oceansahead: (Default)
nacu ([personal profile] oceansahead) wrote in [community profile] sheepandwolf2015-07-30 02:43 pm
Entry tags:

30drabble dump, part one

neck tie.

Terkadang segalanya bermulai dari sesuatu yang sederhana. Pagi-pagi manakala ada jadwal yang mengharuskan memakai sesuatu yang formal, acara pernikahan menjelang senja, temu kangen agensi malamnya. Kadang mereka memutuskan untuk berangkat bersama, kadang hanya melihat Seunghyun yang berberes sebelum Tiankai bergelung di kasur dan tinggal hingga subuh. Jadwal mereka berantakan, tetapi mereka mencari waktu; terutama ketika itulah satu-satunya yang mereka mainkan, semakin lihai, semakin hati-hati, sementara menunggu waktu sampai cincin itu bisa dipakai di jari.

“Kamu setrika kemejaku?” Seunghyun mengambil kemeja putih yang sudah digantung di depan lemari, dan Tiankai duduk di tepi sofa sambil mengangguk.

“Katanya mau pakai. Ya sudah.” Dia tidak memiliki kerjaan apa-apa selagi menunggu Seunghyun pulang, kan. “Dasinya juga di situ.” Dia pilihkan. Sekalian. Karena cocok.

Atau mungkin hanya karena dia ingin lihat Seunghyun memakai yang itu, entahlah. Butuh semenit kala Seunghyun mengancingkan kemejanya sampai pemuda itu kembali ke insting bocahnya dan memanggil Tiankai.

“Kamu bisa bikin dasimu sendiri, kan. Aku tahu.” Gadis itu menggerutu, tetapi tangannya masih bergerak, dan Seunghyun di hadapannya nyengir.

“Tapi aku maunya dibikinin. Hehe.” Tiankai mendelik main-main sambil menarik simpul yang terakhir dan merapikan posisi dasinya, sebelum Seunghyun merajuk lagi, “kancing yang di sini juga.”

Tiankai berakhir mengancingkan pergelangan kemejanya, juga mendudukkan Seunghyun di sofa untuk menyisir rambutnya. Impuls. Dia tidak keberatan. Seunghyun lebih tidak keberatan. Ketika Tiankai menurunkan tangannya, pemuda itu nyengir dan memeluk badannya erat. Dia sudah terlalu tinggi untuk diurusi sambil berdiri. Tiankai menepuk-nepuk kepalanya dan Seunghyun bangkit, merapikan setelannya.

Eotte?” cuma ingin dipuji, barangkali. Tiankai menatapnya menilai. Pemuda itu melingkarkan tangan di pinggangnya, menariknya dekat. Tiankai memegang pipinya dan menggerakkannya ke kanan dan ke kiri.

“Kamu makin kurus,” nadanya seperti mendumel, “badannya jangan makin kecil, dong. Makan yang banyak.”

Ne, Eomma,” ah, minta ditoyor. Seunghyun nyengir dan mengelus-elus kepalanya. “Pas aku pulang bakalan sudah tidur, ya?”

“Mungkin. Pokoknya jam tiga aku balik, jadi lihat saja,” Tiankai merapikan detil terakhir. Kerah, pundak, dan akhirnya sebuah ciuman di bibir. “Jadi anak baik dan sapa semua sunbaemu, eoh?”

“Arasseo,” Seunghyun memeluknya lagi, kepala menyelip di ceruk leher Tiankai, “aku mau pulang cepat, jadi jangan tidur dulu.”

Tiankai tertawa. “Palingan kamu kebablasan karena keasikan ngakak.”

Seunghyun menarik diri kemudian menciumnya satu kali lagi, dengan suara yang dilebih-lebihkan, “kalau ternyata nggak, sampai pagi kamu nggak boleh pulang.”

sneaking in.

Yang ini mudah. Yang ini mereka hapal, jalan-jalan kosong dan gelap yang dahulu mereka telusur bersama lepas tengah malam, usai sesi belajar mandiri. Yang ini mereka lalui pagi-pagi saat yang satu masih menguap dan yang lain belum sarapan, juga yang mereka lintasi saat mereka berlari cepat menuju halte bus, kabur dari pelajaran tambahan.

Yang ini masih lekat di otak dan kali ini tidak butuh usaha, hanya jalan kaki sedikit dan sisanya nyali. Seunghyun yang agak enggan dan bilang bahwa mereka akan dimarahi karena sudah lulus tujuh tahun yang lalu tetapi masih bandel juga.

“Kali ini kita datang sukarela. Dulu kita kabur melulu.” Tiankai menyahut dari atas pagar, sebelah kakinya sudah terayun ke sisi lain, “dan ini lewat belakang, jadi nggak ada yang tahu. Buruan, sini.”

Pukul sebelas malam dan barangkali kalau mereka memang tertangkap, mereka akan dikira maling. Mantel panjang dan syal, napas menguap karena dingin, langkah-langkah yang diusahakan tidak bising di atas keramik. Tidak ada yang jaga, sepertinya. Tidak ada juga anak-anak yang masih tinggal untuk belajar; ah, setidaknya lapangan rumput jauh dari gedung kelas. Mereka harus hati-hati. Ini idenya untuk kemari saat mereka masih kelebihan tenaga kala malam, kan. Sesekali.

Semuanya terjajah sewaktu mereka masih belia. Koridor kosong, gymnasium, aula, lapangan. Semuanya meninggalkan kenangan. Rasanya baru kemarin mereka mengenakan seragam dan saling menoyor kepala, kemudian balapan menuju game center. Rasanya baru kemarin Seunghyun mengiriminya pesan saat self-study dan Tiankai buru-buru ijin ke toilet, padahal kenyataannya, ia berlari menuju arah yang berlawanan.

Di pinggir lapangan dan lampu di atas kepala kini mati, bohlamnya belum diganti. Tiankai berdiri dan Seunghyun melihat ke sekitar, nyengir, senyumnya lebar. “Belum berubah,” barangkali guru-guru mereka yang dulu pun masih ada? Lelaki itu kembali memandang Tiankai dan tertawa. “Lain kali nggak ada panjat pagar. Kita sudah terlalu tua.”

Tiankai terkekeh, “terakhir deh. Buktinya masih kuat.”

“Dulu aku ketemu kamu di sini, sebelum suneung,” Seunghyun mengingat. “Ngakunya kangen.”

“Halah!” Tiankai mendengus, tertawa keras, dan Seunghyun langsung mendekapnya, ikut tertawa sambil mengacak rambutnya tanpa ampun.

“Dulu dan sekarang juga bakalan sama. Ah, jangan ketawa,” napas mereka hangat dan bertumbukan, dan dibanding Seunghyun umur tujuh belas yang dulu, Seunghyun yang sekarang sudah lebih tinggi, lebih besar. Bibirnya ada di sisi kepala Tiankai, menekan lembut. “Dulu kamu juga sama kangennya. Weh. Aku nggak pernah lihat kamu selembek itu, waktu itu.”

“Padahal senang, kan,” dia mencolek rusuk Seunghyun main-main dan dekapan pemuda itu lepas seketika, sementara Tiankai tertawa. “Sekarang kamu lebih lembek. Dasar.”

“Itu hal bagus,” Tiankai dirangkul erat dan langkah pemuda itu membawanya ke sisi lain gedung sekolah, satu kali lagi putaran sebelum pulang, “kamu suka cowok lembek. Aku tahu.”

“Kalau kamu, lembek atau nggak lembek juga aku suka. Kamu mau dengar itu, kan?” alis terangkat menunggu.

Seunghyun membuang muka. “Gombal.”

Tiankai ganti mencubit pipinya. “Kan kamu yang ngajarin.”

waking up.

Lebih mudah ketika terjaga ketimbang tidur. Tidur membuatnya menunggu, menanti jam yang dijanjikan, melewatkan bosan sembari menahan kantuk. Terjaga lebih menyenangkan karena isinya lengan yang hangat dan selimut yang tebal dan cahaya matahari di atas pipi. Terjaga kadang melibatkan kaki yang bertindihan, atau kepala di atas dada, atau wajah yang hanya berselang beberapa senti. Yang pasti, itu lebih menyenangkan, dan Tiankai lebih menanti waktu ketika mereka terbangun di pagi hari.

Bangun saat dia harus menyelinap keluar agak sulit, karena kadang Seunghyun jadi manja dan menolak melepaskan pelukannya. Lengannya sudah berat dan Tiankai harus mengalah beberapa menit sebelum berguling turun kasur. Sudah jam tiga, harus pulang. Tidurnya jadi setengah-setengah dan ciuman yang dibagi lebih malas, berantakan, melenceng ke hidung dan pipi. Butuh waktu sebelum bisa bertemu lagi. Tubuh mereka lelah dari istirahat yang hanya sekejap.

Hari-hari di mana mereka libur jauh, jauh lebih membuatnya lega, karena mereka tidak butuh batas waktu dan bisa membuka mata kapan pun mereka merasa sudah cukup tidur. Seperti akhir minggu saat mereka bisa terjaga pukul delapan atau sembilan. Tidak mau memikirkan makan pagi karena mereka selalu bisa memesan. Tiankai meninggalkan korden dibuka sedikit agar matahari bisa masuk, dan ketika kelopaknya terangkat, yang pertama ia lihat selalu sebuah wajah. Membuat harinya seratus, seribu kali lipat lebih baik. Dihabiskannya waktu menarik selimut hingga menutupi pipi dan melingkarkan lengan, menempel lebih lekat. Badan Seunghyun hangat. Kali ini Tiankai tidak keberatan kalau pemuda itu tidak mau bergerak, karena waktu mereka banyak.

Kalau Seunghyun yang bangun duluan, rasanya tidak jauh berbeda. Cubitan di pipi yang membuatnya menjulurkan tangan, mendorong. Mengingatkannya pada kebiasaan tidurnya yang berantakan sewaktu SMA. Sekarang juga nggak anteng, Seunghyun akan meledek, tetapi Tiankai tahu lebih baik.

“Belum mau bangun?” suara itu ada di pelipisnya. Tiankai tidak mengerti mengapa mulut Seunghyun bisa sampai di sana. Wajahnya diusap, Tiankai belum membuka mata, dan ada bibir di keningnya. Badannya lelah. Semalam ada pengambilan gambar dan wawancara berderet. Ia mengerang, dan Seunghyun mendekat, menyurukkan wajah di selimut yang bertumpuk. Kaki dan tangan saling bertindihan.

“Aku lapar. Ayo makan,” nadanya tidak sabar dan Tiankai pura-pura tidak dengar. “Kai. Ayo pergi makaaaan.”

“Lima menit,” gadis itu merengek, dan Seunghyun tidak kalah bocahnya.

“Mulutku bau. Aku belum sikat gigi,” suaranya mengancam. Tiankai hendak berbalik ke arah lain ketika pemuda itu meniup napas beraroma neraka ke arahnya.

“Iiih!” tutup wajah dengan bantal, jengah. Ada suara Seunghyun tertawa. Seluruh tubuhnya didekap dan Seunghyun meringkuk, mencari hidung Tiankai.

“Bangun atau ku-hah lagi.”

“Ogah.”

Haaaa--

“IIIIIIIIH!”


children.

“Kamu suka anak kecil banget, sih,” Tiankai menunjuk, suatu hari sepulang mereka mengunjungi keluarga Bibi Chun. Younghoon kini umurnya hampir enam tahun dan Seunghyun tidak bisa lagi memberinya tunggangan kuda-kudaan seperti sewaktu badannya mungil dulu. Kini dia bisa diajak bermain bola, meski pelan-pelan dan masih harus digandeng terkadang. Anak-anak tumbuh begitu cepat, kata pamannya. Bibiny memberikan mereka satu kerlingan ke arah jari yang saat itu dilingkari cincin. Yang ada hanya menunduk.

“Iya, ya,” Seunghyun hanya menjawab sekenanya karena tangannya masih di atas setir. Lampu baru saja berganti ke merah dan perlahan mobil mereka berhenti.

“Soalnya mirip sama kamu, jadi teman main. Iya, kan?” Tiankai meraih ponselnya dan melihat foto-foto yang ia ambil siang tadi. Younghoon menarik-narik kaus Seunghyun, Younghoon digendong di pundak Seunghyun, Younghoon yang tidak mau lepas dari Seunghyun-hyung. Tiankai masih menyimpan foto sewaktu mereka SMA, sewaktu Younghoon masih balita dan bisa didekap erat sembari digendong. Sekarang badannya sudah besar dan tinggi.

“Teman main sih iya. Mirip gimana!” bibirnya maju ke depan dan Tiankai ingin mencubitnya sampai monyong. Lalu lintas di hadapan masih ramai. Ada kilas balik satu-persatu; anak ABG yang pakai kostum domba dan main dengan anak kecil di sekolah minggu, bayi raksasa yang minta dimanja kalau sakit, bocah pemilih yang tidak mau makan sayur dan harus dipaksa. Memikirkannya, Tiankai manyun.

“Mukamu jelek banget,” Seunghyun berkata lagi, dan Tiankai menghindar agar tidak kena cubit. “Manyun lagi dong.”

“Selama ini aku pacaran sama bayi super besar. Aigu,” permintaan Seunghyun ia acuhkan. Di hadapan mereka lampu sudah berganti jadi hijau dan Tiankai mengisyaratkan agar Seunghyun menginjak gas.

“Kamu juga bocah. Jangan ngatain doang, ah,” Seunghyun bilang begitu, lalu Tiankai bersuara mencemooh. “Iya, kan! Kalau sudah bocah, gimana nanti kalau sudah ada anak. Bocah tambah bocah.”

“Tambah bocah,” telunjuk Tiankai mengacung ke sebelah hidung Seunghyun, dan lelaki itu berlagak seolah ia akan menggigitnya. Tiankai buru-buru menarik. “Bayangkan nanti sehancur apa. Apalagi kalau anaknya lelaki.”

Lampu merah kedua. Seunghyun nyengir-nyengir di sebelahnya sebelum mencium pipinya. “Aku mau kita jadi total tujuh bocah.”

Mulutnya menganga. “Kepalamu. Rahimnya punyaku!”