghapus jejak air mata yang tertinggal--suatu gestur yang sebetulnya bodoh, namun sedikit memberikan rasa nyaman bagi Seunghyun--karena ia bisa menyentuhnya seperti ini.

"Nggak suka," Seunghyun bergumam; suaranya lirih. Pandangannya tak lagi fokus ke mata Tian Kai, mengalihkannya ke sisi lain wajah anak perempuan itu--dari matanya, hidungnya, dan turun ke dagu. Kata-kata itu terlontar begitu saja; Seunghyun tidak pernah menghabiskan banyak waktu untuk berpikir. Karena ketika ia mencoba berpikir, yang ada kepalanya malah pusing; rongga dadanya serasa dihentak dan jadinya sakit.

Yang bisa ia tawarkan hanyalah kejujuran. Sekali pun kalimatnya bodoh. Tak ada rona di wajahnya; entah mengapa. Yang ada tinggal tatapan yang lurus menggantung, kalimat yang tak pernah ia pikirkan akan ia katakan sebelumnya.

"Kalau aku cium kamu lagi. Nggak suka?"

Namun beberapa detik setelah mengatakan hal itu, anak lelaki itu menelan ludah hingga berbunyi; pandangannya mulai terasa jengah dan ia memalingkan pandangannya lagi, sekali pun tangannya tidak bergerak sama sekali. Masih menahan wajah Tian Kai di sana. Beberapa jengkal di bawah wajahnya.




FONG TIAN KAI.

Kalau didaftar, maka semua perbedaan itu tidak akan ada habisnya. Mungkin dihitung pun tidak ada gunanya—mereka semakin tumbuh, semakin dewasa. Tian Kai tidak mau tahu soal usia, tapi dia mengerti waktu sudah tidak sama lagi. Dia sendiri tidak sama lagi; bukan anak rantau yang belum hapal peta kota, yang bahasa Koreanya terpatah-patah. Seunghyun pun begitu, kan? Suaranya semakin berat, tatapan matanya semakin serius. Mereka sudah tidak seperti tiga tahun lalu. Sebagaimanapun Tian Kai menolak untuk menerima yang ada sekarang, dia juga tidak bisa mendorongnya pergi.

Di balik semua itu, selalu ada yang sama. Dia masih Seunghyun. Bukannya ambil inisiatif pakai sapu tangan atau apa, malah pakai jari—ya, itu betul-betul dia. Rasa yang familier itu kembali, membiarkan Tian Kai diam dan tidak menghalau tangan Seunghyun menjauh. Dia menarik napas, panjang, menyeka ujung matanya dan mengalihkan pandangan. Sulit sekali untuk menatap wajah Seunghyun tanpa bilang apa-apa. Kedua tangan Seunghyun ada di pipinya sekarang, dan rasanya panas. Jadi tidak bisa memalingkan muka, karena kepalanya ditahan demikian.

Dia jadi ingin berhenti membandingkan. Entah ini hanya keinginan sesaat atau apa; namun dia ingin berhenti, meski hanya sejenak. Berhenti karena memang mungkin ini saatnya untuk berhenti.

Diam-diam, sorot matanya mengarah ke wajah anak lelaki itu lagi. Memeta, sementara tatapan Seunghyun sendiri tidak ada pada matanya. Rupanya jarak mereka tidak jauh-jauh amat, meski Tian Kai masih harus mendongak untuk melihatnya. Mendadak, lompatan di dalam itu mulai lagi. O, benci. Semuanya sunyi. Hanya ada sorak-sorai teredam dari lapangan yang berlantai-lantai di bawahnya—mungkin anak-anak mulai sparring basket. Di kelasnya, mungkin teman-temannya mulai bertanya-tanya dia menghilang ke mana. Mungkin pula, pelajaran tambahan akan dimulai sebentar lagi, padahal dia harus ambil tas dan kabur bolos sebelum guru menyadari.

Tapi dia jadi tidak bisa peduli.

Tangan Seunghyun masih ada pada wajah Tian Kai, namun pandangan anak lelaki itu sudah jauh. Tian Kai sendiri masih memandangi wajah anak lelaki itu lama sebelum sadar bahwa detak jantungnya mulai berulah lagi—yang tadi itu, apa? Bertanya seperti itu untuk... apa? Dia menemukan dirinya ingin menunduk, namun ada jemari yang menahan dan dia jadi tidak tahu mau bergerak ke mana. Dahinya sedikit mengerut, dan dia agak mulas mengingat entah-hari-apa-itu ketika Seunghyun mengaku lewat telepon.

Waktu itu, dia marah. Karena fakta bahwa Seunghyun menciumnya diam-diam dan baru bilang berhari-hari kemudian. Marah karena dia bertindak seenaknya sementara Tian Kai akan harus menyusun tingkahnya dari awal lagi. Marah karena dia merasa harus menjaga jarak, merasa ada yang diubah, ketika sebetulnya dia tidak mau itu terjadi. Marah karena dia merasa diperlakukan tidak adil. Seunghyun tidak apa-apa, sementara dia tidak. Marah, bukan karena—

(“Menurutmu? Aku bakal senang?”)

—dia tidak mau berbohong.

Berbicara tidak pernah sesulit ini.

(let it go. Kenapa kamu harus memaksa kalau memang tidak bisa?)

“Bukannya…” memutus. Tidak kuat bicara lebih dari ini, dan rahangnya kaku. “Nggak suka...”

Seharusnya tidak usah bersikap sepayah ini, kan.




JAE SEUNGHYUN

tik.

Begitu katanya.

tik.

Jadi dia tidak dibenci.

tik.

Jadi--

Jari-jari Seunghyun yang masih menyentuh wajah Tian Kai rasanya mendingin--dan secepat itu pula anak lelaki itu melepaskan tangannya. Tangannya mengepal dan pandangannya berpaling lagi entah kemana. Anak perempuan itu masih menatapnya, ekspresinya tampak lelah.

Seunghyun membuka mulutnya sedikit, maksudnya mau bicara, tapi tidak bisa. Aliran darahnya meninggi, dan ia bisa merasakan pipinya jadi panas, sementara jari-jarinya mendingin, dan tangannya langsung kembali meraih tubuh Tian Kai ke dalam pelukannya. Kembali membuat kepala anak perempuan itu ada di bahunya.

"Ya ampun." Seunghyun bergumam di rambut Tian Kai--nyaris tak dapat menyembunyikan senyum yang muncul dari bibirnya, meskipun dia tidak mengerti mengapa. Gila, dia ngapain, sih. "Astaga--K, kamu tahu nggak...."

Seunghyun ingin berkata sesuatu, apa saja; yang kira-kira bisa mengalihkan apa pun, lah. Ia bahkan tak tahu mengapa ia berkata itu, dan apakah kalimatnya tadi ada lanjutannya. Tertawa kecil, tanpa sadar--mencoba merapikan lagi napasnya yang mendadak tidak teratur, pada detak jantungnya yang mendadak naik--Anak perempuan ini kecil sekali. Seunghyun menelan ludah, dan lagi-lagi yang keluar hanya tawa, tawa yang terus muncul sekali pun ia coba tahan.

Dan tarikan napas lega.

Ia tidak dibenci.

Lama ia mendekap anak perempuan itu, beberapa menit, dan dia diam saja--hanya detak jantungnya yang berdegup dengan irama tidak tetap; sampai Seunghyun pikir jangan-jangan suaranya terdengar sampai luar, bergema sampai lorong.

Anak perempuan itu tidak benci dia.

Detak jantungnya masih meninggi, tapi jari-jarinya sudah tidak dingin; dan ia merasa bisa kembali tenang. Wajahnya pasti tampak seperti orang bodoh. Seunghyun menahan napas. Harusnya ia bicara dengan benar sekarang, menghadap wajah orang yang ia ajak bicara seperti biasa. "Jadi." Anak lelaki itu menarik napas lagi; yah, suaranya setidaknya cukup bisa terdengar di telinga Tian Kai dalam posisi begini, bukan? "Kamu nggak benci aku."

Tidak benci.

Jari-jarinya bermain di rambut anak perempuan itu, menarik-nariknya seakan-akan itu adalah hal yang penting. Lari ke telinga dan kembali ke pipinya, sementara Seunghyun perlahan mundur tanpa menipiskan jarak tubuhnya. Hingga wajah mereka kembali berhadapan; dan Seunghyun tak tahu harus berekspresi bagaimana. Hanya sesekali ia menahan napas, menelan ludah--dan tetap saja kepalanya kosong.

"Ya ampun. Aku beneran ngerasa tolol nih, K...."

Dia tidak dibenci. Fakta itu yang benar-benar membuatnya lega, lalu--ah, sialan.




FONG TIAN KAI.

Sekarang, yang tidak dimengertinya adalah mengapa dia yang jadi goblok. Pfft. Rasanya, dengan tatapan ini, kelihatan jelas kalau dia menyerah. Melepas semua pertahanannya karena terlalu lelah. Pasrah, lalu—yah. Keluar begitu saja. Dia sudah tidak mengerti lagi tentang dirinya sendiri; mengapa dengan begonya menjatuhkan dinding ketika sudah tinggi dibangun. Malu. Hm. Dia ingin meleleh dan menghilang saja di celah ubin, lalu tidak usah naik lagi ke tanah. Biar tidak perlu menjalani skenario memalukan ini. Biar tidak perlu berdiri di ujung koridor ini, dengan ego yang sudah ditelan bulat-bulat dan wajah yang tidak karuan, menatap Jae Seunghyun.

Dan dia ingin mati saja saking merasa rendahnya. O, gengsi.

Dia tidak tahu Seunghyun hendak bereaksi seperti apa. Hanya saja, tangan yang ada di pipinya itu mendadak jatuh dan mengepal, sedang yang empunya mengalihkan pandangan. Tian Kai mengambil waktu untuk mengamati ekspresinya sejenak sebelum akhirnya menunduk menatap lantai. Tidak. Tidak kuat lagi seperti ini, dengan panas yang merambat hingga ubun-ubun. Dia mau kembali ke kelas, tidak usah pamit sekalian. Atau, yang lebih baik, langsung keluar sekolah. Adanya hanya hening—dan dia benci, benci keheningan. Sialsialsial.

Perlu beberapa saat dan sejumlah kerjapan mata untuk menyadari situasi; karena Seunghyun mendadak menariknya mendekat, mendekapnya. Sejenak, yang dia lihat hanyalah gelap warna fabrik sementara kepalanya menyentuh pundak Seunghyun. Lengan itu melingkarinya lagi, untuk kesekian kali. Nyaman (ugh) dan juga (ughughugh) …hangat. Dia bisa merasakan bibir Seunghyun tepat di puncak kepalanya, dan dia merengut tanpa sadar—entah sebal… atau apa.

Soalnya, yah, gimana mau tahu kalau kamu enggak bilang, begitu yang ada benaknya. Dia cuma bisa ikut diam, lama, tanpa bicara apa-apa kecuali menyahuti tawa menyeramkan semi-maniakal yang mendadak muncul ("...orang gila,") dan merenggut bagian punggung jas anak lelaki itu. Jemarinya jadi kaku. Napasnya jadi tersendat sedikit, pula, dan dia mengerutkan dahi tidak tahu harus pasang muka seperti apa. Seunghyun tidak bilang apa-apa lagi setelah itu. Hanya memeluknya lama sekali—dia sampai tidak mengerti sebetulnya ada apa. Dia cuma ingin menggali lubang dan terjun ke dalamnya, kamu tahu... perasaan yang semacam itulah.

Dia memanfaatkan menit-menit itu untuk mengatur kembali dirinya. Menenangkan debaran yang masih tidak kunjung kalem juga. Menarik napas panjang-panjang. Berpegang pada remasan yang dibuatnya di punggung anak lelaki itu, lalu, berkali-kali menggigit bagian dalam mulutnya. Dia bisa merasakan napas Seunghyun di atas kepalanya, kemudian jemari di rambutnya—dan dia jadi semakin ingin menghilang. Sebuah sahutan tadinya mau disuarakan perihal benci-bencian itu, namun batal ditelan malu.

Tian Kai menelengkan kepala sedikit ke samping, pada awalnya, ketika Seunghyun meraih pipinya untuk melihat wajahnya lagi. Bawaannya hanya mau menunduk—tidak usah lihat matahari lagi, sekalian. Terkutuk, kamu, wahai lidah sialan. Berikutnya dia malah ganti mengutuki detak jantungnya, karena

(dia terlalu

dekat.)

tangannya jadi sempat gemetar sewaktu dia mengangkatnya untuk menoyor kepala Seunghyun tanpa tedeng aling-aling, sembari bilang,"Tolol nggak kira-kira baru sadar sekarang—tahu diri, heh!"

Mau sebal lagi. Maunya. Tapi dia malah menelan ludah dan memalingkan muka ogah lihat wajah Seunghyun, kemudian menggigit bagian dalam bibirnya dan memaki-maki-maki-maki dirinya karena malah memeluk anak lelaki itu lagi.

Sudah basah. Ya basah saja sekalian.




JAE SEUNGHYUN

Orang gila, katanya. Tolol dan nggak tahu diri, katanya.

Tangannya tak beranjak dari wajah Tian Kai, dan senyuman di bibir Seunghyun malah makin melebar melihat tingkah anak perempuan itu, duh, meskipun dia sendiri juga tidak tahu mengapa ia tertawa begini. Tapi wajah anak perempuan itu lucu sekali.

Lucu? Iya, lucu. Entah mengapa ia kini merasa lega. Ada rutukan yang disampaikan, segala hinaan, dan semua itu... bagi Seunghyun, kata-kata itu terdengar seperti Tian Kai. Karena ia tidak suka melihat wajah Tian Kai yang cemberut--sekarang juga cemberut, sih; coba lihat, sepertinya dia sedang menggigit bibir, bukan. Dan wajahnya juga tampak berkerut, ditambah wajah yang sama sekali tidak menunjukkan rasa senang, namun entah mengapa Seunghyun tahu kalau Tian Kai tidak lagi marah. Anak perempuan itu tidak membencinya seperti yang ia kira tadi.

Sudah cukup, dia sudah lega, dan.... apa lagi? Seunghyun merasakan tangan Tian Kai yang meremas punggungnya, dan--

Oh, sial.


Anak lelaki itu menelan ludah dan memalingkan pandangan lagi; ia melirik lorong seakan-akan yang mereka lakukan itu sesuatu yang melanggar hukum atau apa (pelajaran tambahan kan belum dimulai, jadi boleh lah, mereka keluar kelas sebentar. Malas banget). Suara anak-anak masih terdengar di kejauhan, dan Seunghyun mengira-ngira pukul berapa sekarang.

"Kayaknya..... kelas tambahannya sudah mau mulai, tuh....." Seunghyun melepaskan tangannya dari wajah Tian Kai, mencari-cari tanda kalau-kalau ada guru; untungnya sepertinya tak ada. Tangannya diturunkan sekarang, dibiarkan melingkar longgar di bahu anak perempuan itu. Pandangannya dikembalikan ke arah Tian Kai, dan berusaha fokus dengan kata-katanya sendiri.

"Ulangi. Kamu nggak benci aku. Gitu."

Matanya menatap lurus mata gadis itu, dan Seunghyun serius kali ini.




FONG TIAN KAI.

Nggak usah tanya, karena nggak perlu tahu. Nggak penting.

Yang dia tahu, dia cuma ingin menyembunyikan wajahnya sedalam mungkin—menunduk sebisa mungkin, dengan tatapan yang meleng entah ke mana. Ubin, dinding, apalah. Dia tidak sadar apa-apa lagi. Seolah kesemutan, tangannya jadi semakin kaku. Semacam berpegang ke Seunghyun, dengan remasan (atau tepatnya pegangan) yang tak bisa digerakkan. Tian Kai setengah memalingkan kepalanya, namun gerakannya juga susaaah…

Bercampur. Antara kesal, gemas, dan yang paling banyak berada di sana… hhrrrfhh. Malu. Ya sudah; dia semakin berdiam diri, jadinya, dan menghindari kontak mata. Tangan Seunghyun perlahan terangkat dari wajahnya, ganti melingkari pundaknya. Ada semacam gumaman mengenai kelas tambahan yang harus mereka jalani, tapi toh akan dia lewati juga. Dia tidak begitu dengar. Matanya jadi memancang pada seragam Seunghyun—kerah, garis-garis benang, dan hal sepele lainnya. Sejak kapan dia jadi bisa melihat noda samar saus di jasnya itu, sih… pasti muncrat saat jam makan siang. Jorok.

…hmh.

Ada satu yang akhirnya membuat dia menatap Seunghyun lagi; yaitu, saat kalimat terakhirnya disuarakan. Respons pertama adalah angkat alis, jelas, kemudian pasang tampang sedikit tidak suka. Dia berusaha mencari tanda-tanda apapun di wajah anak lelaki itu, namun semuanya jadi sulit sekali dibaca. Kini dia menatap Tian Kai, dan satu pun yang menunjukkan bahwa Seungyun bercanda, itu tidak ada.

Nevertheless, dia mengarahkan pandangannya ke arah lain. Kenapa mendadak minta begituan, sih, lagian… apa betul-betul butuh dideklarasikan secara khusus, ha? Lagipula, butuh atau tidak butuh, Tian Kai tidak bakal bisa (huh) bilang. Tahu sendiri dia tidak akan bisa ulang atau ngomong atau apalah itu kau sebutnya—ngaku? Ha. Dia kini lari, mencari garis-garis di ubin beserta cahaya matahari di atasnya.

“…males.”

Cuma seperti itu. Which is, partly, true.




JAE SEUNGHYUN

Kepala anak itu masih tak bergerak, dan matanya mengamati. Bagaimana reaksi Tian Kai ketika mendengar kata-katanya tadi, bagaimana anak perempuan itu semakin diam, dan matanya justru semakin tak ingin diikuti. Oh, Seunghyun kenal itu. Gadis itu menatap matanya, sekilas, sebelum kembali mengalihkan pandangan, dan segaris senyum tipis muncul di bibir anak lelaki itu.

Mendengar jawaban itu kadung membuat Seunghyun kembali terkekeh--merasa mendapatkan kekuasaannya kembali. Oh, dia kenal ekspresi itu--mau dibilang tidak pun, lama-lama dia kenal wajah Tian Kai yang seperti itu, dan sepertinya ia menikmatinya. Jangan tanya mengapa, pokoknya begitu. Dan dari jawaban itu pun, toh Seunghyun tidak perlu minta lagi pengulangan jawaban itu. Satu kata 'malas' sudah cukup baginya. Hanya tawa lepas yang kembali keluar dari bibirnya.

"Ya sudah, kalau malas," ia hanya tertawa kecil menanggapi. Kepalanya celingukan ke kiri dan ke kanan. Lorong sekolah masih kosong, rupanya. Ia mengedikkan kepala, sejenak merasakan tangan Tian Kai yang masih berpegangan padanya. Tadi memang ada perasaan tidak nyaman, namun sekarang yang ada malah--

Matanya berkilat jahil.

"Jadi? Ini kapan mau dilepas?"




FONG TIAN KAI.

…apa. Terus mau apa.

Tian Kai menggembungkan pipinya dalam kekesalan—manyun, sebetulnya, kalau mau lebih tepat. Tidak, kau tidak akan dapat itu. Permintaanmu, verifikasi, apa pun namanya. Tidak sekarang. Tidak mau. Seunghyun toh sudah ngerti juga, kan? Nah, nah, dia malah tertawa. Hhh. Tak bisa dipungkiri bahwa anak gadis itu gemas sendiri ditertawai begitu. Awalnya dia menatap Seunghyun sengit, seperti yang biasa dia lakukan. Namun, perlahan-lahan arahnya berganti jadi turun ke lantai koridor dalam putaran pelan. Mana dia tahu harus apa, heh. Jangan tanya. Anak lelaki itu tertawa lagi, dan dia tidak bisa apa-apa kecuali mendengarkan.

…lalu, dia nanya apaan sih, itu.

Tampangnya juga. Apaan.

Nanya kapan mau lepas? Dalam rangka apa? Pasang muka begitu maunya apa? Tian Kai menatapnya curiga, meski samar-samar bisa melihat intensinya. Iseng. Sok mau ngetroll balik? Pfh. Masalahnya, dengan tingkat seperti ini, agak mustahil bagi Tian Kai untuk membalas dengan lebih hebat. Tidak bisa berpikir. Tidak ada ide. Pun, dia tidak mood akal-akalan untuk membuat Seunghyun ketroll; mungkin rasanya bakal sulit sekali. Apalagi, dengan wajah yang campur aduk begini.

Tangannya masih di punggung seragam anak lelaki itu. Belum bergerak. Tatapannya datar, tetapi pipinya panas; oh please, elaborate. Dia sendiri nggak ngerti harus bermuka seperti apa lagi, habisnya.

“Kenapa?” bahkan alis saja tidak terangkat, “Kamu pengennya kulepas?”

….dih.

“Kalau kamu nggak mau ngomong apa-apa lagi, ya, mendingan aku kembali ke kelas.”

Kemudian, tatapan itu lari lagi.




JAE SEUNGHYUN

Entah sejak kapan Seunghyun tahu kapan seorang Fong Tian Kai menolak, betul-betul tidak menolak, dan tidak mau menolak. Tiga-tiganya sama sih, berupa pernyataan yang berwujud penolakan. Seunghyun juga tidak bisa menjawab kalau ditanya, mengapa ia bisa membedakannya. Ia juga tidak akan bisa mengucapkan secara gamblang, apa yang membuat perbedaan itu bisa terdengar.

Namun anak perempuan itu sekarang begitu lagi--menjawab pertanyaan Seunghyun dengan seenak jidat lagi, ditambah dengan pandangan mata yang berpaling. Tuh, lihat; pipinya merah. Kalau ditanya, Seunghyun mau ngapain..... sebentar. dia sebetulnya kepingin menunduk saja lalu meraih pipinya itu. Tapi--

Seunghyun melepaskan total tangannya, menarik diri dan ganti menggamit lengan Tian Kai; menuruti permintaan anak perempuan itu, kembali ke kelas. Lorong itu masih sunyi sekarang; Puji Tuhan--meskipun ketika mereka berbelok sedikit, ada beberapa anak yang sedang nangkring. Teman sekelasnya mungkin ada yang menanyainya nanti, pasti; paling Seunghyun hanya akan cengar-cengir saja.

"Maunya ke kelas? Ya sudah, ke kelas saja, deh. Yuk," ia menarik tangan Tian Kai santai, meliriknya dari balik bahunya--karena tanpa sadar jalannya masih sedikit ada di depan gadis itu. Dagunya terangkat, dan ia melirik Tian Kai dengan senyum tertahan. "Pulangnya mau bareng, nggak?"

Okelah, kalau anak perempuan itu memang maunya begitu, turuti saja. Toh, biasanya juga begitu, kan? Wajah gadis itu terlihat lucu, dan Seunghyun hanya nyengir. Lihat saja sampai mana dia mau bertahan seperti itu--Seunghyun hanya akan mengikuti saja sambil tertawa dan menikmati.

Nggak rugi-rugi amat, kok.

Yang pasti, yang Seunghyun tahu sekarang: dia tidak, tidak akan pernah mau dibenci oleh Tian Kai--dan tidak akan mau juga kalau harus kehilangan waktu dengan anak perempuan itu, seperti yang biasa ia lewatkan selama ini. Menemaninya main game, makan, atau juga menolong anak perempuan itu kalau sedang kesal. Lalu menertawai hal yang bodoh dan juga bersenang-senang.

Melihat anak perempuan itu tertawa, dan membantunya kalau susah.

Itu saja.

(oi, Seunghyun, yakin sudah tak ada yang mau dibicarakan?)

Iya, nggak ada, sih. Mau ngomong apa lagi?

(anak bego.)




FONG TIAN KAI.


Jangan tanya karena dia tidak bakal bisa (dan mau) jawab.

Dan memikirkan hal ini yang secara konstan dia berusaha pertahankan, mungkin dia bakal capek. Ralat—dia pasti bakal capek. Entah kapan. Entah bagaimana. Tapi, untuk sekarang, mohon biarkan dia buang muka dan tidak usah tanya-tanya. Cuma ini mode defensifnya setelah kalah telak; cuma sebatas ini yang dia bisa, kok. Dia konyol, dia tahu. Bahkan Seunghyun tengah bersikap dewasa sekarang ini, menghadapi egonya. Dia tahu. Tapi dia ngotot, sih, meski demikian… suatu perbuatan yang dengan gobloknya terkesan menyebalkan.

Lebih menyebalkan lagi karena dia masih saja melakukan itu—ah, ini tidak masuk akal. Bahkan pelukannya yang setengah-setengah itu juga tidak masuk akal. Yang membuatnya buka mata adalah Seunghyun yang melepasnya, kemudian ganti meraih lengannya. Yang malah menurutinya dan bikin dia merasa sedikit-banyak makin bego… aha ha ha. Hngh. Di bawah sirkumstansi seperti ini, dia mau ngomong apaan lagi.

Tangannya dibiarkan saja begitu, ngomong-ngomong. Tidak digerakkan atau apa. Dan, dia ikut bergerak saat Seunghyun menggandengnya menuju kelas—dia sendiri yang bilang mau balik, kan, soalnya. Uh. Tian Kai hanya menatap Seunghyun perlahan saat anak lelaki itu mengatakan demikian, lantas berlama-lama untuk mengamati lekuk senyumnya. Berbeda? Atau tidak?

Either way, jawaban Tian Kai setelah itu tetap sebuah “…nde,” dan tangannya perlahan mempererat gamitan. Melangkah sedikit lebih maju untuk menyamakan. Pada selang satu-dua detik, dia akan mengerlingnya.

Akhir-akhir ini, dia tidak bisa memungkiri, ketika dia bilang `semuanya nggak bakal sama`, dia sudah tahu itu bakal terjadi. Maksudnya, yah, itu pasti bakal terjadi, kan… tapi berkata seolah dia tidak mau itu terjadi malah nyaris seperti sebuah kebohongan, karena toh itu adalah sesuatu yang akan mereka lalui. Entah sekarang, entah nanti—mungkin Tian Kai memang tidak mau mengalaminya. Oke. Tapi dia tidak bisa tidak kepikiran soal itu. Tidak setelah apa yang dilakukan anak lelaki itu, tidak setelah dia tahu bagaimana perilakunya sudah berubah…

…lalu merasa lebih goblok lagi. Ha haaaa.

Dia menatap Seunghyun untuk yang terakhir kali sebelum berhenti di depan kelas mereka, mencoba menyorot wajahnya lama-lama. Yang `normal` itu sudah tidak sealami dulu, kan? Atau malah, mereka bisa kembali lagi seperti itu? Tian Kai, entah dengan pemikiran macam apa, berpendapat bahwa untuk sementara ini, semuanya bisa dinormalkan lagi.

(…harusnya.)


—f i n