oceansahead: (ori)
nacu ([personal profile] oceansahead) wrote in [community profile] sheepandwolf2015-07-30 02:43 pm
Entry tags:

eons later we'll still be glowing, smiling like we didn't give a damn.

location: 758 Beijing West Rd, Jing'an District, Shanghai.
timeline: 11 PM, February 2020.


JAE SEUNGHYUN

Tubuhnya dihempaskan di atas sofa, lengan terbentang ke udara, dan Seunghyun menghembuskan napas panjang. Ia menatap langit-langit yang gelap--bahkan sekarang dia terlalu malas untuk menyalakan lampu. Barusan dia hanya sempat melepaskan mantel yang dilipat rapi, menjadi alas kepalanya. Kepalanya menengok ke arah pintu, kaki menggantung di ujung sofa, dan memutuskan untuk tidak peduli. Arloji di tangannya menunjukkan pukul sebelas malam dan ruangan itu gelap; hanya ada sedikit bias cahaya di dinding, yang muncul dari cahaya lampu jalanan jauh di bawah sana.

Dia sedang tidak berada di rumah. Ini Shanghai dan rasanya aneh mendapati dia kembali lagi dengan perasaan lebih lega kali ini. Terakhir kali dia ke sini bulan lalu, enam hari dia habiskan untuk berjalan-jalan sendirian tanpa tahu arah dan sekarang, dia berada di apartemen Tiankai dengan separuh perasaan merasa ada di rumah sendiri. Tentu saja perasaannya jauh lebih lega sekarang dibanding beberapa jam yang lalu.

Baru beberapa jam lalu dia berada di rumah keluarga Tiankai, merasakan salah satu makan malam paling menegangkan seumur hidupnya. Memang seharusnya dia merasa tenang karena toh dia tidak bisa mendengar semuanya (bahasa mandarin masih sulit dia mengerti, memang). Tapi semua tidak begitu simpel kalau topik pembahasan makan malamnya adalah rencananya dengan Tiankai untuk beberapa waktu mendatang.

Paling tidak, sekarang sudah selesai. Sepulangnya dari sana, Tiankai masih sempat mengajaknya membeli banyak makanan yang dijual di sepanjang jalan, karena Seunghyun mengeluh lapar. Dan memang, Seunghyun sangat lapar. Sepertinya agenda malam ini adalah sesederhana duduk dan membuka segala plastik makanan yang baru saja mereka beli. Benar-benar.

Pesta kecil yang pesertanya hanya mereka berdua.

"Kai, plastikmu ada yang isi baozi 'kan? Aku mau dua. Masih lapar." Seunghyun merajuk, tangannya melambai ke arah Tiankai yang berjalan membawa kantong-kantong plastik yang belum dibuka. Satu tangannya lagi praktis membuka dua kancing kemeja, dan dia menarik napas lagi. Memang benar, seharusnya tadi dia tambah porsi makan lagi. Perutnya seakan-akan belum diisi padahal tadi mereka makan malam dengan segala yang terhidang di meja. Kemejanya terkancing rapat dan dia hanya bisa tersenyum menggeleng tatkala Ibu Tiankai menawarkan porsi nasi lagi.

"Astaga, ini bulan Februari dan rasanya di rumahmu tadi panas sekali."



FONG TIANKAI

Tadi ayahnya duduk di meja dengan tatapan paling lurus yang pernah Tiankai lihat. Donghai tepat di sebelahnya, lagaknya seperti tentara yang hanya akan bergerak kalau diperintahkan atasan. Mereka makan seperti robot yang mengikuti program: daging dipotong kotak, selingi dengan kuah, selingi dengan nasi, dan seterusnya. Tiankai terus-terusan melirik untuk melihat apakah Seunghyun memegang sumpitnya dengan benar. Hanya ibunya yang tampak lembut, senyumnya selalu hadir, tutur katanya memecah mereka-mereka yang seperti patung es. Akhirnya Tiankai merapatkan bibir dan hanya mendengarkan.

Tidak buruk, sebetulnya. Pelan-pelan suasana mencair dan lama-lama tidak tegang lagi. Tiankai tidak yakin apakah ayah dan kakaknya memang membuatnya tegang, atau dia hanya terpengaruh Seunghyun di sebelah. Kadang-kadang dia harus menyela untuk menerjemahkan, dan ibunya hanya tersenyum-senyum. Ayahnya tidak galak, toh. Hanya wajah dan rahangnya yang keras. Ibunya terus-terusan menawarkan nasi dan lauk lagi, dan pada akhirnya, ketika anggur merah dikeluarkan untuk penutup, ayahnya menuangkan untuk Seunghyun. Tiankai ingin tertawa.

Hatinya terasa lebih ringan saat dia berjalan keluar dan mendengar Seunghyun masih lapar. Dia mengajaknya mampir ke gerai yang pernah mereka kunjungi, membeli beberapa jenis sekaligus untuk dihabiskan malam ini. Barangkali kalau tegang jatuhnya jadi lapar. Padahal tidak bisa dibilang tadi makan sedikit. Kantung di tangannya ada tiga plus beberapa kaleng minuman.

Dia menghempaskan diri di sebelah Seunghyun dan membuka satu kantung. “Soalnya grogi, ya? Tadi kayak patung,” dia menahan tawa, styrofoamnya dibuka. Ada empat baozi dan kesemuanya disorongkannya ke arah Seunghyun. Setelahnya, kakinya sendiri dinaikkan bersila di atas sofa dan ia meraih styrofoam yang lain bersama sumpit, yang isinya liangpi.

Jalhaesseo. Sudah lewat,” dia berkata, sembari tangan kirinya mengusap kepala Seunghyun. Tadi sebetulnya cara bicaranya kalem dan belum pernah dia lihat. Lumayan berbeda, jadinya.... Entahlah. Senang juga. Rasanya seperti baru pertama kali melihatnya segugup (dan setenang) itu, apalagi ayahnya mendengarkan. Kakaknya pun. Tadi pun dia melihat ibunya memintanya datang lagi, kan... Lihat saja nanti.



JAE SEUNGHYUN

Dia bahkan sudah lupa apa yang mereka bicarakan tadi. Kalau bisa dibilang 'bicara', karena Seunghyun cukup sering mengulang karena takut lafalnya tidak terdengar jelas, atau malah lawan bicaranya tidak mendengar dengan jelas, atau keduanya. Beruntung Tiankai membantu menerjemahkan atau dia tidak akan tahu harus bagaimana. Sekilas tadi, lelaki itu bisa melihat Tiankai beberapa kali menahan tawa. Tentu saja karena bicaranya tadi macam utusan perusahaan yang tengah bernegosiasi. Untung saja dia tidak memutuskan untuk memakai dasi.

Tatapannya lurus ke dinding yang polos dan hanya terhalangi oleh set televisi. Pandangannya menerawang. Bicara memang gampang--oke, tidak gampang, mengingat tadi saja dia masih terbata-bata; tapi itu sudah lewat, seperti kata Tiankai. Tapi masih ada yang lain. Kepalanya kembali memutar ulang pembicaraan yang baru saja lewat sambil bangkit dari posisinya, ikut bersila sementara Tiankai menyodorkan makanan bagiannya.

"Kayaknya lebih parah daripada interview universitas. Nggak tahu juga, ya," Seunghyun tertawa kecil, kepalanya mengikuti ke arah mana tangan Tiankai mengarah. Tangannya sendiri mengambil satu baozi dan langsung memakannya tanpa jeda. Lalu menyandarkan kepalanya ke dinding, memperhatikan Tiankai yang sudah mengambil makanannya sendiri. "Tapi bisa dibilang.... oke? Iya? Kalau begitu, dari sekarang kita harus cari tempat tinggal lagi buatmu di Seoul."

Sebenarnya, kalau dia memikirkan benar-benar seperti sekarang, dia sendiri juga merasa aneh. Omongan yang keluar dari mulutnya tadi ia bicarakan begitu saja; begitu juga rencananya kemarin. Begitu dia menentukan, dia langsung mengatur ini dan itu. Padahal akhir tahun kemarin dia tak bisa membayangkan akan melakukan hal semacam ini, namun tiba-tiba saja dia bisa merencanakan dan melewati. Baru setelah melewati pembicaraan tadi Seunghyun benar-benar memikirkan. Rasanya masih lama. Rasanya sebentar lagi. Tentu saja saat ini dia masih sulit membayangkan dirinya sendiri dalam jas berekor atau Tiankai dengan gaun panjang menyentuh lantai, tetapi ada satu hal yang cukup realistis untuk dibayangkan sekarang: gadis itu akan pindah ke Seoul lagi secara bertahap.

Wajah senangnya tentu saja tidak bisa disembunyikan.

"Bulan depan gantian, ya? Mama kemarin bilang langsung sekalian saja pulang bareng. Tapi nggak bisa, kan." Lelaki itu nyengir lebar ke arah Tiankai, sambil mengunyah baozi yang kedua. "Padahal aku belum bilang apa-apa. Tapi dia heboh sekali, bilang kalau kamu datang, nginapnya di rumah dia saja."



FONG TIANKAI

Kalau harus dibandingkan dengan wawancara universitas, rasanya jadi berbeda. Tiankai hanya mengukurnya dari seberapa lurus tatapan ayahnya, dan setelah itu sudah. Sejak awal sesungguhnya dia tidak begitu khawatir. Ibunya tidak akan membantah dan kakaknya juga; kalau ayahnya mau mengatakan yang lain, pasti tadi sudah akan dikatakan, dan mereka tidak akan berakhir di sini dengan banyak macam makanan yang menunggu dimakan. Ini pukul sebelas dan rasanya mereka masih bisa menghabiskan; Tiankai tidak begitu lapar, tetapi perutnya masih bisa diisi. Biarlah sesekali.

Dia mengangguk-angguk dan menggumam. Kalau dia memang mau mulai lagi, maka harus dimulai dari sekarang. Toh targetnya adalah kembali lagi ke Seoul pelan-pelan, dan tentu itu bukan hal yang mudah. Dia akan butuh tempat tinggal lagi seperti apartemen tempat mereka berada kini; singgahan sementara yang kecil namun nyaman. Dan harus dekat dengan di mana pun dia bekerja nanti, jadi sepertinya dia harus kembali untuk survey. Mungkin membuka-buka situs agen rumah, besok.

“Mm. Nanti sekalian waktu aku ke sana,” atau dia juga bisa minta tolong untuk melihat, kan? Liangpinya disuap dan dikunyah, berpikir-pikir. Apartemennya yang di Jongno sudah lama dijual. Betul-betul harus mencari yang baru--dan yang lebih kecil, tentu saja. Mi dingin di mulutnya itu terasa hambar ketika dia ingat mereka juga harus bertemu dengan orangtua Seunghyun. Tentu saja harus bilang bersama-sama, kan.

“Oh,” bulan depan. Bagaimana caranya dia pasang muka dan menjadi sosok yang presentable bulan depan. Sudah lama sekali dia tidak bertemu, dan meski dia tetap berkontak dengan Soori sekali waktu, tetap saja... “kalau boleh menginap di situ, sih...” segan, lumayan, karena dia kini memandang ibu Seunghyun sebagai sesuatu yang lebih, lebih serius. Dia menarik napas. “Berarti aku nggak ke rumah bibiku. Atau nanti aku telepon mamamu, deh.” Lebih baik bilang sendiri, tentu saja, sekalian bersapa terlebih dulu.

Makanannya sudah habis setengah. “Gantian aku yang deg-degan, dong. Gimana.”

Menurutmu. Alisnya mengait dan wajahnya betulan risau.



JAE SEUNGHYUN

Semua terasa lebih mudah karena sudah dilalui. Ternyata tidak sesulit itu. Ternyata jauh lebih mudah menghadapi langsung daripada memilih opsi berputar dan menyulitkan diri sendiri. Seunghyun hanya tersenyum mendengar komentar gadis itu, sementara dia mengunyah makanannya. Apa yang membuatnya begitu takut, kemarin-kemarin, berbulan-bulan lalu, waktu itu? Penundaannya kemarin jadi terasa sia-sia kalau Seunghyun hanya memikirkan hasil akhirnya saja; tapi dia memutuskan untuk tidak menganggapnya begitu.

Aneh bahwa sekarang dia bisa menganggap rintangan yang dulunya terasa sebagai hal yang paling besar sekarang menjadi sesuatu yang akan berkaitan dengannya seumur hidup. Memang berbeda, tetapi tidak buruk. Bicaranya masih terbata-bata, tapi dia akan selalu dibantu. Oh, dan satu lagi, masakan mamanya enak serta senyumannya sungguh baik hati (Ini penting).

Tidak akan terlalu berbeda, tapi juga tidak sama. Apa, ya? Satu hal lagi yang mereka lewati, dan setiap kali Seunghyun memikirkannya, dia merasa sudah jadi sedikit lebih dewasa. Biarpun sikapnya sebenarnya tidak terlalu berubah. Kali ini Tiankai tidak datang karena ada audisi atau pekerjaan. Semua karena pilihan pribadi dan itu menyangkut dirinya juga. Hanya memikirkan itu saja, Seunghyun sudah merasa senang. Sampai tidak bisa membayangkan yang lain, lain, lainnya.

"Kenapa kepikiran? Kamu lebih sering ketemu. Pasti sudah ada bayangan, kan." Seunghyun nyengir. "Lagipula ngapain berusaha kelihatan baik? Mereka sudah tahu kamu anak yang dulu teriak-teriak bilang pakaian dalamku gambar power ranger. Tahu?" Tangannya terulur, mencubit hidung Tiankai keras-keras dengan ekspresi geli. Lucu melihat Tiankai sekarang meributkan hal seperti ini dibandingkan dulu ketika diskusi mereka paling jauh hanya soal pekerjaan rumah dan bocoran ulangan. "Aku belum bilang. Nanti biar mereka tahu pas sudah ketemu saja."

Perutnya sudah lebih terisi sekarang. Pandangannya beralih ke styrofoam yang sudah hampir kosong, plastik lain yang masih berisi cemilan kecil berupa kue-kue manis, dan kaleng minuman. Ada bir dua kaleng. Diambil dan dibukanya satu, meminumnya sedikit. Besok dia baru pulang sore hari, masih ada waktu kalau sekarang masih ingin membuat matanya terjaga. Tetapi, sekali pun dia terjaga, yang akan dia lakukan hanyalah duduk, mengobrol sampai dini hari atau jatuh tertidur.

"Coba kita daftar. Ketemu orangtuamu, sudah. Lalu bulan depan ketemu Papa dan Mama... tapi kayaknya gampang, deh. Lalu kepindahanmu ke Seoul.... nanti cari rumah kamu. Terus apa lagi yang harus kita lakukan? Coba lengkapi." Jemarinya teracung ke arah Tiankai, menghitung; nyengir iseng. Lengan satunya memeluk mantel yang tadinya dijadikan alas kepala. Satu dua tiga.



FONG TIANKAI

Lagipula, coba bayangkan saja. Dia ini anak yang menempel dengan Seunghyun sejak umur lima belas. Satu kejadian yang menurutnya paling menempel justru adalah insiden kala dia menemukan boxer Power Rangers Seunghyun yang sudah kekecilan, iya, persis seperti yang pemuda itu katakan. Soori dulu memanggilnya oppa dan mama Seunghyun adalah satu dari sedikit sosok yang menganggapnya anak perempuan manis. Ah, seperti dia kurang banyak saja aibnya. Tiankai berumur enam belas tidak mengerti yang namanya citra, karena toh itu di depan Seunghyun, dan mamanya akrab dengannya; seperti ibu sendiri.

Tapi justru itu letak masalahnya. Karena mama Seunghyun melihatnya dan segala aib-tak-terkatakannya di masa remaja. Sudah lama sekali ia tidak bertemu, dan apa yang akan beliau katakan melihat Tiankai yang sekarang? Mendadak pulang membawa kabar, pula... Dia akan menyerahkan itu kepada Seunghyun, sepertinya. Sementara waktu, biarkan dia mempersiapkan mental saja. Ayah Seunghyun juga akan hadir, pasti, dan Tiankai tidak tahu apa yang harus ia lakukan agar ia tidak... Memalukan.

Ya. Aish,” dia mengusap hidungnya yang terasa gepeng. Barangkali mereka memang tidak berubah sejauh itu, dan barangkali, sebenarnya itu hal yang bagus. Tetapi dia merasa khawatir. “Justru itu. Karena suka teriak-teriak. Orangtuamu tahu aku yang begitu,” yang pecicilan dan ribut dan sama sekali tidak feminin. Sudah lama, sudah berlalu, dan dia tidak yakin dia sudah seberbeda itu dari nyaris dua tahun yang lalu.

Ia mendengarkan sembari menyelesaikan makanannya dan mengunyah dalam diam. Sesungguhnya memang ada banyak yang harus mereka lakukan, tetapi mereka bisa melaksanakannya perlahan. Kalau diurutkan, maka akan terlalu banyak, dan mereka juga masih punya banyak tahun-tahun ke depan untuk benar-benar siap. Dia menghabiskan sisa bulan kemarin merunutnya, tetapi berujung pusing juga.

Jemari Seunghyun terangkat tiga. Ia menutup styrofoamnya dan meletakkannya di meja, tangan meraih sekaleng bir. Jarinya hanya ada di tutupnya; urung membukanya. “Urus agensi,” sekarang ia akan mulai transisi perlahan, agar nanti bisa berbasis di Korea. Kembali lagi ke setumpuk dokumen untuk diurusi. Satu jari naik. “Kontak orang-orang. Yang kamu bilang bisa bantu.” Dua. Sebentar. Ada lagi. Yang ini porsi mereka berdua, tentu saja. Jarinya terangkat lagi.

“Menabung yang banyak,” dia tertawa kecil, entah mengapa seperti ada katup yang terbuka. Ringan. “Yang itu jangka panjang, tapi paling penting.”



JAE SEUNGHYUN

Kali ini, mereka tidak lagi ingin mendahului waktu atau mencoba bersaing dengannya.

Kali ini mereka berselancar di atasnya. Menjalani apa yang ada sebaik mungkin dan tetap berbahagia. Sesuatu yang sudah jauh lebih sederhana. Seunghyun hanya tertawa mendengar komentar Tiankai, tidak mengomentari lagi. Soal itu, biarlah nanti orangtuanya sendiri yang memutuskan. Biarpun dia yakin tidak akan ada masalah, sih. Rasanya, dia jadi gantian mengerti--karena sebulan kemarin dialah yang sibuk bertanya apa yang harus disiapkan sementara Tiankai bilang untuk tenang-tenang saja.

Ini masih awal tahun dan seperti kata Tiankai masih banyak yang harus mereka jalankan sampai didaftar pun tidak akan selesai kecuali dilaksanakan. Dan itu memang tidak bisa dilakukan terburu-buru; mereka harus menyesuaikan dengan waktu. Betapa aneh karena berapa tahun pun mereka menjalani kehidupan ini bersama, setiap tahun selalu ada yang baru. Selalu ada perubahan.

"Nggak ada yang kelewatan? Misalnya kewajiban kamu kemarin kasih cokelat buatku--" Lelaki itu kembali tertawa geli. Merasa menang, Seunghyun kembali melanjutkan. "Tapi tenang. Karena aku orang baik, jadi aku kasih hadiah white day lebih cepat biarpun nggak dapat cokelat."

Tentu saja, semua hal yang dikatakan Tiankai itu penting; tapi dia lebih senang karena gadis itu sepertinya tidak menyadari apa pun. Seunghyun mengangguk takzim, seakan-akan baru saja memahami hal yang terlupa. Sementara Tiankai lurus menjelaskan hal-hal penting semacam agensi dan tabungan dan hal teknis lainnya, tangannya yang memeluk mantel mencari-cari sesuatu di salah satu saku yang berada di bagian dalam. Beberapa saat kemudian tangannya menemukan apa yang dicari--sebuah kotak kecil yang langsung dikeluarkan.

Nggak akan sehati-hati kalau tidak ada barang penting di dalamnya, memang. Tepatnya sejak datang kemarin Seunghyun paling berhati-hati dengan mantelnya itu--pokoknya tidak boleh sampai lepas. Setidaknya dia berhasil membawanya tanpa terlihat oleh gadis itu dengan keadaan mereka selalu bersama seharian ini. Tentu saja, pemuda itu selalu serius dengan apa yang dia berikan. Bando tanduk rusa sekali pun, dan yang ini juga. Dua minggu dia melewatkan waktu kembali keluar-masuk toko dengan bingung, mengorbankan Soori yang lagi-lagi menjadi tameng andalannya (untung saja adiknya itu rela).

Tapi pada akhirnya Seunghyun memang tidak pernah menjadi pengatur suasana yang baik. Meja di depan sofa mereka penuh dengan makanan baik yang dibuka maupun yang belum. Kaleng-kaleng minuman yang tersusun tak teratur di sela-sela. Ruangan yang temaram, jam merangkak ke pukul sebelas malam, dan mereka berdua yang duduk berhadapan di sofa sambil bersila. Pemuda itu sendiri yang sambil tertawa-tawa mengambil tangan Tiankai yang tadinya teracung menjelaskan; menyodorkan kotak itu secara paksa ke tangannya.

"Nih. Tapi kalau nggak pas, mungkin kita harus tukar ke tokonya. Soalnya patokanku kemarin pakai tangannya Soori." Seunghyun tersenyum lagi; perlahan ekspresinya melembut. "Lalu, nggak bisa kamu pakai terang-terangan juga. Nggak apa-apa, tapi, ya."

kotak dan isi



FONG TIANKAI

Seperti berjalan di atas tali titian.

Dulu mereka sedikit terburu-buru karena waktu mereka sedikit. Lima bulan dan tidak lebih. Tiankai yang harus mencapai sisi lain terlebih dulu, berpisah tanpa jaminan, berpisah tanpa arah. Hidup tanpa janji apa-apa. Kali ini mereka memiliki selamanya, dan mereka berani mempertaruhkan yang lebih banyak. Gadis itu bisa mendaftar semua hal yang ia ingin mereka lakukan, tetapi waktu masih lama, dan tahun-tahun masih ada banyak. Ia yakin itu. Ia tahu itu. Otaknya memintanya berhenti, dan perlahan, semuanya seolah akan baik-baik saja.

Seperti menganggap hal-hal menjadi wajar karena mereka akan selalu bertemu dengan hal ini, setahun, dua tahun, tiga tahun dan seterusnya. Hidup dengan pandangan baru. Tiankai hanya mendesis dan mendorong bahu Seunghyun main-main; tanggal empat belas kemarin ia hanya menelepon dan mengucapkan selamat, karena sepertinya aneh kalau tidak mengucapkan kala Valentine. Cokelatnya ditunda dan dia bahkan tidak berniat untuk memberi. Dia bisa memberi benda-benda lain, hal-hal lain, di lain waktu. Di kesempatan lain. Kesempatan yang sekarang mereka miliki. Untuk waktu yang sangat, sangat lama, hingga mereka tak lagi perlu takut akan apa-apa.

Mendengar itu dia hanya mengerutkan dahi dan menunggu. Seunghyun bicara seolah ia merencanakan sesuatu, dan nampaknya ia memang sedang merencanakan sesuatu. Tiankai masih di tempatnya, bersila menghadapnya, kaleng bir di pangkuan dan belum dibuka, sementara Seunghyun merogoh saku dalam mantelnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Ia memperhatikan dan matanya melebar.

Ia separuh ingin berkomentar, siap melontarkan apa saja, tetapi saat kotak itu dijejalkan ke tangannya oleh jemari yang bergerak cepat, semua suara di mulutnya mati. Kata-katanya buyar. Warnanya biru tua, dan karena lampu apartemennya tidak dinyalakan seluruhnya, ia hampir tidak bisa melihat apa yang ada di tangannya. Jemarinya menggenggam, agak ragu, dan ia mengerling Seunghyun untuk menemukan ekspresi yang lembut.

Cincinnya kecil dan sederhana. Perak dan cantik, dan dia memutuskan bahwa dia menyukainya; saat itu juga tengkuknya dingin dan wajahnya panas. Seunghyun tidak pernah memberikannya cincin, tidak waktu mereka berpacaran di Seoul, hanya kalung dan anting dan sesungguhnya dia tidak memikirkannya terlalu banyak. Tapi kalau kini, ia ingat, kalau mereka akan menikah dalam beberapa tahun ke depan... Dia masih berdebar, masih, karena itu terdengar seperti hal yang sungguh jauh tetapi dekat tetapi jauh. Isi kotak itu ada tepat di depan matanya, tapi, dan itu sungguh...

Dia tertawa pelan. “Sense-mu nol. Aku nggak heran. Masa begitu caramu ngasih cincin ke perempuan,” dia memandangi isi kotak, berganti menatap matanya, diam di sana lama. Nyengir sampai giginya terlihat dan ia tidak bisa lagi menahan ekspresi senangnya. Kotaknya disorongkan, menanti.

“Pakaikan, dong.”



JAE SEUNGHYUN

"Aku masih butuh sense?" Seunghyun tergelak mendengar komentar utama Tiankai, mengambil tangan kiri gadis itu dan menggenggamnya. "Harusnya kamu lebih tolerir sedikit sama orang yang sensenya sudah habis lantaran melamar pakai nangis dan nggak bawa apa-apa."

Dan Seunghyun tahu dia memang tidak perlu khawatir gadis itu akan kecewa atau tidak; karena Tiankai hanya bisa mengatakan itu saja. Cincinnya sudah diambil dan dipasangkannya pelan-pelan di jari manis tangan kiri Tiankai, sepertinya sedikit longgar--namun tidak terlalu longgar sampai bisa lepas. Seunghyun tersenyum puas melihat hasil kerjanya sendiri; mengecup jemari perempuan itu sekilas sebelum menatap Tiankai lagi. Ia berdehem, mengeraskan suaranya agar terdengar serius, senyumnya lebar dan matanya berkilat main-main.

"Jadi--ehem. Aku harap, setelah ini juga Fong Tiankai akan selalu menghargai Jae Seunghyun yang nggak punya sense, cengeng, dan semena-mena, sampai dia keriput, karena dia sendiri lupa cokelat Valentine, nggak kalah rewel kalau sedang sakit, kalau marah mukanya jelek, nanti juga akan keriput, jadi gemuk kalau punya anak--"

Masa depan adalah waktu yang panjang. Waktu berjalan tanpa mereka sadari dan kadang dia sendiri terkejut mendapati masih banyak waktu setelah semua yang mereka alami. Namun tetap saja dia tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi ke depan, dan kadang-kadang, dia masih merasa takut. Namun setiap kali itu juga dia melihat lagi ke belakang, dan semuanya yang terjadi, dan pemuda itu merasa bahwa sampai nanti juga mereka akan baik-baik saja.

Akan ada hari yang membosankan, akan ada hari yang biasa-biasa saja. Akan ada hari yang baik dan mungkin juga hari yang tidak terlalu baik. Selalu, tidak pernah ada yang sempurna. Sama seperti ketika mereka sadar bahwa mereka tidak lagi lima belas, tidak lagi tujuh belas, tidak lagi sembilan belas: dunia berputar dan waktu berjalan, namun mereka masih bersama. Baik sewaktu mereka masih dua remaja tanggung yang gemar menghabiskan waktu di depan konsol permainan, pekerja dunia hiburan yang harus mencari-cari waktu luang karena sulit bertemu, sampai ketika mereka dewasa dan harus terpisah dua negara.

Seunghyun menghela napas panjang.

"--dan nggak akan bosan, karena 'selamanya' itu lama sekali." Kalimat terakhir itu diucapkan sambil tersenyum, dan Seunghyun mendekat untuk mencium kening, kelopak mata, dan bibirnya.

Rasanya masih familier, seperti hari ini, kemarin, sampai bertahun-tahun yang lalu ketika ia mencium anak perempuan itu di depan televisi yang menyala, kata-kata yang kaku dan wajah yang merah padam; di kedai tanpa nama di sudut Hongdae yang tersembunyi, di pojok studio yang kosong ataupun di atas bantal di kamar tidurnya. Selalu ada yang berbeda setiap kali, tapi juga masih ada hal yang sama. Mereka sudah jauh, jauh lebih dewasa sekarang.

Tidak ada rasa berat kali ini dan napasnya tidak sesak lagi entah sejak kapan. Namun yang selalu ada, setiap kali: adalah senyumannya yang muncul bahkan ketika dia sendiri tidak menyadari. Selamanya adalah waktu yang lama, tapi Seunghyun tidak keberatan kalau menghabiskannya dengan Tiankai. Paling tidak, sudah delapan tahun mereka menggenggam biarpun pernah lepas dan harus mencari lagi. Dan pemuda itu tidak keberatan kalau harus menjalaninya lagi terus-menerus.

Kali ini, dia akan selalu mengenggamnya. Sampai entah kapan.



FONG TIANKAI

Jae Seunghyun yang dia kenal tidak pernah memiliki sense. Dimulai dari waktu ia menciumnya di dalam bus terakhir lewat tengah malam, memberinya bunga dengan sebuah sorongan tangan dan telinga yang merah, harus membisikkan aku cinta kamu saat sedang gelap gulita mati lampu, atau hal-hal kecil yang tak pernah diutarakan dengan pemikiran dan pertimbangan. Mereka melakukan banyak hal secara spontan. Bulan lalu mereka berada di atas sofa ini dan segalanya keluar tanpa rencana. Dia tak pernah mengharapkan hal-hal yang muluk, karena sejak kecil mereka begini, dan terbukti tidak masalah; justru semakin lama mereka bersama, semakin Tiankai hapal. Sejalan dengan kotak cincin yang hanya disorongkan seolah isinya cokelat balasan White Day, bertahun-tahun yang lalu.

Tiankai tertawa. Membiarkan Seunghyun meraih tangannya dan mengingat kala mereka berjalan tanpa membawa apa pun dan tetap saja mencapai tujuannya. Kamu tidak pernah punya sense, dia ingin menjawab, namun di jari manisnya kini ada cincin, dan Seunghyun mengecup jemarinya. Dia ingin tertawa lagi, namun ditahan, dan senyumnya merebak. Ada tatapan yang serius dan diam yang dijatuhkan. Dia menunggu, dan menunggu, dan akhirnya tawanya keluar juga, toh, mendengar pernyataan (harapan?) yang diucapkan. Jemarinya balas menggenggam erat.

Jarang sekali mereka membicarakan hal-hal yang sudah jelas di depan mata. Jarang mengungkit karena mereka sudah sama-sama tahu, seperti keinginan dan harapan atau bahkan sekadar ungkapan. Kadang ia merasa itu akan jadi terlalu klise, dan dia sendiri tidak bisa menyatakannya selain mengucapkan sepatah-dua patah kata. Mereka mengerti. Mereka bergerak, bukan berkata, dan kadang berbicara terlalu banyak membuatnya malu. Kadang ia masih merasa begitu hingga hari ini. Mendengarkan Seunghyun menutur begitu banyak membuatnya begitu ingin tertawa, karena ia merasa begitu ringan. Lega. Mereka berjalan ke arah yang benar dan Seunghyun mengatakan semuanya, dari sekarang hingga tua, hingga keriput, hingga habis masa.

Ia melihat wajah ini sejak masih lima belas; rambutnya cepak dan wajahnya lebih kecil, badan kurus. Ia melihat wajah ini ketika rambutnya dicat pirang dan warna-warna nyentrik lainnya, berbalur riasan, mikrofon di telinga. Ia melihat wajah ini di atas kasur, tertidur, paling tenang yang pernah dilihatnya selama ia hidup. Ia melihat wajah ini sekarang, tersenyum lebar, dan dia akan terus melihatnya hingga nanti--akan bisa menghitung setiap kerut, setiap ekstra keriput, hingga memutih, menua.

Waktu berjalan dan ia tidak pernah seyakin ini sebelumnya. Tangannya hangat, hatinya hangat, dan ia tersenyum saat Seunghyun mengakhiri dan menciumnya. Semuanya dia kenal. Tidak pernah lupa, tidak pernah asing, selalu diingat setiap bagian dirinya dan ia hanya ingin menyimpannya bersamanya selamanya. Waktu akan berjalan dan terus berjalan, dan mereka bisa memulai dari awal dan terus berlanjut hingga akhirnya. Tiankai tidak bisa memilih yang lebih baik karena tidak ada yang lain. Tidak pernah bisa. Tidak pernah ada.

Dia tersenyum, tangan meraih dagu untuk disentuh sambil ia berkata, “dan karena lama sekali, jadi Jae Seunghyun harus tabah kalau--calon. Istrinya. Nanti kagok dan mereka harus belajar banyak hal dari awal,” yang itu, justru, ditunggu. Karena lebih baik melakukannya bersama ketimbang sendiri. “Jangan khawatir. Kamu jauh lebih rewel. Dan tadi kamu bilang cengeng?” tertawa, wajah mereka masih dekat, dan dia merasa begitu tenang.

“Sensenya naik sedikit,” suaranya pelan dan main-main. Kedua tangan naik untuk merangkum pipi dan mencubit sedikit, sebelum mencium bibirnya. “Tapi nggak punya sense pun sebenarnya aku nggak keberatan.”

Jam berdetik dan napas ditarik, ada bungkusan makanan di meja, kaleng terbuka satu, dan mereka masih mengenakan pakaian makan malam tadi. Tiankai nyengir lebar karena lihat di mana mereka berada sekarang, masih berantakan, masih tersenyum seperti baru kemarin mereka keluar gedung WB dengan badan berkeringat dan perut lapar, sekaligus rasanya sudah bertahun-tahun yang lalu.

“Siap-siap tidur, Shengxian,” tatapannya melembut, “masih lama sekali sampai kita keriput.”

Banyak waktu untuk dihabiskan. Seumur hidup untuk dinikmati. Tak ada yang ia sesali.



JAE SEUNGHYUN

Pertama kali dia memeluk Tiankai adalah waktu usianya enam belas dan tubuhnya jauh lebih kurus, mereka jauh lebih kecil. Bukan di apartemen belasan lantai di tengah metropolitan Shanghai, namun apartemen kecil di Jongno, dengan kantung plastik dan botol soda berserakan di sekelilingnya. Bertahun-tahun yang lalu ia mencium Tiankai di bis yang sepi di tengah malam, dan kemudian gadis itu marah hingga dia tidak tahu harus berbuat apa. Pernah, sebelum itu semua, ia menganggap Tiankai adalah anak lelaki yang terperangkap dengan rok dan tidak tahu bagaimana cara yang benar untuk melafalkan bahasa Korea, sementara dia sendiri adalah anak usia enam belas yang terobsesi dengan bagaimana caranya jadi pahlawan semua orang dan laki-laki yang paling sempurna untuk wanita.

Kata-katanya seperti sebuah sumpah atau janji yang terdiri dari kata-kata informal. Seunghyun tertawa setelah mengatakannya. Orang lain mungkin akan menganggap itu sebagai hal yang tidak bermakna, tapi Seunghyun tahu itu saja sudah cukup. Aku juga masih belajar, kamu tahu, ia tersenyum saat Tiankai meraih dagunya dan berujar, kalimat-kalimatnya sendiri tertelan oleh bibirnya yang membalas ciumannya, tangannya menyingkirkan kaleng bir yang belum terbuka di antara tubuh mereka.

Kita akan selalu belajar. Sudah berapa lama? Kalau saja Seunghyun yang usianya enam belas bisa melihat seperti apa mereka sekarang, sudah tentu ia akan tertawa. Tiankai bilang sesuatu soal calon istri dan Seunghyun tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa sebagai respons; tidak berkomentar atas kata-kata lainnya, kecuali yang terakhir. Ia meringis ketika pipinya dicubit seraya berucap separuh terjeda, "karena masih ada banyak waktu, bagaimana kalau menunggu waktu tidurnya pelan-pelan saja?"

Mungkin, Seunghyun tidak akan pernah menjadi pahlawan yang dia cita-citakan. Dia tidak punya kostum berwarna merah dan jubah yang bisa membantunya terbang. Dia tidak pernah jadi orang super yang bisa menangkap penjahat bersenjata. Dia gagal dan itu terjadi berkali-kali; dia pernah jadi pengecut. Dia pernah jadi orang yang melanggar janji. Dia pernah terlambat, dan dia juga pernah menjadi orang yang menyakiti. Dia menangis dan tidak bisa jadi orang yang kuat selamanya. Namun entah sejak kapan Seunghyun tidak memikirkan hal itu lagi. Setiap kali ia tahu bahwa saat ini keberadaannya sudah cukup, seperti Tiankai yang mempercayainya dan senyumnya yang seperti sekarang.

"Sini, Kai," dia memanggil, biarpun sebenarnya tidak perlu dipanggil karena di antara mereka berdua sudah tidak ada jarak lagi. Ia memejamkan matanya sejenak; melewatkan waktu berlalu lagi hanya untuk menatap mata Tiankai sambil tersenyum simpul, sebelum mencium keningnya, lama. Pemuda itu tertawa lagi, memeluk dan membawa tubuh perempuan itu bersamanya. Saat ini, ia tidak takut apa-apa. Tubuh dan pikirannya terasa sangat, sangat ringan dan napasnya ditarik dengan lega, sebelum mendekat untuk bergumam di telinga. "Aku mencintaimu." Kata-katanya dikatakan tanpa kesulitan, jemarinya menyentuh rambut Tiankai sebelum Seunghyun kembali mencium bibirnya, menutup jeda yang tersisa.

Seunghyun tahu ada begitu banyak, banyak yang ingin dia katakan terlepas dari janji separuh main-main yang ia ucapkan sebelumnya. Ia mencoba mengatur apa lagi yang bisa dia katakan, namun semua terlalu banyak. Untuk orang yang sudah bersisian dengannya, terlalu banyak. Untuk perempuan yang berada dengannya bahkan ketika dia tidak bisa melakukan apa-apa, berjalan dengannya ketika dia bukan siapa-siapa dan mengisi semua sisa. Kata-kata yang dia ucapkan tadi mungkin hanya sama dengan pembuka.

Suatu saat nanti, akan ada saatnya Seunghyun yang berusia dua puluh empat akan tertawa kalau bisa melihat keadaan bertahun-tahun kemudian. Untuk saat ini, Seunghyun tak ingin mengira-ngira. Biar saja hidupnya berjalan seperti ini, seperti selama ini dia menjalani, menikmati jalannya perlahan-lahan untuk kemudian menua bersama. Bertahun-tahun lagi, mungkin akan ada banyak perbedaan, mungkin akan ada orang-orang tambahan, dan ada banyak hal-hal yang sekarang sama sekali masih sulit ia bayangkan. Tapi satu saja yang bisa ia pastikan akan selalu, dan selalu sama.

Dia akan selalu berusaha untuk membuat orang-orang yang dicintainya bahagia.

(Saat ini dan nanti, mereka akan tetap tertawa juga.)



FONG TIANKAI

Tiankai ingin berhenti menghitung karena mereka tidak akan pernah usai menghitung. Dimulai dari langkah-langkah awal, bagaimana dia bersyukur karena mereka mengalami semua kali pertama bersama, dan bagaimana segalanya terasa menyenangkan. Dimulai dari ruang kelas di awal musim semi tahun 2011; kalimat perkenalan dengan bahasa Korea, perdana di hadapan empat puluh siswa, dan ada banyak yang tertawa. Satu teman di belakang bangkunya yang bicara dengan nada songong, kemudian memperbaiki semua lafalnya sampai benar. Teman yang menunjukkannya game center paling legendaris yang dia tahu. Teman yang rela mengantarnya pulang karena ‘nggak usah sok berani, woi. Nanti tahu-tahu beneran disambar orang.’ dan memintanya tidur di bus meski dia sendiri memutar rute perjalanannya jauh. Teman yang bibinya paling hapal, selalu berhak atas porsi ekstra, dan punya tempat khusus di sofa.

Dimulai dari semua yang pertama dan bagaimana mereka sama-sama tidak tahu cara mengatasinya. Jarak di ujung koridor yang tidak digunakan. Perjalanan pulang tengah malam. Pertemuan di studio yang kosong kala dini hari. Panggilan telepon, pesan tak terjawab, hingga kini mereka bisa berkomunikasi tanpa harus berbicara. Semua tahun-tahun dan sulitnya merasakan kebersamaan yang normal--selalu disela, ditutup rapat, dijeda jarak dan waktu, hingga kini, kini tidak ada yang melihat, kini tidak ada batas waktu, dan Tiankai bisa melakukan apa yang dia mau. Di hadapannya Seunghyun tertawa dan Tiankai tidak bisa tidak tersenyum, karena suara itu membuatnya senang, apa yang dilihatnya membuat hatinya hangat, dan ini semua saja cukup untuk bertahun-tahun ke depan, berpuluh-puluh, sampai usai.

Dia bisa bertanya sampai bosan: kenapa jadinya kamu? dan tidak akan ada jawabannya. Kalau saja waktu itu mereka mundur. Kalau saja waktu itu mereka terbalap lelah. Dia tidak ingin membayangkan, tetapi apa yang ia rasakan kini tidak ada yang mengalahkan, dan dia hanya ingin larut, diam, tenggelam, membiarkan dirinya begini saja. Sudah cukup segala yang menghalangi. Mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan. Sudah selesai. Dia ingin merayakan. Dia ingin di sini saja dan merasakan selamanya untuk mereka terentang, jauh, agar tidak usah berakhir.

Badan Seunghyun sangat hangat dan ia memeluknya erat, membiarkan lengannya bergerak sendiri dan badannya bersandar. Dengan begini dia tidak akan takut. Tidak perlu lagi. Mereka sudah berjalan sejauh ini dan tidak akan berhenti lagi. Ada detik-detik yang lewat namun segalanya tidak terasa, karena segalanya seolah membeku di tempat. Dia bisa melihat mereka tumbuh bersama apabila memejamkan mata. Hatinya hangat. Rasanya tenang. Ia merasa begitu kecil namun tidak apa-apa karena kadang ia lupa bagaimana tangan mereka sudah berbeda ukuran.

Dia menarik napas dan mengambil waktu untuk melihat Seunghyun lekat, tangannya naik ke rambutnya dan menyisirnya pelan. Senyumnya tidak tertahan. “Aku juga mencintaimu,” dan dia tertawa kecil, giginya terlihat, dan mendekat untuk menciumnya lagi, perlahan.

Tiankai bisa menjadi banyak hal sekaligus: anak perempuan yang bertingkah seperti lelaki, artis dengan tawa heboh di televisi, bocah rantau dari daratan seberang, anak bungsu, pacar delapan tahun, daftar saja yang lain. Orang tahu karena dia menerobos segala rintangan dengan kepala batu dan temperamen panas. Orang kenal karena dulu sekali dia bocah nekat yang menonjok anak lelaki keras-keras di rahang. Orang melihat karena dia ini artis yang bilang di televisi nasional kalau dia punya pacar, dan katanya itu gerakan bunuh diri, dan kalau sekarang dia mengingat, meski dia malu, dia akan tertawa tanpa henti. Rentang di antara semuanya, ada satu orang yang bersamanya. Kali ini tangannya digenggam dan akan begitu untuk selamanya.

Ada rasa percaya yang selalu bertahan, dan itu yang membuatnya menunggu. Dia akan tetap berada di sana sampai kapanpun.

Yang itu janji, dan dia bisa membayangkan tawa mereka yang melebar hingga jauh, jauh nanti.




fin