nacu (
oceansahead) wrote in
sheepandwolf2015-07-30 01:49 pm
![[personal profile]](https://www.dreamwidth.org/img/silk/identity/user.png)
![[community profile]](https://www.dreamwidth.org/img/silk/identity/community.png)
Entry tags:
the start of an auvomit part dos
wait for it.
just. wait. for. it.
878w kindergarten au.
Murid pindahan dari Cina itu aneh. Rambutnya pendek dan wajahnya merengut terus. Kenapa sih. Yang lihat juga jadi emosi. Mau menyapa tapi malas. Padahal harusnya kan senyum sedikit, soalnya ini hari pertama sekolah untuknya dan waktunya cari banyak teman. Nyebelin. Kenapa juga pandangannya sinis begitu... Apa yang salah dengan ruang kelas ini, sih. Padahal Seunghyun suka, karena warnanya cerah dan ada matahari di pojok atas, jadi bagus. Tapi anak baru itu, kenapa coba.
“Sekarang kamu kenalan yuk, sama teman-teman. Coba, namanya siapa...”
Oh-seonsaengnim menepukkan tangannya di pundak anak itu, berbicara dengan suara yang lembut. Anak itu masih merengut. Katanya, dia belum bisa bahasa Korea dengan baik. Cuma bisa bahasa Inggris.
“Fong Tiankai.” Suaranya penuh dendam. “Aku dari Shanghai.”
Inggrisnya beraksen, tapi lafalnya jelas. Makanya masuk TK internasional, kan. Seunghyun menatapnya malas dari meja, di mana kepalanya disurukkan dan lengannya melipat. Ngantuk. Ngapain lihat orang yang nggak niat ngomong untuk kenalan di depan kelas. Mendingan tidur.
Tiankai tidak bodoh. Dia beradaptasi dengan cepat, dan dengan cemberut yang selalu menempel di wajah, dia mengikuti semua kegiatan dengan lancar. Saat semua anak menggunting lingkaran, dia yang melakukannya paling rapi. Saat mereka harus menyanyikan lagu-lagu dan bergerak menari, ternyata dia sudah tahu dan hapal. Paling parah dari semuanya, dia duduk di sebelah Seunghyun sepanjang hari. Kenapa, sih! Kayak di ruangan ini nggak ada kursi lain saja!
(Tapi memang nggak ada.)
Anak-anak meminta kenalan. Bertanya kenapa jauh-jauh dari Shanghai dan harus ke Korea. Katanya orangtuanya kerja, tidak tahu kerja apa. Pokoknya kerja. Tiankai juga sepertinya tidak tahu, jadi masalah itu berlalu begitu saja. Lalu mereka menanyakan hal yang lain. Saudara, peliharaan, rumah. Dia punya satu kakak laki-laki yang sekarang kelas dua SD. Dia tidak punya hewan peliharaan, tapi dia punya boneka jerapah yang besar sekali. Itu dan bermacam-macam hal lainnya yang tidak ingin Seunghyun ketahui, tapi dia dengar juga.
“Rumah kamu besar ya, Kai?”
“Enggak kok, biasa saja... Tapi aku punya kamar sendiri, jadi senang, hehe.”
“Wah! Kamu sudah berani tidur sendiri?”
“Enggak serem, kok. Soalnya ada lampu tidur.”
Tralala, trilili, tetek bengek. Bodo amat. Dasar anak perempuan, semua hal kecil juga diocehi. Seunghyun bosan.
“Kalau main ke rumah boleh, kok! Nanti kita bisa main di halaman, ada bola, ada hulahup, ada---”
“Ah, berisik!” anak lelaki itu berdiri, menginterupsi Tiankai yang sedang bicara. “Aku nggak ngerti dia ngomong apa. Cerewet banget, sih. Makanya, belajar bahasa Korea dulu, dong!”
Anak-anak yang lain merengut padanya, terutama yang perempuan. Ada beberapa anak lelaki yang manggut-manggut setuju.
“Seunghyun-ah, apaan sih, nyebelin--” namanya Jinyeol dan rambutnya panjang, suaranya melengking.
“Iya, kan? Pindah ke Korea kok nggak bisa bahasa Korea!” Seunghyun melet, matanya ditarik ke bawah.
Kali ini Tiankai yang berdiri. Wajahnya lebih cemberut dari yang tadi. Jauh lebih, lebih cemberut, lipatannya seperti kerut-kerut pada karpet yoga milik mamanya. Pandangannya menantang Seunghyun, dan Seunghyun tidak suka.
“Heh,” anak itu menghardik, dan Seunghyun membusungkan dada. “Kalau ngomong jangan begitu dong--”
Seunghyun menutup telinga dan mata. “Alalala, aku nggak ngerti, nggak ngerti~”dan pada ini, anak-anak lelaki lain tertawa setuju.
“Nyebelin banget sih, minta maaf, dong!”
“Nggak dengar, berisik~”
“Iya, minta maaf dong, Seunghyun-ah!” anak-anak perempuan lain menyahuti. Seunghyun menaikkan dagu dan berlagak tidak dengar. Kini ada beberapa anak yang terhibur, mereka tertawa dan ikut meledek. Selang beberapa detik dan Tiankai berdiri, wajah jelas terhina, dan ia mengambil tiga langkah besar ke arah Seunghyun yang nyengir.
Dia mendorong Seunghyun.
Ada “wuooooo!” kencang dari anak-anak sekelas. Seunghyun menahan napas dan memijak mantap, karena dia tidak boleh jatuh. Dia tidak boleh jatuh didorong anak perempuan, dan--ih, yang tadi keras juga. Dia balas maju dan mendorong Tiankai sampai anak gadis itu jatuh. Yak. Habis ini pasti nangis. Habis ini pasti ada guru yang datang, lalu dia habis. Biarin! Ayo hitung, lima detik maksimal. Mata gadis itu melebar.
Dan di luar dugaan, Tiankai justru bangkit dan menerjang Seunghyun sampai dia tersungkur. Dari sanalah semuanya bermula--jambakan, cubitan, pukulan, dan teriak-teriakan seiring dua anak itu bergulat di lantai kelas yang ditutupi matras. Empat belas anak mengelilingi mereka dan menyoraki. Ada satu anak gadis yang berteriak-teriak, “Oh-seonsaengnim! Seonsaengniiiim!”
Seunghyun ingat itu hari di mana dia fiks, sepakat, memutuskan, bahwa dia tidak suka si murid pindahan dari Cina. Dia tidak suka, karena akhirnya Oh-seonsaengnim masuk kelas dan melerai mereka berdua. Dia tidak suka karena mereka dipaksa duduk bersebelahan menunggu orangtua mereka datang. Dia tidak suka saat disuruh bersalaman; tangannya dilap di celana. Jijik. Dia tidak suka, karena orangtua Tiankai tidak memarahinya, padahal dia sudah siap mental umur empat tahunnya. Justru ayah Tiankai lembut dan lancar berbahasa Korea. Kepalanya ditepuk dan ibu Tiankai menyarankan mereka semua pergi bersama untuk makan malam. Dia tidak suka karena, wow, ternyata orangtuanya memperlakukan Tiankai seolah dia saudara Seunghyun. Apa-apaan! Dia ingin protes karena dia tidak mau duduk di sebelah Tiankai saat makan malam, tidak mau, tidak suka. Tidak suka anak itu menatapnya seolah menunggunya bicara, tidak suka saat Tiankai pamit dengan sopan kepada kedua orangtuanya.
Fiks sepakat dan tak bisa diganggu gugat. Fong Tiankai itu bencana.
(Bahkan ketika seiring tahun dan bulan, mereka punya banyak foto bersama dan semakin tidak terpisahkan,
iya, masih bencana.)
851w NYC au.
Ketika mereka bertemu untuk kedua kalinya, yang hendak keluar dari mulut adalah hai, halo, kenapa kebetulan begini, dan sebagainya—tetapi tidak ada yang terlisan. Satu berdiri dengan gelas di tangan, satunya lagi digamit lengannya dan diperkenalkan. Teman kuliah dari teman kuliah. Bertemu dari universitas dan katanya mereka pasti cocok. Katanya, katanya, katanya. Mereka tidak tahu.
“Ini Tiankai,” ucap Myunjae, mata setengah terbuka tetapi mulut lancar bicara, “kata Juhee—eh, kamu Seunghyun, kan? Aku disuruh kenalin dia ke kamu, dan—yah. Ngomong lah.”
Myunjae berbicara lagi setelah itu. Klub teater, beasiswa Asia Pasifik, lulus tepat waktu, organisasi mahasiswa Asia, macam-macam lagi yang Seunghyun kira bahkan tak perlu dia ketahui, karena gadis itu memandang matanya seolah ia kaget, di mulutnya tertahan sebuah tawa, dan lelaki itu sendiri tidak dapat berkata-kata.
“Kamu lagi.”
Di dalam bar yang remang itu, mata Tiankai bersinar. Seunghyun bisa ingat malam ketika mereka bertemu pertama kalinya: pesta yang terlalu ramai di lantai teratas suatu tempat di Upper East Side; terlalu banyak bir, terlalu banyak musik keras, dan mereka kabur ke atap. Saling menemukan ketika Seunghyun terlalu mabuk untuk bicara bahasa Inggris, dan gadis itu bisa memahaminya. Mereka menghabiskan dua jam menghitung bulu mata masing-masing dan menunggu pahit di mulut hilang. Sesudahnya, gadis itu lenyap bersama beberapa teguk vodka. Seunghyun kira dia bermimpi.
Tangannya diulurkan dan dia mencoba mengulas senyum, mengulang kembali racauan mabuk, menukarnya dengan deheman koheren. Gadis itu terkikik.
“Jae Seunghyun.”
“Fong Tiankai.”
Putar balik. Mulai.
-
Tiankai bekerja sebagai penerjemah Mandarin-Inggris di sebuah kantor berita internasional. Baru lepas magang dan diangkat jadi junior. Dia mengenal Myunjae dari universitas karena sesama pemegang beasiswa, sementara Myunjae kenal Juhee dari persatuan teater, dan Juhee kenal Seunghyun karena mereka berpartner selama satu semester penuh untuk praktek. Di tengah mabuknya, Seunghyun tidak pernah bertanya mengapa seorang gadis bisa mendadak muncul dan bicara bahasa Korea. Rupanya ibunya orang Busan. Pindah residensi karena menikah. Dan seterusnya, dan seterusnya. Seunghyun mengangguk-angguk.
“Oke. Anggap ini kencan ketiga,” Seunghyun berkata saat ia membawa Tiankai ke Harlem, ke tempat yang menjual taco paling murah sekaligus paling surgawi di seluruh New York—dan Tiankai mengerutkan dahi, bicara main-main.
“Jadi resmi kencan?” dia tersenyum dan Seunghyun suka melihatnya. Lelaki itu hanya tertawa.
“Kamu maunya apa?” alisnya terangkat. Tiankai tertawa dan tidak menjawab. Mereka memanggil taksi dan berkendara jauh hingga Chelsea, dan karena itu malam Senin, mereka duduk manis di dalam UCB untuk sebuah pertunjukan komedi yang diam-diam sudah dia pesan tiketnya.
Seunghyun bekerja sebagai perancang grafik untuk salah satu arthouse terbesar di New York; apartemennya penuh sketsa dan panorama, mulai dari wajah dan kostum, pola dan cakrawala, pucuk-pucuk gedung dan objek tata surya. Pada pertemuan mereka yang kelima, Tiankai melihat semua isi kertas gambarnya dan mengurutkan mana yang menurutnya paling menarik. Dia mencocokkan satu gambar dengan koleksi figurinnya, dan gambar yang lain dengan lukisan di atas kasurnya, dan hebatnya, dia bisa menebak dari mana inspirasinya.
“Dari aku,” ujarnya, barangkali bercanda, mengangkat satu sketsa: wanita yang memegang botol sampanye dan memiliki bulu mata terlentik yang pernah ada. Seunghyun membiarkannya.
Pada malam tahun baru mereka minum terlalu banyak dan tertawa terlalu banyak sampai mereka tidak bisa bicara. Di luar ada salju dan lansekap New York menyala-nyala, taksi kuning berseliweran, ada hitung mundur di Times Square, namun dari pesta-pesta dengan semua almamater dan rekan kerjanya, Tiankai memilih untuk berada di sini, di apartemen Seunghyun. Dan barangkali itulah mengapa Seunghyun menganggapnya seperti sebuah jalan bercahaya, di mana mereka bertemu karena mereka harus bertemu, di apartemen yang jendelanya menghadap pencakar langit, dinodai salju, digempur biru-hijau lampu billboard.
Di atas tempat tidur dan menjatuhkan selimut, di mana Tiankai duduk di pangkuannya dan dia tertawa, dia masih bisa tertawa dan bunyinya indah, senyumnya melekat hingga hitung mundur lewat jauh, jauh, dan sewaktu mereka bangun, tidak ada yang mereka lupa. Selamat tahun baru, katanya, sebelum mencium kerutan di kening dan bibir Seunghyun. Gadis itu wangi, seperti sebuah parfum yang selalu dia tidak kenal namanya, seberapa sering pun dia lewat di etalase.
-
Ketika mereka berpisah pun dia tidak heran, seolah Tiankai tidak jadi miliknya, dan tidak pernah miliknya. Tidak ada penyesalan. Gadis itu tidak bilang apa pun yang merupakan janji, dan dia juga, tetapi ketika mereka menuju arah yang berbeda sekeluarnya dari Little Italy, secara tidak resmi kencan terakhir mereka, dia merindukannya. Dia berbalik ke belakang untuk menangkap sosoknya, rambut pendeknya, mantel-terlalu-panjangnya, namun gadis itu sudah hilang. Hilang seperti seteguk vodka. Hilang seperti seratus empat puluh tiga bulu mata di kelopak atas sebelum dia melupakan angkanya. Hilang, hilang. Seunghyun kira dia bermimpi.
Maka, untuk suatu alasan, dia tidak heran ketika mereka bertemu lagi di Williamsburg, di depan sebuah bar yang terlalu remang, ketika Seunghyun muak dengan segala bau dan asap. Ketika gadis itu muncul dari pintu yang sama yang baru ia lewati, dan berhenti di sebelahnya, menoleh dan melihatnya tepat di mata.
Seunghyun bisa merasakan semua alkohol yang dia tenggak naik lagi.
“Hei.”
Bibir gadis itu rapat. “Hei.”
Kembali lagi, kembali lagi.
New York menyisakan tempat untuk mereka berdua di lubuk hatinya.
854w battle royale au.
Seunghyun mendapatkan pistolnya dari Siswa Perempuan Nomor Tujuh Belas, Seo Jungah, yang mati karena hantaman benda tumpul di kepala. Tiankai yang memegang batu dan mengayunkan tangannya sekuat tenaga karena Jungah berada di atas Seunghyun, menekan moncong pistol ke bawah rahangnya, dan Tiankai tidak bisa melihatnya. Dia menarik keluar sebuah Pietta 1873 dari genggaman gadis itu dan menyodorkannya ke arah Seunghyun, yang tangannya gemetar. Dari kepala Jungah keluar darah. Zona tempat mereka berada, pinggiran hutan yang membuka ke areal yang luas, sebentar lagi akan menjadi zona bahaya. Tiankai ingin cepat-cepat pergi sebelum kalungnya berbunyi dan ia menarik Seunghyun bersamanya.
“Kamu yang pegang pistolnya,” Tiankai berkata dengan suara pelan, sementara mereka menjajak rumput tinggi sambil bergandengan tangan.
“Memangnya kamu sudah punya senjata?” Seunghyun bertanya, jemarinya kasar dan buku-bukunya penuh lecet. Tiankai mempercepat langkahnya.
“Di tasku ada penyetrum,” dan dia mengira-ngira, apakah Seunghyun akan bertanya: kenapa tadi tidak setrum Jungah saja? Tetapi dia tidak melakukannya, dan Tiankai menarik napas lega.
Di kejauhan, ada bunyi ledakan. Pengumuman menyebutkan lima orang gugur bersama Seo Jungah. Terlalu banyak. Ini baru hari kedua.
Untuk ukuran dua anak yang lengket semasa sekolah, mereka tidak berjanji untuk bertemu selepasnya dari gedung utama. Seunghyun nomor tujuh, dan Tiankai nomor lima. Meski hanya berselang sedikit, dia tidak berhasil menemukan sosok laki-laki itu lama setelahnya, kala dia berjongkok di semak-semak. Lupakan saja, pikirnya, lagipula banyak orang yang saling membunuh sahabat mereka sendiri, dan dia harus apa?
Pikirannya punah saat Seunghyun bilang dia tidak bisa tidur dan harus berjaga. Tidak bisa bahkan ketika Tiankai menawarkan diri untuk berbaring di sebelahnya. Tiga hari terjebak dan mereka meragukan lima tahun yang sudah terlewat, betapa menyedihkan. Sayangnya, Seunghyun betul-betul bermimpi buruk, dan gadis itu mendengarnya. Tengah malam saat mereka tidak tahu itu pukul berapa, Tiankai akan membangunkan Seunghyun, menutup mulutnya agar ia tidak bersuara, dan menenangkan anak laki-laki yang kini keringatnya dingin dan mengigau tentang Tuhan dan semesta.
Seunghyun membunuh tiga orang sambil menangis tersedu-sedu. Dia mencengkram lengan Tiankai dan tidak bisa maju lagi, pistol di sisi badan, pisau yang baru mereka dapat dari Hwang Geunseok berlumur darah dan tanah. Tiankai memeluk anak laki-laki itu, dan ketika dia menunggu, tidak ada rasa sakit yang menusuknya. Seunghyun menjatuhkan pistolnya. Seluruh badannya gemetar.
“Kamu harus menang,” dia bicara saat mereka berbaring bersisian di malam kelima, di gudang kecil yang isinya debu semua. Tiankai hanya mengerjap dan menyuruhnya tidur. Dia tidak ingin bicara soal itu, tidak sekarang, tidak nanti. Dia tidak peduli soal keluarganya. Dia tidak peduli soal teman-temannya. Dia tidak peduli soal dirinya.
Dia mengajukan ide untuk berpisah jalan saat tiga zona bahaya diaktivasi sekaligus. Seunghyun melebarkan matanya dan melepaskan semua senjatanya, menjatuhkan tasnya, dan menariknya mendekat. “Tidak boleh,” bisiknya, nadanya ketakutan, “aku tidak akan bunuh kamu, kamu tahu kan, aku janji—kita tidak boleh pisah...” tangan lelaki itu ada di sisi wajahnya, ia menatap matanya, dan Tiankai tidak tahu siapa pun selama enam belas tahun hidupnya, siapa orang lain yang punya sorot mata seputus asa itu.
Mungkin dia hanya tidak ingin membunuh Seunghyun saat mereka hanya tinggal berdua. Justru karena dia tahu Seunghyun tidak akan membunuhnya. Anak laki-laki itu memegangi tangannya seolah ia akan kabur, dan dia memberikan semua senjatanya ke Tiankai. Gadis itu menolak. Di tingkat ini, semuanya sudah terlalu konyol. Ada empat zona yang didetonasi. Sepuluh siswa gugur.
Mereka membunuh Yang Junseok pada pukul tiga pagi, hari ketujuh, dengan gorokan di leher. Dulu pemuda itu adalah perenang nomor satu di tim SMA, atletis, fisiknya tangkas. Mereka menarik sebuah gergaji listrik dari belakang punggungnya, dan menghela napas. Matahari belum terbit. Kini membunuh rasanya hampa. Pengumuman menggema dan menyatakan jumlah siswa yang hanya tinggal dua.
“Kamu tahu aku tidak akan melakukannya,” Seunghyun berkata padanya, wajahnya penuh darah Junseok, dan lututnya menekuk. Ia duduk di tengah-tengah tanah lapang. Di tangan Tiankai ada gergaji, dan hei, siapa tahu? Kalau-kalau Tuhan, kalau memang ada, menginginkannya untuk berputar haluan, maka mungkin saja. Gadis itu sendiri kehabisan tenaga. Bingung mengapa pemuda di hadapannya percaya padanya semudah itu. Belas kasihan dan rasa syukur hilang bersama, dia tidak mengerti, tidak peduli. Gergajinya dilempar.
“Kamu pikir aku akan tega?” dia mencoba bertanya, sambil duduk di sebelah Seunghyun, menyurukkan kepala di pundaknya. Lelaki itu nadanya serius.
“Aku akan menyuruhmu,” katanya. Tiankai tertawa.
“Aku tidak akan mau.”
Ada keheningan untuk mereka berdua. Dia bisa merasakan napas pemuda itu, bahu bergerak naik dan turun, dan mengacuhkan jam yang berdetik, rasanya justru tenang. Mayat Yang Junseok ada jauh di sana, dan dari gedung utama, dia bisa mendengar statis pengeras suara. Aktivasi zona bahaya terakhir dalam satu menit kalau tidak ada yang bergerak.
“Akhiri saja,” Tiankai yang bilang, “aku rela kalau kamu yang lakukan.”
Seunghyun memegang tangannya dan meremas telapaknya, “jangan bodoh,” katanya. Itu membuat Tiankai tertawa. “Dan itu nggak lucu, ayolah.”
“Hitung mundur, Seunghyun.”
Dia bilang begitu sambil memejamkan mata. Seunghyun ikut terkekeh di sebelahnya. Mereka menunggu dan bernapas, satu, dua, tarik, lepas, hingga semua bercahaya, dan dia hanya bisa mendengar detak jantungnya, bersisian, bersamaan, muncul, menghilang.
745w office au.
“Jae Seunghyun, berhenti membuang sampah post-itmu di dalam kubikelku, sialan!”
Wanita itu membentak, memukul penyekat, dan memelototi pria yang tergelak di sebelahnya. Lelaki bodoh yang membuatnya super senewen karena ketololan luar biasa dan rasa percaya diri yang menjulur ketinggian sampai keluar kerah kemejanya. Seunghyun menurunkan kaki dari mejanya, berputar luwes di kursinya, memberikan Tiankai sebuah senyum.
“Maaf,” ucapnya manis, “sini aku buang.”
Tangannya terulur. Tiankai membuatnya menunggu lima detik sebelum menumpahkan seisi tempat sampahnya ke dalam area kerja Seunghyun. Lee Changil di kubikel sebelahnya lagi melolong, “buuurn,” dan meminta tos dari Tiankai. Seunghyun mengumpat.
“Satu lembar lagi dan berikutnya kutampar kamu pakai clipboard,” Tiankai tersenyum, “salam sayang untukmu juga.”
Dan seiring Tiankai duduk untuk kembali pada dokumennya, dia mendengar Taekyung yang baru saja lewat, “Jae Seunghyun dan Alasan Kenapa Dia Tidak Pernah Mengerti Misteri Perempuan.” Seunghyun melemparinya dengan pulpen, nyasar hingga selasar.
Tapi tidak juga, Tiankai pikir, terkadang Seunghyun bisa mengerti perempuan. Karena kebetulan dia adalah pegawai yang paling disayang di kantor, dikagumi oleh para pegawai di lantai atas dan lantai bawah, di seberang ruangan dan di ujung, dan pada dasarnya hingga kantor atasan karena dia bicara dengan memikat dan bertindak menyenangkan. Radarnya untuk bersikap anteng langsung mati ketika dia berada di area divisinya sendiri, atau dengan kata lain, Sepuluh Orang yang Tahu Betul Binalnya Jae Seunghyun. Umur dua puluh lima tetapi jiwanya lima belas. Betul-betul keterlaluan.
Seperti waktu dia bermain dengan mesin fotokopi dan memfotokopi gambar wajahnya sendiri yang sedang monyong sebanyak sepuluh buah dan melekatkannya pada monitor semua orang di divisi kecilnya pagi itu. Jenius. Berikutnya adalah rencana persekongkolan untuk mem-blackmail gadis-gadis yang masuk daftar Untuk-Dikencani Seunghyun dengan hasil fotokopian mirip Ju-On seukuran A4 dan lelaki itu berakhir memohon, di atas lututnya, sambil aegyo. Makan malam samgyeopsal, tentu saja. Rejeki tak pernah jauh kalau ada di dekat Jae Seunghyun, katanya. Mereka menjadikan itu slogan divisi selama sebulan.
“Begitu-begitu dia pintar juga. Kamu tahu, kan, Tiankai,” Namjoo menyikutnya saat istirahat, memperhatikan Seunghyun yang baru saja membuat gadis di belakang konter memberinya ekstra charsiu. Mereka selalu makan di tempat yang sama setiap hari Kamis, semacam perjanjian. Tiankai hanya mengangguk-angguk, alisnya menyatu. “Kalau dia bicara seperti itu pada semua orang, aku berani sumpah dia bisa menguasai dunia,” ada api di mata Namjoo. Mereka menghabiskan waktu menghitung dua puluh empat nama yang jatuh cinta pada Jae Seunghyun, dua di antaranya laki-laki. Ini terlalu mantap. Daftarnya mereka tempel di kubikel, diketik dengan comic sans ukuran 20 berwarna merah. Seunghyun merobeknya sambil marah-marah.
“Dia cuma sebal karena katanya kalian tidak estetis.” Changil menggelengkan kepala. “Tapi kalian sudah tahu.”
“Tentu saja kami tahu, Tiankai tertawa sarkas, membanting empat map yang harus diarsip Changil ke atas mejanya, “ketika dua puluh tahun lagi bukan Jae Seunghyun yang jadi diktator bumi, kamu akan berterima kasih padaku dan Namjoo.”
Changil memberikannya lambang rock on dengan tiga jarinya.
“Anak baru cinta mati padaku. Kalian taruhan berapa Won?” telapak tangan terulur kepada Jinyoung dan Woojae pada Sabtu malam, ketika mereka semua duduk di satu meja panjang dengan berbotol-botol soju menumpuk. Dua pria itu mendecih dan mengeluarkan dompet. Tiankai menganga.
“Anak baru. Serius?” dia tidak ingin tertawa, “dia baru masuk kayak, satu hari.”
Seunghyun ber-hohoho meremehkan. “Satu hari cukup, Sayang,” dia mengedip, “jamin dengan uang, agar kamu lebih yakin.”
Jemari Seunghyun yang menggeliat menagih dia sentil menjauh. Dia tidak bisa tertawa lagi ketika dia dan Namjoo mengetik ulang daftar nama orang yang jatuh cinta dengan Seunghyun, kali ini bertambah satu, fontnya copperplate dan ukurannya 32, warnanya hijau. Alih-alih merobeknya, Seunghyun menyetabilo nama yang paling akhir, dan ketika jam pulang kantor, dia sudah bertambah kaya tiga puluh ribu Won. Sialan. Dapat dari mana dia hoki seperti itu, hah.
“Dari surga,” Seunghyun berkata ketika semua orang di meja mereka tumbang minggu berikutnya, ruangan karaoke itu masih menyala dari lampu warna-warni. Jatah mereka lima belas menit lagi. Tiankai tertawa meremehkan.
“Tian itu artinya Surga, lho,” dia memilih sebuah lagu, kemudian menyambar mikrofon, dan berdiri. Intronya berdentum-dentum. “Berterimakasihlah padaku, wahai pemuda!”
“Bahasa apaan, tuh!” Seunghyun melemparinya tisu, dan Tiankai menariknya berdiri. Mereka menggotong tiga orang keluar dari Myeongdong pukul dua pagi.
968w office au part dos.
Semua dimulai dari minggu terakhir di bulan Februari, saat Heo Yoonhye dari satu lantai di atas mereka berlari masuk kamar mandi wanita sembari menangis tersedu-sedu. Rumor yang beredar bilang bahwa Jae Seunghyun memutuskan hubungan mereka saat jam makan siang, hubungan yang hanya bertahan satu bulan plus dua hari. Seluruh isi divisinya hendak menyudutkan, mengorek arsip KakaoTalk dan SMS lewat cara-cara yang mengerikan (“Lee Changil, titisan setan, tapi kamu jenius kali ini.”) tetapi aura yang mengelilingi kubikel Seunghyun terlalu mengerikan sampai-sampai tidak ada yang berani mendekat dalam radius semeter. Bahkan Tiankai diserang keinginan tak berdasar untuk minggat dan membawa seluruh dokumennya ke kubikel Myunjae di seberang, dengan alasan,
“Dia kayak mau bunuh orang. Parah.” Wanita itu menggeleng dan meletakkan lima map sekaligus di meja Myunjae, menggeleng-geleng, sementara Myunjae berusaha jadi simpatik dan menepuk-nepuk pundaknya.
“Kudengar Heo Yoonhye menuduhnya gay,” Myunjae berbisik dengan sorot mata yang terlalu tajam untuk dibilang sedang bercanda. Mata Tiankai sendiri nyaris melotot mendengarnya.
“Ani, ani,” Namjoo muncul dari pintu dan menyusup masuk, duduk di meja tanpa permisi, menunduk dan berbisik. “Aku diberitahu katanya Yoonhye yang lesbian. Mereka putus karena Yoonhye yang serakah,” Namjoo seperti Nostradamus memberitakan kiamat, “atau pacar ceweknya yang tahu, kemudian memaksa minta putus....”
“Ekstrem. Tapi entah kenapa aku bisa membayangkan,” Tiankai membeliak ngeri, tetapi anggukannya mantap. Gosip selalu beredar cepat di kantor ini seperti email kilat. Dia sudah tahu pasti ada belasan versi yang bercabang dari satu sumber yang ngaco. Tetapi tetap saja, di tengah kebingungan begini, setidaknya setiap orang percaya satu teori. Dia melirik ke arah kubikel Seunghyun dan melihat lelaki itu sedang mengetik dengan kecepatan seratus kilometer per jam. Tiankai meneguk ludah.
Saat mereka membiarkan Seunghyun larut dalam ke-emoan untuk satu jam berikutnya, ada Black Sabbath membahana dari kubikelnya, dan tidak ada yang berani mendekati Seunghyun hingga jam pulang.
“Dia akan sadar kalau dia kesepian,” Changil manggut-manggut sok tahu, “sebentar lagi. Maksimal dua hari.”
Masalahnya, ini bukan hanya soal putus-dan-nyambung biasa, karena dua hari berlalu dan Jae Seunghyun masih bertingkah seolah ia baru kembali dari dasar Neraka. Ini soal cinta yang datang dan pergi, soal Seunghyun yang bilang dia tidak janji akan melanjutkan daftar kencannya yang tertempel di dinding kubikel, soal sedivisi yang mengira Seunghyun sakit keras dan memutuskan untuk bertobat. Ini tentang seminggu pertama penuh kecanggungan karena Jae Seunghyun pergi ke lantai di atas divisinya untuk bertemu satu orang, dan hanya satu orang. Ini tentang Jae Seunghyun yang seolah terlahir jadi manusia baru, bayi mungil tanpa noda di dalam sarang tujuh lelaki dan dua perempuan yang, pada kehidupan sebelumnya, kerjaannya seputar menghitung berapa banyak gadis yang sudah dan akan dia kencani.
Ini tentang sedivisi berusaha menghiburnya dengan mengadakan pesta semalaman di apartemen Sangjoon yang lumayan besar, namun mereka berakhir tumbang semua setelah delapan ronde beer pong dengan Seunghyun dan Tiankai yang keluar sebagai pemenang. Juara bertahan sejak tahun lalu dan tidak ada yang mengalahkan. Seunghyun selalu bilang hangover yang dia dapat tidak ada yang menandingi, tetapi malam itu dia menenggak soju seperti orang gila. Sindrom emo pascaputus, jelas. Pertama kali keluar dalam lima tahun setelah Tiankai mengenalnya, dan wanita itu ingin geleng-geleng kepala, tetapi dia terlalu mabuk untuk melakukannya.
“Kamu tahu, kamu terlalu larut,” Tiankai berkata, menyingkirkan kaki Ilsung dari bantal yang ingin ia duduki dengan susah-payah, “dalam kesedihan. Larut. Kebawa arus. Ngerti?” tangannya direntangkan seolah memimik cahaya di dalam kegelapan. Ruangan ini hanya berisi sepuluh manusia, dan delapan di antaranya sudah teler. Seunghyun menatapnya dengan alis yang menyatu dan wajah yang merah.
“Cerewet,” dia menukas galak, dahinya diurut, tetapi Tiankai mendesis remeh.
“Kamu nggak bisa berenang, begooo,” Tiankai terbahak dan jatuh merebah di bantal sofa yang cukup besar, yang berserak di lantai. Pipi dan dahinya terasa panas. Dia minum sembilan gelas total, setelah menang tiga ronde berturut-turut. Seunghyun memandangnya dengan alisnya yang masih kelewat tebal. Tiankai jadi ingin menariknya. Siapa tahu ulat bulu imitasi. Dia terkikik.
“Bisa, kok,” Seunghyun terdengar sewot, kini mencondong dan bicara padanya dari dekat. Tangannya menopang di atas tempat Tiankai membaringkan kepala. Dia terlihat mengantuk. Satu matanya sudah setengah menutup. Tiankai mendorong dahinya dan tertawa keras. “Kenapa,” Seunghyun tidak seperti bertanya, dan Tiankai tidak menjawab.
“Heo Yoonhye segitu bagusnya, ya,” wanita itu jadi geli karena wajah Seunghyun layak ditertawakan. “Seminggu ini kamu ngaca, nggak?” kenapa tutur katanya masih koheren, dia tidak mengerti. Atau mungkin tidak segitu masuk akal, karena Seunghyun melakukan hal itu lagi dengan alisnya. Jelek. Tiankai menyentuh dahinya sambil menghela napas dan menunggu jawaban.
“Aku masih ganteng,” nadanya ngotot, dan Tiankai hanya ingin mencubit pipinya, hidungnya, semuanya, karena dia jadi gemas. Napas Seunghyun mencapai wajahnya dan rasanya panas.
“Kamu nggak pernah ganteng.” suaranya memelan. Tawa yang ditahan keluar berupa napas perlahan.
“Kamu selalu bohong,” Seunghyun mendekat, mendekat, dan Tiankai membiarkannya, “diam. Sekarang diam saja.”
Tiankai menurut sementara Seunghyun memegang pipinya, menariknya mendekat, dan dia berakhir melingkarkan lengan di lehernya, refleks. Mulutnya pahit. Segalanya blur dan yang dia ingat hanyalah bangun di apartemen Sangjoon pukul sembilan pagi dengan kepala yang seperti digempur dan Seunghyun di sampingnya, sudah terjaga. Delapan orang masih terkapar di sekeliling mereka.
Tangan Seunghyun mencapai puncak kepalanya. “Kalau yang lain bertanya, bilang aku nggak gay.”
Tiankai meliriknya. “Kalau semalam cuma untuk membuktikan itu, kamu kubunuh pakai clipboard besok Senin.”
“Nggak, kok,” Seunghyun berbalik menghadapnya dan memejamkan mata, “keterangan lebih lanjut ada di apartemenku, kalau kamu mau.”
just. wait. for. it.
878w kindergarten au.
Murid pindahan dari Cina itu aneh. Rambutnya pendek dan wajahnya merengut terus. Kenapa sih. Yang lihat juga jadi emosi. Mau menyapa tapi malas. Padahal harusnya kan senyum sedikit, soalnya ini hari pertama sekolah untuknya dan waktunya cari banyak teman. Nyebelin. Kenapa juga pandangannya sinis begitu... Apa yang salah dengan ruang kelas ini, sih. Padahal Seunghyun suka, karena warnanya cerah dan ada matahari di pojok atas, jadi bagus. Tapi anak baru itu, kenapa coba.
“Sekarang kamu kenalan yuk, sama teman-teman. Coba, namanya siapa...”
Oh-seonsaengnim menepukkan tangannya di pundak anak itu, berbicara dengan suara yang lembut. Anak itu masih merengut. Katanya, dia belum bisa bahasa Korea dengan baik. Cuma bisa bahasa Inggris.
“Fong Tiankai.” Suaranya penuh dendam. “Aku dari Shanghai.”
Inggrisnya beraksen, tapi lafalnya jelas. Makanya masuk TK internasional, kan. Seunghyun menatapnya malas dari meja, di mana kepalanya disurukkan dan lengannya melipat. Ngantuk. Ngapain lihat orang yang nggak niat ngomong untuk kenalan di depan kelas. Mendingan tidur.
Tiankai tidak bodoh. Dia beradaptasi dengan cepat, dan dengan cemberut yang selalu menempel di wajah, dia mengikuti semua kegiatan dengan lancar. Saat semua anak menggunting lingkaran, dia yang melakukannya paling rapi. Saat mereka harus menyanyikan lagu-lagu dan bergerak menari, ternyata dia sudah tahu dan hapal. Paling parah dari semuanya, dia duduk di sebelah Seunghyun sepanjang hari. Kenapa, sih! Kayak di ruangan ini nggak ada kursi lain saja!
(Tapi memang nggak ada.)
Anak-anak meminta kenalan. Bertanya kenapa jauh-jauh dari Shanghai dan harus ke Korea. Katanya orangtuanya kerja, tidak tahu kerja apa. Pokoknya kerja. Tiankai juga sepertinya tidak tahu, jadi masalah itu berlalu begitu saja. Lalu mereka menanyakan hal yang lain. Saudara, peliharaan, rumah. Dia punya satu kakak laki-laki yang sekarang kelas dua SD. Dia tidak punya hewan peliharaan, tapi dia punya boneka jerapah yang besar sekali. Itu dan bermacam-macam hal lainnya yang tidak ingin Seunghyun ketahui, tapi dia dengar juga.
“Rumah kamu besar ya, Kai?”
“Enggak kok, biasa saja... Tapi aku punya kamar sendiri, jadi senang, hehe.”
“Wah! Kamu sudah berani tidur sendiri?”
“Enggak serem, kok. Soalnya ada lampu tidur.”
Tralala, trilili, tetek bengek. Bodo amat. Dasar anak perempuan, semua hal kecil juga diocehi. Seunghyun bosan.
“Kalau main ke rumah boleh, kok! Nanti kita bisa main di halaman, ada bola, ada hulahup, ada---”
“Ah, berisik!” anak lelaki itu berdiri, menginterupsi Tiankai yang sedang bicara. “Aku nggak ngerti dia ngomong apa. Cerewet banget, sih. Makanya, belajar bahasa Korea dulu, dong!”
Anak-anak yang lain merengut padanya, terutama yang perempuan. Ada beberapa anak lelaki yang manggut-manggut setuju.
“Seunghyun-ah, apaan sih, nyebelin--” namanya Jinyeol dan rambutnya panjang, suaranya melengking.
“Iya, kan? Pindah ke Korea kok nggak bisa bahasa Korea!” Seunghyun melet, matanya ditarik ke bawah.
Kali ini Tiankai yang berdiri. Wajahnya lebih cemberut dari yang tadi. Jauh lebih, lebih cemberut, lipatannya seperti kerut-kerut pada karpet yoga milik mamanya. Pandangannya menantang Seunghyun, dan Seunghyun tidak suka.
“Heh,” anak itu menghardik, dan Seunghyun membusungkan dada. “Kalau ngomong jangan begitu dong--”
Seunghyun menutup telinga dan mata. “Alalala, aku nggak ngerti, nggak ngerti~”dan pada ini, anak-anak lelaki lain tertawa setuju.
“Nyebelin banget sih, minta maaf, dong!”
“Nggak dengar, berisik~”
“Iya, minta maaf dong, Seunghyun-ah!” anak-anak perempuan lain menyahuti. Seunghyun menaikkan dagu dan berlagak tidak dengar. Kini ada beberapa anak yang terhibur, mereka tertawa dan ikut meledek. Selang beberapa detik dan Tiankai berdiri, wajah jelas terhina, dan ia mengambil tiga langkah besar ke arah Seunghyun yang nyengir.
Dia mendorong Seunghyun.
Ada “wuooooo!” kencang dari anak-anak sekelas. Seunghyun menahan napas dan memijak mantap, karena dia tidak boleh jatuh. Dia tidak boleh jatuh didorong anak perempuan, dan--ih, yang tadi keras juga. Dia balas maju dan mendorong Tiankai sampai anak gadis itu jatuh. Yak. Habis ini pasti nangis. Habis ini pasti ada guru yang datang, lalu dia habis. Biarin! Ayo hitung, lima detik maksimal. Mata gadis itu melebar.
Dan di luar dugaan, Tiankai justru bangkit dan menerjang Seunghyun sampai dia tersungkur. Dari sanalah semuanya bermula--jambakan, cubitan, pukulan, dan teriak-teriakan seiring dua anak itu bergulat di lantai kelas yang ditutupi matras. Empat belas anak mengelilingi mereka dan menyoraki. Ada satu anak gadis yang berteriak-teriak, “Oh-seonsaengnim! Seonsaengniiiim!”
Seunghyun ingat itu hari di mana dia fiks, sepakat, memutuskan, bahwa dia tidak suka si murid pindahan dari Cina. Dia tidak suka, karena akhirnya Oh-seonsaengnim masuk kelas dan melerai mereka berdua. Dia tidak suka karena mereka dipaksa duduk bersebelahan menunggu orangtua mereka datang. Dia tidak suka saat disuruh bersalaman; tangannya dilap di celana. Jijik. Dia tidak suka, karena orangtua Tiankai tidak memarahinya, padahal dia sudah siap mental umur empat tahunnya. Justru ayah Tiankai lembut dan lancar berbahasa Korea. Kepalanya ditepuk dan ibu Tiankai menyarankan mereka semua pergi bersama untuk makan malam. Dia tidak suka karena, wow, ternyata orangtuanya memperlakukan Tiankai seolah dia saudara Seunghyun. Apa-apaan! Dia ingin protes karena dia tidak mau duduk di sebelah Tiankai saat makan malam, tidak mau, tidak suka. Tidak suka anak itu menatapnya seolah menunggunya bicara, tidak suka saat Tiankai pamit dengan sopan kepada kedua orangtuanya.
Fiks sepakat dan tak bisa diganggu gugat. Fong Tiankai itu bencana.
(Bahkan ketika seiring tahun dan bulan, mereka punya banyak foto bersama dan semakin tidak terpisahkan,
iya, masih bencana.)
851w NYC au.
Ketika mereka bertemu untuk kedua kalinya, yang hendak keluar dari mulut adalah hai, halo, kenapa kebetulan begini, dan sebagainya—tetapi tidak ada yang terlisan. Satu berdiri dengan gelas di tangan, satunya lagi digamit lengannya dan diperkenalkan. Teman kuliah dari teman kuliah. Bertemu dari universitas dan katanya mereka pasti cocok. Katanya, katanya, katanya. Mereka tidak tahu.
“Ini Tiankai,” ucap Myunjae, mata setengah terbuka tetapi mulut lancar bicara, “kata Juhee—eh, kamu Seunghyun, kan? Aku disuruh kenalin dia ke kamu, dan—yah. Ngomong lah.”
Myunjae berbicara lagi setelah itu. Klub teater, beasiswa Asia Pasifik, lulus tepat waktu, organisasi mahasiswa Asia, macam-macam lagi yang Seunghyun kira bahkan tak perlu dia ketahui, karena gadis itu memandang matanya seolah ia kaget, di mulutnya tertahan sebuah tawa, dan lelaki itu sendiri tidak dapat berkata-kata.
“Kamu lagi.”
Di dalam bar yang remang itu, mata Tiankai bersinar. Seunghyun bisa ingat malam ketika mereka bertemu pertama kalinya: pesta yang terlalu ramai di lantai teratas suatu tempat di Upper East Side; terlalu banyak bir, terlalu banyak musik keras, dan mereka kabur ke atap. Saling menemukan ketika Seunghyun terlalu mabuk untuk bicara bahasa Inggris, dan gadis itu bisa memahaminya. Mereka menghabiskan dua jam menghitung bulu mata masing-masing dan menunggu pahit di mulut hilang. Sesudahnya, gadis itu lenyap bersama beberapa teguk vodka. Seunghyun kira dia bermimpi.
Tangannya diulurkan dan dia mencoba mengulas senyum, mengulang kembali racauan mabuk, menukarnya dengan deheman koheren. Gadis itu terkikik.
“Jae Seunghyun.”
“Fong Tiankai.”
Putar balik. Mulai.
-
Tiankai bekerja sebagai penerjemah Mandarin-Inggris di sebuah kantor berita internasional. Baru lepas magang dan diangkat jadi junior. Dia mengenal Myunjae dari universitas karena sesama pemegang beasiswa, sementara Myunjae kenal Juhee dari persatuan teater, dan Juhee kenal Seunghyun karena mereka berpartner selama satu semester penuh untuk praktek. Di tengah mabuknya, Seunghyun tidak pernah bertanya mengapa seorang gadis bisa mendadak muncul dan bicara bahasa Korea. Rupanya ibunya orang Busan. Pindah residensi karena menikah. Dan seterusnya, dan seterusnya. Seunghyun mengangguk-angguk.
“Oke. Anggap ini kencan ketiga,” Seunghyun berkata saat ia membawa Tiankai ke Harlem, ke tempat yang menjual taco paling murah sekaligus paling surgawi di seluruh New York—dan Tiankai mengerutkan dahi, bicara main-main.
“Jadi resmi kencan?” dia tersenyum dan Seunghyun suka melihatnya. Lelaki itu hanya tertawa.
“Kamu maunya apa?” alisnya terangkat. Tiankai tertawa dan tidak menjawab. Mereka memanggil taksi dan berkendara jauh hingga Chelsea, dan karena itu malam Senin, mereka duduk manis di dalam UCB untuk sebuah pertunjukan komedi yang diam-diam sudah dia pesan tiketnya.
Seunghyun bekerja sebagai perancang grafik untuk salah satu arthouse terbesar di New York; apartemennya penuh sketsa dan panorama, mulai dari wajah dan kostum, pola dan cakrawala, pucuk-pucuk gedung dan objek tata surya. Pada pertemuan mereka yang kelima, Tiankai melihat semua isi kertas gambarnya dan mengurutkan mana yang menurutnya paling menarik. Dia mencocokkan satu gambar dengan koleksi figurinnya, dan gambar yang lain dengan lukisan di atas kasurnya, dan hebatnya, dia bisa menebak dari mana inspirasinya.
“Dari aku,” ujarnya, barangkali bercanda, mengangkat satu sketsa: wanita yang memegang botol sampanye dan memiliki bulu mata terlentik yang pernah ada. Seunghyun membiarkannya.
Pada malam tahun baru mereka minum terlalu banyak dan tertawa terlalu banyak sampai mereka tidak bisa bicara. Di luar ada salju dan lansekap New York menyala-nyala, taksi kuning berseliweran, ada hitung mundur di Times Square, namun dari pesta-pesta dengan semua almamater dan rekan kerjanya, Tiankai memilih untuk berada di sini, di apartemen Seunghyun. Dan barangkali itulah mengapa Seunghyun menganggapnya seperti sebuah jalan bercahaya, di mana mereka bertemu karena mereka harus bertemu, di apartemen yang jendelanya menghadap pencakar langit, dinodai salju, digempur biru-hijau lampu billboard.
Di atas tempat tidur dan menjatuhkan selimut, di mana Tiankai duduk di pangkuannya dan dia tertawa, dia masih bisa tertawa dan bunyinya indah, senyumnya melekat hingga hitung mundur lewat jauh, jauh, dan sewaktu mereka bangun, tidak ada yang mereka lupa. Selamat tahun baru, katanya, sebelum mencium kerutan di kening dan bibir Seunghyun. Gadis itu wangi, seperti sebuah parfum yang selalu dia tidak kenal namanya, seberapa sering pun dia lewat di etalase.
-
Ketika mereka berpisah pun dia tidak heran, seolah Tiankai tidak jadi miliknya, dan tidak pernah miliknya. Tidak ada penyesalan. Gadis itu tidak bilang apa pun yang merupakan janji, dan dia juga, tetapi ketika mereka menuju arah yang berbeda sekeluarnya dari Little Italy, secara tidak resmi kencan terakhir mereka, dia merindukannya. Dia berbalik ke belakang untuk menangkap sosoknya, rambut pendeknya, mantel-terlalu-panjangnya, namun gadis itu sudah hilang. Hilang seperti seteguk vodka. Hilang seperti seratus empat puluh tiga bulu mata di kelopak atas sebelum dia melupakan angkanya. Hilang, hilang. Seunghyun kira dia bermimpi.
Maka, untuk suatu alasan, dia tidak heran ketika mereka bertemu lagi di Williamsburg, di depan sebuah bar yang terlalu remang, ketika Seunghyun muak dengan segala bau dan asap. Ketika gadis itu muncul dari pintu yang sama yang baru ia lewati, dan berhenti di sebelahnya, menoleh dan melihatnya tepat di mata.
Seunghyun bisa merasakan semua alkohol yang dia tenggak naik lagi.
“Hei.”
Bibir gadis itu rapat. “Hei.”
Kembali lagi, kembali lagi.
New York menyisakan tempat untuk mereka berdua di lubuk hatinya.
854w battle royale au.
Seunghyun mendapatkan pistolnya dari Siswa Perempuan Nomor Tujuh Belas, Seo Jungah, yang mati karena hantaman benda tumpul di kepala. Tiankai yang memegang batu dan mengayunkan tangannya sekuat tenaga karena Jungah berada di atas Seunghyun, menekan moncong pistol ke bawah rahangnya, dan Tiankai tidak bisa melihatnya. Dia menarik keluar sebuah Pietta 1873 dari genggaman gadis itu dan menyodorkannya ke arah Seunghyun, yang tangannya gemetar. Dari kepala Jungah keluar darah. Zona tempat mereka berada, pinggiran hutan yang membuka ke areal yang luas, sebentar lagi akan menjadi zona bahaya. Tiankai ingin cepat-cepat pergi sebelum kalungnya berbunyi dan ia menarik Seunghyun bersamanya.
“Kamu yang pegang pistolnya,” Tiankai berkata dengan suara pelan, sementara mereka menjajak rumput tinggi sambil bergandengan tangan.
“Memangnya kamu sudah punya senjata?” Seunghyun bertanya, jemarinya kasar dan buku-bukunya penuh lecet. Tiankai mempercepat langkahnya.
“Di tasku ada penyetrum,” dan dia mengira-ngira, apakah Seunghyun akan bertanya: kenapa tadi tidak setrum Jungah saja? Tetapi dia tidak melakukannya, dan Tiankai menarik napas lega.
Di kejauhan, ada bunyi ledakan. Pengumuman menyebutkan lima orang gugur bersama Seo Jungah. Terlalu banyak. Ini baru hari kedua.
Untuk ukuran dua anak yang lengket semasa sekolah, mereka tidak berjanji untuk bertemu selepasnya dari gedung utama. Seunghyun nomor tujuh, dan Tiankai nomor lima. Meski hanya berselang sedikit, dia tidak berhasil menemukan sosok laki-laki itu lama setelahnya, kala dia berjongkok di semak-semak. Lupakan saja, pikirnya, lagipula banyak orang yang saling membunuh sahabat mereka sendiri, dan dia harus apa?
Pikirannya punah saat Seunghyun bilang dia tidak bisa tidur dan harus berjaga. Tidak bisa bahkan ketika Tiankai menawarkan diri untuk berbaring di sebelahnya. Tiga hari terjebak dan mereka meragukan lima tahun yang sudah terlewat, betapa menyedihkan. Sayangnya, Seunghyun betul-betul bermimpi buruk, dan gadis itu mendengarnya. Tengah malam saat mereka tidak tahu itu pukul berapa, Tiankai akan membangunkan Seunghyun, menutup mulutnya agar ia tidak bersuara, dan menenangkan anak laki-laki yang kini keringatnya dingin dan mengigau tentang Tuhan dan semesta.
Seunghyun membunuh tiga orang sambil menangis tersedu-sedu. Dia mencengkram lengan Tiankai dan tidak bisa maju lagi, pistol di sisi badan, pisau yang baru mereka dapat dari Hwang Geunseok berlumur darah dan tanah. Tiankai memeluk anak laki-laki itu, dan ketika dia menunggu, tidak ada rasa sakit yang menusuknya. Seunghyun menjatuhkan pistolnya. Seluruh badannya gemetar.
“Kamu harus menang,” dia bicara saat mereka berbaring bersisian di malam kelima, di gudang kecil yang isinya debu semua. Tiankai hanya mengerjap dan menyuruhnya tidur. Dia tidak ingin bicara soal itu, tidak sekarang, tidak nanti. Dia tidak peduli soal keluarganya. Dia tidak peduli soal teman-temannya. Dia tidak peduli soal dirinya.
Dia mengajukan ide untuk berpisah jalan saat tiga zona bahaya diaktivasi sekaligus. Seunghyun melebarkan matanya dan melepaskan semua senjatanya, menjatuhkan tasnya, dan menariknya mendekat. “Tidak boleh,” bisiknya, nadanya ketakutan, “aku tidak akan bunuh kamu, kamu tahu kan, aku janji—kita tidak boleh pisah...” tangan lelaki itu ada di sisi wajahnya, ia menatap matanya, dan Tiankai tidak tahu siapa pun selama enam belas tahun hidupnya, siapa orang lain yang punya sorot mata seputus asa itu.
Mungkin dia hanya tidak ingin membunuh Seunghyun saat mereka hanya tinggal berdua. Justru karena dia tahu Seunghyun tidak akan membunuhnya. Anak laki-laki itu memegangi tangannya seolah ia akan kabur, dan dia memberikan semua senjatanya ke Tiankai. Gadis itu menolak. Di tingkat ini, semuanya sudah terlalu konyol. Ada empat zona yang didetonasi. Sepuluh siswa gugur.
Mereka membunuh Yang Junseok pada pukul tiga pagi, hari ketujuh, dengan gorokan di leher. Dulu pemuda itu adalah perenang nomor satu di tim SMA, atletis, fisiknya tangkas. Mereka menarik sebuah gergaji listrik dari belakang punggungnya, dan menghela napas. Matahari belum terbit. Kini membunuh rasanya hampa. Pengumuman menggema dan menyatakan jumlah siswa yang hanya tinggal dua.
“Kamu tahu aku tidak akan melakukannya,” Seunghyun berkata padanya, wajahnya penuh darah Junseok, dan lututnya menekuk. Ia duduk di tengah-tengah tanah lapang. Di tangan Tiankai ada gergaji, dan hei, siapa tahu? Kalau-kalau Tuhan, kalau memang ada, menginginkannya untuk berputar haluan, maka mungkin saja. Gadis itu sendiri kehabisan tenaga. Bingung mengapa pemuda di hadapannya percaya padanya semudah itu. Belas kasihan dan rasa syukur hilang bersama, dia tidak mengerti, tidak peduli. Gergajinya dilempar.
“Kamu pikir aku akan tega?” dia mencoba bertanya, sambil duduk di sebelah Seunghyun, menyurukkan kepala di pundaknya. Lelaki itu nadanya serius.
“Aku akan menyuruhmu,” katanya. Tiankai tertawa.
“Aku tidak akan mau.”
Ada keheningan untuk mereka berdua. Dia bisa merasakan napas pemuda itu, bahu bergerak naik dan turun, dan mengacuhkan jam yang berdetik, rasanya justru tenang. Mayat Yang Junseok ada jauh di sana, dan dari gedung utama, dia bisa mendengar statis pengeras suara. Aktivasi zona bahaya terakhir dalam satu menit kalau tidak ada yang bergerak.
“Akhiri saja,” Tiankai yang bilang, “aku rela kalau kamu yang lakukan.”
Seunghyun memegang tangannya dan meremas telapaknya, “jangan bodoh,” katanya. Itu membuat Tiankai tertawa. “Dan itu nggak lucu, ayolah.”
“Hitung mundur, Seunghyun.”
Dia bilang begitu sambil memejamkan mata. Seunghyun ikut terkekeh di sebelahnya. Mereka menunggu dan bernapas, satu, dua, tarik, lepas, hingga semua bercahaya, dan dia hanya bisa mendengar detak jantungnya, bersisian, bersamaan, muncul, menghilang.
Tahun ini tidak ada pemenang.
745w office au.
“Jae Seunghyun, berhenti membuang sampah post-itmu di dalam kubikelku, sialan!”
Wanita itu membentak, memukul penyekat, dan memelototi pria yang tergelak di sebelahnya. Lelaki bodoh yang membuatnya super senewen karena ketololan luar biasa dan rasa percaya diri yang menjulur ketinggian sampai keluar kerah kemejanya. Seunghyun menurunkan kaki dari mejanya, berputar luwes di kursinya, memberikan Tiankai sebuah senyum.
“Maaf,” ucapnya manis, “sini aku buang.”
Tangannya terulur. Tiankai membuatnya menunggu lima detik sebelum menumpahkan seisi tempat sampahnya ke dalam area kerja Seunghyun. Lee Changil di kubikel sebelahnya lagi melolong, “buuurn,” dan meminta tos dari Tiankai. Seunghyun mengumpat.
“Satu lembar lagi dan berikutnya kutampar kamu pakai clipboard,” Tiankai tersenyum, “salam sayang untukmu juga.”
Dan seiring Tiankai duduk untuk kembali pada dokumennya, dia mendengar Taekyung yang baru saja lewat, “Jae Seunghyun dan Alasan Kenapa Dia Tidak Pernah Mengerti Misteri Perempuan.” Seunghyun melemparinya dengan pulpen, nyasar hingga selasar.
Tapi tidak juga, Tiankai pikir, terkadang Seunghyun bisa mengerti perempuan. Karena kebetulan dia adalah pegawai yang paling disayang di kantor, dikagumi oleh para pegawai di lantai atas dan lantai bawah, di seberang ruangan dan di ujung, dan pada dasarnya hingga kantor atasan karena dia bicara dengan memikat dan bertindak menyenangkan. Radarnya untuk bersikap anteng langsung mati ketika dia berada di area divisinya sendiri, atau dengan kata lain, Sepuluh Orang yang Tahu Betul Binalnya Jae Seunghyun. Umur dua puluh lima tetapi jiwanya lima belas. Betul-betul keterlaluan.
Seperti waktu dia bermain dengan mesin fotokopi dan memfotokopi gambar wajahnya sendiri yang sedang monyong sebanyak sepuluh buah dan melekatkannya pada monitor semua orang di divisi kecilnya pagi itu. Jenius. Berikutnya adalah rencana persekongkolan untuk mem-blackmail gadis-gadis yang masuk daftar Untuk-Dikencani Seunghyun dengan hasil fotokopian mirip Ju-On seukuran A4 dan lelaki itu berakhir memohon, di atas lututnya, sambil aegyo. Makan malam samgyeopsal, tentu saja. Rejeki tak pernah jauh kalau ada di dekat Jae Seunghyun, katanya. Mereka menjadikan itu slogan divisi selama sebulan.
“Begitu-begitu dia pintar juga. Kamu tahu, kan, Tiankai,” Namjoo menyikutnya saat istirahat, memperhatikan Seunghyun yang baru saja membuat gadis di belakang konter memberinya ekstra charsiu. Mereka selalu makan di tempat yang sama setiap hari Kamis, semacam perjanjian. Tiankai hanya mengangguk-angguk, alisnya menyatu. “Kalau dia bicara seperti itu pada semua orang, aku berani sumpah dia bisa menguasai dunia,” ada api di mata Namjoo. Mereka menghabiskan waktu menghitung dua puluh empat nama yang jatuh cinta pada Jae Seunghyun, dua di antaranya laki-laki. Ini terlalu mantap. Daftarnya mereka tempel di kubikel, diketik dengan comic sans ukuran 20 berwarna merah. Seunghyun merobeknya sambil marah-marah.
“Dia cuma sebal karena katanya kalian tidak estetis.” Changil menggelengkan kepala. “Tapi kalian sudah tahu.”
“Tentu saja kami tahu, Tiankai tertawa sarkas, membanting empat map yang harus diarsip Changil ke atas mejanya, “ketika dua puluh tahun lagi bukan Jae Seunghyun yang jadi diktator bumi, kamu akan berterima kasih padaku dan Namjoo.”
Changil memberikannya lambang rock on dengan tiga jarinya.
“Anak baru cinta mati padaku. Kalian taruhan berapa Won?” telapak tangan terulur kepada Jinyoung dan Woojae pada Sabtu malam, ketika mereka semua duduk di satu meja panjang dengan berbotol-botol soju menumpuk. Dua pria itu mendecih dan mengeluarkan dompet. Tiankai menganga.
“Anak baru. Serius?” dia tidak ingin tertawa, “dia baru masuk kayak, satu hari.”
Seunghyun ber-hohoho meremehkan. “Satu hari cukup, Sayang,” dia mengedip, “jamin dengan uang, agar kamu lebih yakin.”
Jemari Seunghyun yang menggeliat menagih dia sentil menjauh. Dia tidak bisa tertawa lagi ketika dia dan Namjoo mengetik ulang daftar nama orang yang jatuh cinta dengan Seunghyun, kali ini bertambah satu, fontnya copperplate dan ukurannya 32, warnanya hijau. Alih-alih merobeknya, Seunghyun menyetabilo nama yang paling akhir, dan ketika jam pulang kantor, dia sudah bertambah kaya tiga puluh ribu Won. Sialan. Dapat dari mana dia hoki seperti itu, hah.
“Dari surga,” Seunghyun berkata ketika semua orang di meja mereka tumbang minggu berikutnya, ruangan karaoke itu masih menyala dari lampu warna-warni. Jatah mereka lima belas menit lagi. Tiankai tertawa meremehkan.
“Tian itu artinya Surga, lho,” dia memilih sebuah lagu, kemudian menyambar mikrofon, dan berdiri. Intronya berdentum-dentum. “Berterimakasihlah padaku, wahai pemuda!”
“Bahasa apaan, tuh!” Seunghyun melemparinya tisu, dan Tiankai menariknya berdiri. Mereka menggotong tiga orang keluar dari Myeongdong pukul dua pagi.
Hari Seninnya dimulai dengan sampah post-it baru berserakan di karpet kubikelnya, dan Tiankai tidak punya pilihan selain mengambil clipboardnya yang paling keras dan melemparnya ke kubikel sebelah.
968w office au part dos.
Semua dimulai dari minggu terakhir di bulan Februari, saat Heo Yoonhye dari satu lantai di atas mereka berlari masuk kamar mandi wanita sembari menangis tersedu-sedu. Rumor yang beredar bilang bahwa Jae Seunghyun memutuskan hubungan mereka saat jam makan siang, hubungan yang hanya bertahan satu bulan plus dua hari. Seluruh isi divisinya hendak menyudutkan, mengorek arsip KakaoTalk dan SMS lewat cara-cara yang mengerikan (“Lee Changil, titisan setan, tapi kamu jenius kali ini.”) tetapi aura yang mengelilingi kubikel Seunghyun terlalu mengerikan sampai-sampai tidak ada yang berani mendekat dalam radius semeter. Bahkan Tiankai diserang keinginan tak berdasar untuk minggat dan membawa seluruh dokumennya ke kubikel Myunjae di seberang, dengan alasan,
“Dia kayak mau bunuh orang. Parah.” Wanita itu menggeleng dan meletakkan lima map sekaligus di meja Myunjae, menggeleng-geleng, sementara Myunjae berusaha jadi simpatik dan menepuk-nepuk pundaknya.
“Kudengar Heo Yoonhye menuduhnya gay,” Myunjae berbisik dengan sorot mata yang terlalu tajam untuk dibilang sedang bercanda. Mata Tiankai sendiri nyaris melotot mendengarnya.
“Ani, ani,” Namjoo muncul dari pintu dan menyusup masuk, duduk di meja tanpa permisi, menunduk dan berbisik. “Aku diberitahu katanya Yoonhye yang lesbian. Mereka putus karena Yoonhye yang serakah,” Namjoo seperti Nostradamus memberitakan kiamat, “atau pacar ceweknya yang tahu, kemudian memaksa minta putus....”
“Ekstrem. Tapi entah kenapa aku bisa membayangkan,” Tiankai membeliak ngeri, tetapi anggukannya mantap. Gosip selalu beredar cepat di kantor ini seperti email kilat. Dia sudah tahu pasti ada belasan versi yang bercabang dari satu sumber yang ngaco. Tetapi tetap saja, di tengah kebingungan begini, setidaknya setiap orang percaya satu teori. Dia melirik ke arah kubikel Seunghyun dan melihat lelaki itu sedang mengetik dengan kecepatan seratus kilometer per jam. Tiankai meneguk ludah.
Saat mereka membiarkan Seunghyun larut dalam ke-emoan untuk satu jam berikutnya, ada Black Sabbath membahana dari kubikelnya, dan tidak ada yang berani mendekati Seunghyun hingga jam pulang.
“Dia akan sadar kalau dia kesepian,” Changil manggut-manggut sok tahu, “sebentar lagi. Maksimal dua hari.”
Masalahnya, ini bukan hanya soal putus-dan-nyambung biasa, karena dua hari berlalu dan Jae Seunghyun masih bertingkah seolah ia baru kembali dari dasar Neraka. Ini soal cinta yang datang dan pergi, soal Seunghyun yang bilang dia tidak janji akan melanjutkan daftar kencannya yang tertempel di dinding kubikel, soal sedivisi yang mengira Seunghyun sakit keras dan memutuskan untuk bertobat. Ini tentang seminggu pertama penuh kecanggungan karena Jae Seunghyun pergi ke lantai di atas divisinya untuk bertemu satu orang, dan hanya satu orang. Ini tentang Jae Seunghyun yang seolah terlahir jadi manusia baru, bayi mungil tanpa noda di dalam sarang tujuh lelaki dan dua perempuan yang, pada kehidupan sebelumnya, kerjaannya seputar menghitung berapa banyak gadis yang sudah dan akan dia kencani.
Ini tentang sedivisi berusaha menghiburnya dengan mengadakan pesta semalaman di apartemen Sangjoon yang lumayan besar, namun mereka berakhir tumbang semua setelah delapan ronde beer pong dengan Seunghyun dan Tiankai yang keluar sebagai pemenang. Juara bertahan sejak tahun lalu dan tidak ada yang mengalahkan. Seunghyun selalu bilang hangover yang dia dapat tidak ada yang menandingi, tetapi malam itu dia menenggak soju seperti orang gila. Sindrom emo pascaputus, jelas. Pertama kali keluar dalam lima tahun setelah Tiankai mengenalnya, dan wanita itu ingin geleng-geleng kepala, tetapi dia terlalu mabuk untuk melakukannya.
“Kamu tahu, kamu terlalu larut,” Tiankai berkata, menyingkirkan kaki Ilsung dari bantal yang ingin ia duduki dengan susah-payah, “dalam kesedihan. Larut. Kebawa arus. Ngerti?” tangannya direntangkan seolah memimik cahaya di dalam kegelapan. Ruangan ini hanya berisi sepuluh manusia, dan delapan di antaranya sudah teler. Seunghyun menatapnya dengan alis yang menyatu dan wajah yang merah.
“Cerewet,” dia menukas galak, dahinya diurut, tetapi Tiankai mendesis remeh.
“Kamu nggak bisa berenang, begooo,” Tiankai terbahak dan jatuh merebah di bantal sofa yang cukup besar, yang berserak di lantai. Pipi dan dahinya terasa panas. Dia minum sembilan gelas total, setelah menang tiga ronde berturut-turut. Seunghyun memandangnya dengan alisnya yang masih kelewat tebal. Tiankai jadi ingin menariknya. Siapa tahu ulat bulu imitasi. Dia terkikik.
“Bisa, kok,” Seunghyun terdengar sewot, kini mencondong dan bicara padanya dari dekat. Tangannya menopang di atas tempat Tiankai membaringkan kepala. Dia terlihat mengantuk. Satu matanya sudah setengah menutup. Tiankai mendorong dahinya dan tertawa keras. “Kenapa,” Seunghyun tidak seperti bertanya, dan Tiankai tidak menjawab.
“Heo Yoonhye segitu bagusnya, ya,” wanita itu jadi geli karena wajah Seunghyun layak ditertawakan. “Seminggu ini kamu ngaca, nggak?” kenapa tutur katanya masih koheren, dia tidak mengerti. Atau mungkin tidak segitu masuk akal, karena Seunghyun melakukan hal itu lagi dengan alisnya. Jelek. Tiankai menyentuh dahinya sambil menghela napas dan menunggu jawaban.
“Aku masih ganteng,” nadanya ngotot, dan Tiankai hanya ingin mencubit pipinya, hidungnya, semuanya, karena dia jadi gemas. Napas Seunghyun mencapai wajahnya dan rasanya panas.
“Kamu nggak pernah ganteng.” suaranya memelan. Tawa yang ditahan keluar berupa napas perlahan.
“Kamu selalu bohong,” Seunghyun mendekat, mendekat, dan Tiankai membiarkannya, “diam. Sekarang diam saja.”
Tiankai menurut sementara Seunghyun memegang pipinya, menariknya mendekat, dan dia berakhir melingkarkan lengan di lehernya, refleks. Mulutnya pahit. Segalanya blur dan yang dia ingat hanyalah bangun di apartemen Sangjoon pukul sembilan pagi dengan kepala yang seperti digempur dan Seunghyun di sampingnya, sudah terjaga. Delapan orang masih terkapar di sekeliling mereka.
Tangan Seunghyun mencapai puncak kepalanya. “Kalau yang lain bertanya, bilang aku nggak gay.”
Tiankai meliriknya. “Kalau semalam cuma untuk membuktikan itu, kamu kubunuh pakai clipboard besok Senin.”
“Nggak, kok,” Seunghyun berbalik menghadapnya dan memejamkan mata, “keterangan lebih lanjut ada di apartemenku, kalau kamu mau.”
Seninnya dimulai dengan banyak sekali tatapan mata penasaran dan kerah kemeja yang dinaikkan sampai atas. Heo Yoonhye hanya sebuah legenda yang bertahan tiga puluh dua hari; sisanya daftar kencan itu disobek dan dicoret, sementara taruhan tiga puluh ribu Won pun sudah tidak ada lagi.