nacu (
oceansahead) wrote in
sheepandwolf2015-07-30 12:38 am
![[personal profile]](https://www.dreamwidth.org/img/silk/identity/user.png)
![[community profile]](https://www.dreamwidth.org/img/silk/identity/community.png)
Entry tags:
shanghai and its complicacies
2729w.

Pertama kalinya dia berbicara bahasa mandarin adalah saat wanita di sebelah kursinya memegang pundaknya dan bertanya apakah dia tidak apa-apa, karena diamnya berubah menjadi tangis kala pesawat semakin meninggi. Dia menoleh dan samar-samar melihat rambut yang ditata rapi, riasan wajah, lipstik, alis yang bertaut—lalu dia menggeleng, dan bilang dengan setengah hati, “tidak apa-apa,” dengan bahasa ibunya sendiri.
Pesawatnya menembus awan dan kini Korea hanya titik-titik di kejauhan, pucuk gedung dan jalan raya dan segala yang dia punya. Mungkin, kalau dia teliti, dia bisa melihat Jongno, dan jauh hingga Gangnam, di mana kantornya berada—mungkin dia bisa melihat Hansung, atau Sungai Han, atau bahkan apartemen Seunghyun.
Rasanya sakit, bahkan meski hanya melihat segalanya yang mungil dari atas. Jauh. Jauh sekali. Dia berjanji untuk tidak menoleh ke belakang, satu jam yang lalu ketika dia berpisah di bandara Incheon—tetapi nyatanya dia memang menoleh, memastikan pemuda itu masih berdiri di sana menungguinya sampai ia menghilang ke gerbang yang dituju. Dia menoleh dan melambai dan tersenyum sekali lagi dan ingin sekali bilang bahwa ‘minggu depan jemput aku, ya’, tetapi matanya jadi kabur saat dia mempercepat langkah dan berbaur di dalam kerumunan, di sekumpulan lelaki dengan setelan rapi, di tengah ibu-ibu yang berbicara di telepon dengan bahasa mandarin, di antara anak-anak yang berlarian di atas karpet dan jatuh.
Dan dia sempat berpikir untuk mengirimkan pesan, satu lagi, satu saja, yang terakhir—sebelum semuanya jadi sangat jauh dan bertarif dan tertahan jarak. Tangannya tidak bergerak karena dia berpikir tadi mulutnya sudah cukup berkata. Semuanya baik-baik saja. Sampai bertemu, sampai jumpa, selamat tinggal untuk sekarang, dan dia pikir dia tidak akan dapat kursi di dekat jendela, di mana Korea mengecil di mata dan dia tidak bisa kembali untuk meraihnya lagi.
Pula dia ternyata menangis saat dia sudah duduk di kursi untuk tiga puluh menit, saat pesawat membumbung dan mencapai awan, saat dia menoleh ke luar dan ternyata Korea nampak sangat cantik dari atas. Di suatu tempat di bawah sana, ada mobil Jessi dan Changil dan Yakko, mungkin segera kembali ke Seoul untuk bertemu di bar dengan teman-teman lainnya. Ada keluarga Seunghyun, dengan Soori yang masih sembab, mungkin akan menginap semalam di Incheon dan besok kembali ke Seoul. Ada bibinya, bahagia di rumah pamannya, menimang anak lelaki mereka. Ada orang-orang yang akan kembali sibuk beraktivitas dan kembali ke kehidupan mereka masing-masing dan merelakan fakta bahwa Tian Kai sudah kembali ke Shanghai, sudah pulang, sudah jangan dirisaukan lagi.
Di bawah sana, entah di mana, ada hatinya—dan dia tidak tahu ke mana dia akan pulang.
“Korea itu cantik sekali,” wanita di sebelahnya berkata, dan ia menyodorkan saputangan. Tian Kai menoleh dan sadar bahwa senyuman di bibirnya adalah hal menyenangkan pertama yang dia lihat hari ini, dan bahwa mungkin wajahnya sendiri berantakan sekali. Dia mengangguk dan menerima saputangan itu dengan terima kasih, dan hanya bilang bilang, “mm.”
Karena Korea memang cantik dan dia hanya akan terus rindu, sampai selamanya—sampai dia kemari lagi.
“Penumpang sekalian, pesawat kita sudah mendarat dengan sukses di Bandara Internasional Pudong Shanghai. Kami mengucapkan terima kasih sudah memilih kami untuk mendampingi Anda, dan selamat datang di rumah.”

Tapi ini bukan rumah.
Tempat ini sudah berhenti menjadi rumahnya semenjak bertahun-tahun yang lalu, semenjak dia menonjok Chuanli di rahang, semenjak ia lima belas dan memutuskan untuk naik pesawat dan pindah ke Korea, semenjak dia jatuh cinta dengan Jongno dan Myeongdong dan Hongdae.
Semenjak Seunghyun.
Dan bahkan ketika ayahnya akhirnya merangkul pundaknya dan bilang bahwa ia sangat berterima kasih, ketika ibunya mencium pipinya dan bilang betapa ia sayang padanya, ketika ia menatap wajah kakaknya dan menghambur ke pelukannya—dia tidak juga bisa merasa bahwa Shanghai adalah rumah.
Karena meski ia senang ia kembali melihat keluarganya, meski ia bisa menghubungi semua kawan lamanya dan minum sampai malam, meski ia bisa membangun karir yang lebih stabil berbekal nama yang sudah dia poles jauh di Korea, tempat ini tetap bukan rumah.
Tempat ini tidak berisi hatinya dan tidak berisi kenangan apa pun selain segala yang samar dari kala praremaja. Tempat ini jadi begitu asing sejak ia memutuskan untuk tidak mengikuti berita selain tentang cuaca. Bukan lagi sebuah naungan, karena katanya mandarinnya jadi sedikit aneh dan beraksen, dia terbiasa mencari kimchi untuk setiap mangkuk nasi, dan dan dia berhenti merindu.
Semuanya terbalik-balik dan salah. Dia tersandung dan jatuh. Dia tidak tahu ini di mana. Tidak ada yang mengerti, karena saat dia menangis di kamarnya untuk yang kesekian kali, tidak ada yang bisa menenangkannya. Tidak ada yang bisa bicara apa pun selain ‘tidak apa-apa. Kamu sudah di rumah sekarang.’
Dan tidak ada yang menanyai soal Seunghyun lebih jauh setelah dia tersenyum dan bilang, ‘dia masih di Seoul.’
Tentu tidak.
Rumah ini bukan rumah karena dia hampir salah belok kala dia dan Xiumei menyusuri trotoar untuk pergi ke kedai yang dulu mereka sukai saat SMP—tempat yang menjual zhajiangmian paling enak yang mereka cicipi. Dia lupa. Dia menggaruk belakang kepalanya dan meminta Xiumei untuk menggandengnya saja. Reklame di sepanjang pandangan mulai membuat matanya sakit; wajah-wajah yang terpampang di sana begitu asing.
“Wajahmu ada dimana-mana sih, ya,” Xiumei berkomentar sambil tertawa, mengayunkan tangan Tian Kai riang, sementara mereka lanjut berjalan. Barusan seorang gadis remaja menyapa Tian Kai dan meminta sebuah selca. Tian Kai hanya mendengung, bersenandung tanpa nada, matanya memindai jalanan.
“Mungkin,” seadanya dia menandas, mengikuti kawannya memasuki sebuah toko. Aromanya harum dan mereka duduk.
“Kamu bakal lebih dikenal lagi, pasti,” Xiumei melanjutkan sembari membuka buku menu, “setelah kamu tanda tangan dengan agensi di Huangpu itu. Iya, kan?”
Tian Kai menatap kosong buku menu plastik yang berminyak; cahaya lampu di atas memantul hingga ujung mata. Tempat ini mirip Myeongdong kalau semua aksara dihapus.
Ulang saja semua lagi.
“Mungkin.”

Pertama kali ia bertemu Junyi adalah ketika ia datang ke agensi untuk bertemu manajernya.
Pria muda yang berpakaian dalam kemeja dan celana jins, sepatu kets usang, dan matanya berkacamata dan bingkainya tebal. Sudut-sudut wajahnya tegas dan rambutnya tidak diwarnai. Ia duduk di sofa dan di tangannya ada berlembar-lembar dokumen, entah apa.
Hal pertama yang ia ucapkan adalah, “antingmu banyak amat.”
Dan Junyi bukan orang asing, karena dia memang bukan orang asing—dia teman Donghai, adik kelasnya di universitas, hanya dua tahun lebih tua dari Tian Kai. Dia magang di stasiun televisi sebagai asisten kreatif program, sekretaris tak resmi bosnya, dan tukang bikin kopi.
Dan dia sangat, sangat baik.
“Nggak makan kailan?”
Tian Kai bertanya saat mereka duduk di kedai pinggir jalan dan Junyi mulai menyumpiti sayur hijau itu keluar mangkuknya. Kening gadis itu berkerut karena dia suka sayur dan dia pikir semua orang pun harus.
“Nggak suka.” Junyi menandas singkat dan melirik Tian Kai sebelum mulai menuang kuah di atas piringnya. “Jangan lihat aku begitu kayak kamu rugi. Yang bayar aku, kan?”
Tian Kai hanya bermain dengan sumpitnya dan menyorongkan mangkuknya ke arah Junyi.
“Kalau sayurnya nggak mau, buat aku saja.”
Kenapa dia harus melarang.
Lelaki itu akan menjemputnya ketika Donghai tidak bisa, datang ke rumah untuk mengantarkan segala macam, mengajaknya keluar makan dan selalu membayar, serta menemaninya bangun hingga dini hari untuk mengerjakan ini-itu. Dia ada di sana dan selalu ada di sana, entah bagaimana, bahkan ketika Tian Kai bertanya apakah Junyi sibuk dan pemuda itu bilang iya. Namun dia memiliki waktu, selalu, dan Tian Kai tidak mau tahu apakah hanya dia sendiri yang diberikan hal itu.
Dan dia tidak akan mengerti dengan apa harus dia balas semua kebaikan yang ia terima, karena Junyi mengatakan tidak untuk semua hal yang ia tawarkan. Tidak ada hadiah. Tidak ada terima kasih. Semuanya diawali dengan formalitas, dengan paksaan, tapi semuanya memudar karena Junyi merespons dengan diam. Selalu diam, acuh, berlagak dia tidak mendapatkan apa-apa, dan selalu begitulah cara Junyi menolak. Lama-kelamaan, Tian Kai menyerah. Sisanya, dan untuk seterusnya, dia berhenti mencoba.
Hal-hal datang dengan cepat dan tanpa imbalan. Mengalir seperti rutinitas. Junyi memberi dan dia menerima. Junyi maju dan dia cukup menunggu saja. Junyi menjawab ya untuk semua yang ia minta.
Dia memutuskan satu-satunya cara untuk balas budi adalah untuk tidak berbohong dan untuk melakukan apa yang pemuda itu minta—maka itulah yang ia lakukan.
Dan dia terus melakukannya hingga suatu malam kala mereka ada di pinggir Sungai Huangpu, di dalam SUV Junyi yang rodanya selalu kotor bernoda tanah, saat Tian Kai bilang Huangpu terlihat seperti Hangang dan Junyi mulai menanyainya tentang Korea.
“Aku lihat kamu,” katanya, mata di kapal bertingkat dengan lampion berderet di pinggir air, cruise untuk turis, “berkali-kali, sewaktu kamu masih dengan grupmu. Dan kakakmu selalu sibuk menunjuk kamu yang mana.”
Tian Kai mencoba untuk tertawa, karena hari-hari itu sesungguhnya belum lama lewat, dan dia masih rindu, “dan aku pernah ke sini.”
Junyi mengangguk, “dan kamu pernah ke sini,” kini ia terkekeh, “sewaktu aku baru sekali masuk stasiun televisi, dan kita berpapasan di belakang panggung.”
“Nggak ingat, ah,” Tian Kai tidak bercanda, kali ini tidak, karena wajah Junyi selalu asing.
“Mana mungkin kamu ingat,” berseloroh, Junyi mendengus, dan entah mengapa Tian Kai menunggu tangan yang mendorong kepalanya ke samping meremehkan. Tetapi Junyi tidak pernah menyentuhnya, tidak sekali pun.
Tian Kai menunggu.
“Kamu rindu Korea?”
Pertanyaannya lantas tidak membuatnya kaget, dan dengan lugas ia mampu menjawab, “iya.”
Junyi mengetuk-ngetuk kemudi dengan telunjuk dan jari tengah, irama sporadis yang Tian Kai lama-lama dengar seperti sebuah pola, dan ada keheningan yang lama. Kapal bertingkat di hadapan sudah lama bergeser, berlayar menuju sisi lain. Shanghai di seberang sungai berkelap-kelip.
“Punya pacar di sana?”
Dia tidak kaget Junyi bertanya demikian; dia tidak pernah kaget akan apa pun yang ditanyakan pemuda itu, karena dia merasa dia harus selalu siap, dan selalu menjawab.
“Mm.”
Pemuda itu tidak sedang memandangnya.
“Sekarang masih?”
Junyi boleh menanyainya apa saja, dan dia tidak akan marah. Dia tidak akan pernah marah, untuk apa pun yang pemuda itu lakukan, atau apa pun yang pemuda itu inginkan. Tidak untuk semua yang telah ia dapatkan dan gagal ia tawarkan.
Dia tidak menjawab, tetapi jemarinya tanpa sadar melayang ke telinga—di ujung samping, di tulang yang keras, di mana anting itu tidak pernah dilepas.
Junyi tidak menekannya dan memilih untuk menyalakan mobil, memutar arah, dan tidak berhenti mengajaknya memutari kota hingga lewat tengah malam.
Tian Kai tidak pernah bertanya.

Pertama kali Junyi menciumnya adalah saat mereka berdua berjalan kaki pulang dari sebuah pesta di Hengshan, di mana itu pukul dua dan bar masih menggila dengan racauan dan alkohol dan nyanyian fals dan tawa. Program yang sukses berjalan selama penayangan musim perdana, semua orang disalami, dan Tian Kai menyusup keluar sebelum acara selesai. Koleganya semua mabuk dan dia masih ingin pulang tanpa disambar orang, jadi alih-alih sendiri, Junyi memegangi pundaknya tanpa henti.
Baunya seperti bir, berat dan kental, dan Tian Kai tidak tahu Junyi sedang mabuk atau tidak, atau kalau dia memang sengaja. Kesadarannya hilang-timbul dan dia tidak akan tahu kalau Junyi tidak menangkup lehernya, pipinya, dan aromanya tidak seperti alkohol di mulutnya. Lampu jalanan silau sekali di atas kepala, emas dan jingga, menelusup ke balik kelopak, dan Tian Kai tidak benar-benar awas sampai beberapa lama.
Dia tidak mendorong dan tidak berkata apa-apa sampai akhirnya dia berani membuka mata dan melihat wajah pemuda itu, kulitnya keemasan dan begitu dekat.
“Gege,” pertama yang keluar dari mulut, bibir merah dan napas tersendat, “kamu nggak bisa.”
Tidak bisa, dan mungkin itu satu-satunya hal yang Junyi tidak bisa. Bahwa dia terus memeganginya selama gadis itu tidak merasa ada di rumah.
“Kai,” suaranya terlalu lembut untuk orang mabuk, dan Tian Kai tidak suka, tidak bisa, tidak mau, “kamu yang nggak bisa terus begini.”
Dia bukan siapa-siapa untuk berkata begitu. Dia tidak pergi ke Seoul ketika baru lima belas. Dia tidak tergelincir hangeul dan dicibir karena dia bukan orang Korea. Dia tidak butuh pegangan selama berada di negeri orang, karena dia tidak ada di sana. Dia tidak menemukan siapa-siapa. Dia tidak kehilangan rumahnya.
Tian Kai bisa membantah, tapi dia tidak pernah bisa membantah Junyi.
Nggak bisa apanya, menjerit, menjerit, berteriak, kamu saja yang nggak tahu. Semuanya diam, tenang, tanpa suara. Junyi masih memegang pundaknya, menatap matanya.
“Kamu sakit,” bohong, Junyi tidak tahu, Junyi bilang begitu hanya karena Tian Kai tidak bisa membalas dengan pantas, “mau sampai kapan?”
Rasanya seperti dimarahi, padahal tidak. Ditampar, padahal tidak. Jemari Junyi ada pada pelipisnya, turun ke pipi, ke dagu.
“Kamu nggak bisa,” dan suara Junyi lelah, putus asa, seolah dialah yang sakit, bukan Tian Kai.
Aku bisa.
“…kamu nggak tahu, gege,”
Rasanya tidak sakit.
“Kamu nggak bisa bilang begitu.”
Itu juga terakhir kali Junyi menciumnya.

Ada kalanya saat Seunghyun mencintai pecinan.
Sewaktu mereka masih muda dan belia, perut selalu lapar dan kantong selalu terlalu kempis. Tian Kai akan mencari jalan pintas; menarik Seunghyun dan menyeretnya ke pecinan, ke kedai-kedai yang pernah ia kunjungi, ke para wanita paruh-baya yang gemuk dan murah hati. Dia akan menyapa, dengan bahasa mandarin, dan duduk dengan nyaman di meja untuk berdua. Entah bagaimana, secara ajaib, diskon selalu datang.
Berikut dengan tepukan di kepala, nasihat untuk rajin belajar dan banggakan orangtua, peribahasa Cina lama. Seunghyun tidak mengerti. Dia akan nyengir, mengangguk, lalu makan lagi.
Di Shanghai, semua pelosok adalah pecinan itu sendiri. Lampion yang berderet di jalan-jalan tua, aroma daging dan saus yang kental dari balik jendela, ratusan bangku mungil dijejerkan bersama meja. Taplaknya berminyak dan belum dirapikan, bekas pelanggan terdahulu. Junyi akan mengajaknya masuk ke dalam satu kedai yang ia tahu, membayarinya, kemudian semuanya berakhir pada alkohol.
Dan dia tidak pernah melarang Tian Kai minum—tidak pernah, tidak, kecuali saat Tian Kai mulai mabuk dan mengeluh ingin pulang. Saat itulah Junyi akan menariknya, melepas gelas dari genggamannya, dan bilang untuk berhenti, Kai, dan ayo kuantar ke mobil. Tapi Tian Kai tidak pernah menurut, tidak, karena Junyi akan selalu kuat untuk menggendongnya seberapa berat pun ia. Dan meskipun ia sebengal itu, Junyi tidak pernah marah.
Tidak marah, tidak marah saat Tian Kai tertawa di antara kilau di botol-botol kaca dan menyurukkan dahi di lengannya, mencengkram jemari Junyi, dan memanggil, Seunghyun.
Tidak marah, tidak pernah marah, tidak sekali pun.
Justru ialah yang datang dan mengetuk pintu Tian Kai, berdiri di pintu kamarnya ketika dia duduk di jendela membelakangi Junyi, dan bertanya, “kamu marah?”
Dan Tian Kai menjawab dengan, “nggak,” singkat, karena dia memang tidak marah.
Junyi tidak meminta maaf; entah karena Tian Kai tidak meminta, atau memang dia tidak menyesal. Tetapi memang sepatutnya demikian, karena Tian Kai tidak menangis karena Junyi, belum pernah, tidak akan pernah.
“Apa kamu mau melihatku sekarang?” tanya Junyi, keberadaannya bisa dia rasakan di dekatnya, melipat tangan dan bersandar. Jemari Tian Kai memainkan figurin di meja, sembari yang empunya menoleh dan menatap pemuda itu tepat di mata.
Tian Kai tidak akan pernah mengerti apa yang dia lihat—bahwa ada sesuatu yang tidak dimaksudkan, permintaan maaf yang menggenang entah dalam atau dangkal. Ketidaktahuan dan apa yang terbit di antaranya. Selamanya, meski Junyi bilang dia sudah mengerti atau akan mencoba mengerti, Tian Kai tidak akan peduli. Tidak untuk yang ini. Hal yang paling bisa dia pegang teguh, yang hanya dia yang tahu, yang hanya dia yang mengerti. Kapan Junyi datang? Apa yang dia lihat? Apa yang membuatnya lantas bisa bilang demikian?
Dia tidak akan marah karena apa pun. Segalanya hanya hal sepele. Soal perjalanan pulang, soal traktiran di kedai-kedai tua, soal menemaninya minum saat dia betul-betul butuh. Semuanya, kecuali satu.
“Tidak mau.”
Hanya satu itu.
Junyi tidak mengatakan apa-apa saat dia menutup pintu.

Pertama kalinya dia berbicara bahasa mandarin adalah saat wanita di sebelah kursinya memegang pundaknya dan bertanya apakah dia tidak apa-apa, karena diamnya berubah menjadi tangis kala pesawat semakin meninggi. Dia menoleh dan samar-samar melihat rambut yang ditata rapi, riasan wajah, lipstik, alis yang bertaut—lalu dia menggeleng, dan bilang dengan setengah hati, “tidak apa-apa,” dengan bahasa ibunya sendiri.
Pesawatnya menembus awan dan kini Korea hanya titik-titik di kejauhan, pucuk gedung dan jalan raya dan segala yang dia punya. Mungkin, kalau dia teliti, dia bisa melihat Jongno, dan jauh hingga Gangnam, di mana kantornya berada—mungkin dia bisa melihat Hansung, atau Sungai Han, atau bahkan apartemen Seunghyun.
Rasanya sakit, bahkan meski hanya melihat segalanya yang mungil dari atas. Jauh. Jauh sekali. Dia berjanji untuk tidak menoleh ke belakang, satu jam yang lalu ketika dia berpisah di bandara Incheon—tetapi nyatanya dia memang menoleh, memastikan pemuda itu masih berdiri di sana menungguinya sampai ia menghilang ke gerbang yang dituju. Dia menoleh dan melambai dan tersenyum sekali lagi dan ingin sekali bilang bahwa ‘minggu depan jemput aku, ya’, tetapi matanya jadi kabur saat dia mempercepat langkah dan berbaur di dalam kerumunan, di sekumpulan lelaki dengan setelan rapi, di tengah ibu-ibu yang berbicara di telepon dengan bahasa mandarin, di antara anak-anak yang berlarian di atas karpet dan jatuh.
Dan dia sempat berpikir untuk mengirimkan pesan, satu lagi, satu saja, yang terakhir—sebelum semuanya jadi sangat jauh dan bertarif dan tertahan jarak. Tangannya tidak bergerak karena dia berpikir tadi mulutnya sudah cukup berkata. Semuanya baik-baik saja. Sampai bertemu, sampai jumpa, selamat tinggal untuk sekarang, dan dia pikir dia tidak akan dapat kursi di dekat jendela, di mana Korea mengecil di mata dan dia tidak bisa kembali untuk meraihnya lagi.
Pula dia ternyata menangis saat dia sudah duduk di kursi untuk tiga puluh menit, saat pesawat membumbung dan mencapai awan, saat dia menoleh ke luar dan ternyata Korea nampak sangat cantik dari atas. Di suatu tempat di bawah sana, ada mobil Jessi dan Changil dan Yakko, mungkin segera kembali ke Seoul untuk bertemu di bar dengan teman-teman lainnya. Ada keluarga Seunghyun, dengan Soori yang masih sembab, mungkin akan menginap semalam di Incheon dan besok kembali ke Seoul. Ada bibinya, bahagia di rumah pamannya, menimang anak lelaki mereka. Ada orang-orang yang akan kembali sibuk beraktivitas dan kembali ke kehidupan mereka masing-masing dan merelakan fakta bahwa Tian Kai sudah kembali ke Shanghai, sudah pulang, sudah jangan dirisaukan lagi.
Di bawah sana, entah di mana, ada hatinya—dan dia tidak tahu ke mana dia akan pulang.
“Korea itu cantik sekali,” wanita di sebelahnya berkata, dan ia menyodorkan saputangan. Tian Kai menoleh dan sadar bahwa senyuman di bibirnya adalah hal menyenangkan pertama yang dia lihat hari ini, dan bahwa mungkin wajahnya sendiri berantakan sekali. Dia mengangguk dan menerima saputangan itu dengan terima kasih, dan hanya bilang bilang, “mm.”
Karena Korea memang cantik dan dia hanya akan terus rindu, sampai selamanya—sampai dia kemari lagi.
“Penumpang sekalian, pesawat kita sudah mendarat dengan sukses di Bandara Internasional Pudong Shanghai. Kami mengucapkan terima kasih sudah memilih kami untuk mendampingi Anda, dan selamat datang di rumah.”

Tapi ini bukan rumah.
Tempat ini sudah berhenti menjadi rumahnya semenjak bertahun-tahun yang lalu, semenjak dia menonjok Chuanli di rahang, semenjak ia lima belas dan memutuskan untuk naik pesawat dan pindah ke Korea, semenjak dia jatuh cinta dengan Jongno dan Myeongdong dan Hongdae.
Semenjak Seunghyun.
Dan bahkan ketika ayahnya akhirnya merangkul pundaknya dan bilang bahwa ia sangat berterima kasih, ketika ibunya mencium pipinya dan bilang betapa ia sayang padanya, ketika ia menatap wajah kakaknya dan menghambur ke pelukannya—dia tidak juga bisa merasa bahwa Shanghai adalah rumah.
Karena meski ia senang ia kembali melihat keluarganya, meski ia bisa menghubungi semua kawan lamanya dan minum sampai malam, meski ia bisa membangun karir yang lebih stabil berbekal nama yang sudah dia poles jauh di Korea, tempat ini tetap bukan rumah.
Tempat ini tidak berisi hatinya dan tidak berisi kenangan apa pun selain segala yang samar dari kala praremaja. Tempat ini jadi begitu asing sejak ia memutuskan untuk tidak mengikuti berita selain tentang cuaca. Bukan lagi sebuah naungan, karena katanya mandarinnya jadi sedikit aneh dan beraksen, dia terbiasa mencari kimchi untuk setiap mangkuk nasi, dan dan dia berhenti merindu.
Semuanya terbalik-balik dan salah. Dia tersandung dan jatuh. Dia tidak tahu ini di mana. Tidak ada yang mengerti, karena saat dia menangis di kamarnya untuk yang kesekian kali, tidak ada yang bisa menenangkannya. Tidak ada yang bisa bicara apa pun selain ‘tidak apa-apa. Kamu sudah di rumah sekarang.’
Dan tidak ada yang menanyai soal Seunghyun lebih jauh setelah dia tersenyum dan bilang, ‘dia masih di Seoul.’
Tentu tidak.
Rumah ini bukan rumah karena dia hampir salah belok kala dia dan Xiumei menyusuri trotoar untuk pergi ke kedai yang dulu mereka sukai saat SMP—tempat yang menjual zhajiangmian paling enak yang mereka cicipi. Dia lupa. Dia menggaruk belakang kepalanya dan meminta Xiumei untuk menggandengnya saja. Reklame di sepanjang pandangan mulai membuat matanya sakit; wajah-wajah yang terpampang di sana begitu asing.
“Wajahmu ada dimana-mana sih, ya,” Xiumei berkomentar sambil tertawa, mengayunkan tangan Tian Kai riang, sementara mereka lanjut berjalan. Barusan seorang gadis remaja menyapa Tian Kai dan meminta sebuah selca. Tian Kai hanya mendengung, bersenandung tanpa nada, matanya memindai jalanan.
“Mungkin,” seadanya dia menandas, mengikuti kawannya memasuki sebuah toko. Aromanya harum dan mereka duduk.
“Kamu bakal lebih dikenal lagi, pasti,” Xiumei melanjutkan sembari membuka buku menu, “setelah kamu tanda tangan dengan agensi di Huangpu itu. Iya, kan?”
Tian Kai menatap kosong buku menu plastik yang berminyak; cahaya lampu di atas memantul hingga ujung mata. Tempat ini mirip Myeongdong kalau semua aksara dihapus.
Ulang saja semua lagi.
“Mungkin.”

Pertama kali ia bertemu Junyi adalah ketika ia datang ke agensi untuk bertemu manajernya.
Pria muda yang berpakaian dalam kemeja dan celana jins, sepatu kets usang, dan matanya berkacamata dan bingkainya tebal. Sudut-sudut wajahnya tegas dan rambutnya tidak diwarnai. Ia duduk di sofa dan di tangannya ada berlembar-lembar dokumen, entah apa.
Hal pertama yang ia ucapkan adalah, “antingmu banyak amat.”
Dan Junyi bukan orang asing, karena dia memang bukan orang asing—dia teman Donghai, adik kelasnya di universitas, hanya dua tahun lebih tua dari Tian Kai. Dia magang di stasiun televisi sebagai asisten kreatif program, sekretaris tak resmi bosnya, dan tukang bikin kopi.
Dan dia sangat, sangat baik.
“Nggak makan kailan?”
Tian Kai bertanya saat mereka duduk di kedai pinggir jalan dan Junyi mulai menyumpiti sayur hijau itu keluar mangkuknya. Kening gadis itu berkerut karena dia suka sayur dan dia pikir semua orang pun harus.
“Nggak suka.” Junyi menandas singkat dan melirik Tian Kai sebelum mulai menuang kuah di atas piringnya. “Jangan lihat aku begitu kayak kamu rugi. Yang bayar aku, kan?”
Tian Kai hanya bermain dengan sumpitnya dan menyorongkan mangkuknya ke arah Junyi.
“Kalau sayurnya nggak mau, buat aku saja.”
Kenapa dia harus melarang.
Lelaki itu akan menjemputnya ketika Donghai tidak bisa, datang ke rumah untuk mengantarkan segala macam, mengajaknya keluar makan dan selalu membayar, serta menemaninya bangun hingga dini hari untuk mengerjakan ini-itu. Dia ada di sana dan selalu ada di sana, entah bagaimana, bahkan ketika Tian Kai bertanya apakah Junyi sibuk dan pemuda itu bilang iya. Namun dia memiliki waktu, selalu, dan Tian Kai tidak mau tahu apakah hanya dia sendiri yang diberikan hal itu.
Dan dia tidak akan mengerti dengan apa harus dia balas semua kebaikan yang ia terima, karena Junyi mengatakan tidak untuk semua hal yang ia tawarkan. Tidak ada hadiah. Tidak ada terima kasih. Semuanya diawali dengan formalitas, dengan paksaan, tapi semuanya memudar karena Junyi merespons dengan diam. Selalu diam, acuh, berlagak dia tidak mendapatkan apa-apa, dan selalu begitulah cara Junyi menolak. Lama-kelamaan, Tian Kai menyerah. Sisanya, dan untuk seterusnya, dia berhenti mencoba.
Hal-hal datang dengan cepat dan tanpa imbalan. Mengalir seperti rutinitas. Junyi memberi dan dia menerima. Junyi maju dan dia cukup menunggu saja. Junyi menjawab ya untuk semua yang ia minta.
Dia memutuskan satu-satunya cara untuk balas budi adalah untuk tidak berbohong dan untuk melakukan apa yang pemuda itu minta—maka itulah yang ia lakukan.
Dan dia terus melakukannya hingga suatu malam kala mereka ada di pinggir Sungai Huangpu, di dalam SUV Junyi yang rodanya selalu kotor bernoda tanah, saat Tian Kai bilang Huangpu terlihat seperti Hangang dan Junyi mulai menanyainya tentang Korea.
“Aku lihat kamu,” katanya, mata di kapal bertingkat dengan lampion berderet di pinggir air, cruise untuk turis, “berkali-kali, sewaktu kamu masih dengan grupmu. Dan kakakmu selalu sibuk menunjuk kamu yang mana.”
Tian Kai mencoba untuk tertawa, karena hari-hari itu sesungguhnya belum lama lewat, dan dia masih rindu, “dan aku pernah ke sini.”
Junyi mengangguk, “dan kamu pernah ke sini,” kini ia terkekeh, “sewaktu aku baru sekali masuk stasiun televisi, dan kita berpapasan di belakang panggung.”
“Nggak ingat, ah,” Tian Kai tidak bercanda, kali ini tidak, karena wajah Junyi selalu asing.
“Mana mungkin kamu ingat,” berseloroh, Junyi mendengus, dan entah mengapa Tian Kai menunggu tangan yang mendorong kepalanya ke samping meremehkan. Tetapi Junyi tidak pernah menyentuhnya, tidak sekali pun.
Tian Kai menunggu.
“Kamu rindu Korea?”
Pertanyaannya lantas tidak membuatnya kaget, dan dengan lugas ia mampu menjawab, “iya.”
Junyi mengetuk-ngetuk kemudi dengan telunjuk dan jari tengah, irama sporadis yang Tian Kai lama-lama dengar seperti sebuah pola, dan ada keheningan yang lama. Kapal bertingkat di hadapan sudah lama bergeser, berlayar menuju sisi lain. Shanghai di seberang sungai berkelap-kelip.
“Punya pacar di sana?”
Dia tidak kaget Junyi bertanya demikian; dia tidak pernah kaget akan apa pun yang ditanyakan pemuda itu, karena dia merasa dia harus selalu siap, dan selalu menjawab.
“Mm.”
Pemuda itu tidak sedang memandangnya.
“Sekarang masih?”
Junyi boleh menanyainya apa saja, dan dia tidak akan marah. Dia tidak akan pernah marah, untuk apa pun yang pemuda itu lakukan, atau apa pun yang pemuda itu inginkan. Tidak untuk semua yang telah ia dapatkan dan gagal ia tawarkan.
Dia tidak menjawab, tetapi jemarinya tanpa sadar melayang ke telinga—di ujung samping, di tulang yang keras, di mana anting itu tidak pernah dilepas.
Junyi tidak menekannya dan memilih untuk menyalakan mobil, memutar arah, dan tidak berhenti mengajaknya memutari kota hingga lewat tengah malam.
Tian Kai tidak pernah bertanya.

Pertama kali Junyi menciumnya adalah saat mereka berdua berjalan kaki pulang dari sebuah pesta di Hengshan, di mana itu pukul dua dan bar masih menggila dengan racauan dan alkohol dan nyanyian fals dan tawa. Program yang sukses berjalan selama penayangan musim perdana, semua orang disalami, dan Tian Kai menyusup keluar sebelum acara selesai. Koleganya semua mabuk dan dia masih ingin pulang tanpa disambar orang, jadi alih-alih sendiri, Junyi memegangi pundaknya tanpa henti.
Baunya seperti bir, berat dan kental, dan Tian Kai tidak tahu Junyi sedang mabuk atau tidak, atau kalau dia memang sengaja. Kesadarannya hilang-timbul dan dia tidak akan tahu kalau Junyi tidak menangkup lehernya, pipinya, dan aromanya tidak seperti alkohol di mulutnya. Lampu jalanan silau sekali di atas kepala, emas dan jingga, menelusup ke balik kelopak, dan Tian Kai tidak benar-benar awas sampai beberapa lama.
Dia tidak mendorong dan tidak berkata apa-apa sampai akhirnya dia berani membuka mata dan melihat wajah pemuda itu, kulitnya keemasan dan begitu dekat.
“Gege,” pertama yang keluar dari mulut, bibir merah dan napas tersendat, “kamu nggak bisa.”
Tidak bisa, dan mungkin itu satu-satunya hal yang Junyi tidak bisa. Bahwa dia terus memeganginya selama gadis itu tidak merasa ada di rumah.
“Kai,” suaranya terlalu lembut untuk orang mabuk, dan Tian Kai tidak suka, tidak bisa, tidak mau, “kamu yang nggak bisa terus begini.”
Dia bukan siapa-siapa untuk berkata begitu. Dia tidak pergi ke Seoul ketika baru lima belas. Dia tidak tergelincir hangeul dan dicibir karena dia bukan orang Korea. Dia tidak butuh pegangan selama berada di negeri orang, karena dia tidak ada di sana. Dia tidak menemukan siapa-siapa. Dia tidak kehilangan rumahnya.
Tian Kai bisa membantah, tapi dia tidak pernah bisa membantah Junyi.
Nggak bisa apanya, menjerit, menjerit, berteriak, kamu saja yang nggak tahu. Semuanya diam, tenang, tanpa suara. Junyi masih memegang pundaknya, menatap matanya.
“Kamu sakit,” bohong, Junyi tidak tahu, Junyi bilang begitu hanya karena Tian Kai tidak bisa membalas dengan pantas, “mau sampai kapan?”
Rasanya seperti dimarahi, padahal tidak. Ditampar, padahal tidak. Jemari Junyi ada pada pelipisnya, turun ke pipi, ke dagu.
“Kamu nggak bisa,” dan suara Junyi lelah, putus asa, seolah dialah yang sakit, bukan Tian Kai.
Aku bisa.
“…kamu nggak tahu, gege,”
Rasanya tidak sakit.
“Kamu nggak bisa bilang begitu.”
Itu juga terakhir kali Junyi menciumnya.

Ada kalanya saat Seunghyun mencintai pecinan.
Sewaktu mereka masih muda dan belia, perut selalu lapar dan kantong selalu terlalu kempis. Tian Kai akan mencari jalan pintas; menarik Seunghyun dan menyeretnya ke pecinan, ke kedai-kedai yang pernah ia kunjungi, ke para wanita paruh-baya yang gemuk dan murah hati. Dia akan menyapa, dengan bahasa mandarin, dan duduk dengan nyaman di meja untuk berdua. Entah bagaimana, secara ajaib, diskon selalu datang.
Berikut dengan tepukan di kepala, nasihat untuk rajin belajar dan banggakan orangtua, peribahasa Cina lama. Seunghyun tidak mengerti. Dia akan nyengir, mengangguk, lalu makan lagi.
Di Shanghai, semua pelosok adalah pecinan itu sendiri. Lampion yang berderet di jalan-jalan tua, aroma daging dan saus yang kental dari balik jendela, ratusan bangku mungil dijejerkan bersama meja. Taplaknya berminyak dan belum dirapikan, bekas pelanggan terdahulu. Junyi akan mengajaknya masuk ke dalam satu kedai yang ia tahu, membayarinya, kemudian semuanya berakhir pada alkohol.
Dan dia tidak pernah melarang Tian Kai minum—tidak pernah, tidak, kecuali saat Tian Kai mulai mabuk dan mengeluh ingin pulang. Saat itulah Junyi akan menariknya, melepas gelas dari genggamannya, dan bilang untuk berhenti, Kai, dan ayo kuantar ke mobil. Tapi Tian Kai tidak pernah menurut, tidak, karena Junyi akan selalu kuat untuk menggendongnya seberapa berat pun ia. Dan meskipun ia sebengal itu, Junyi tidak pernah marah.
Tidak marah, tidak marah saat Tian Kai tertawa di antara kilau di botol-botol kaca dan menyurukkan dahi di lengannya, mencengkram jemari Junyi, dan memanggil, Seunghyun.
Tidak marah, tidak pernah marah, tidak sekali pun.
Justru ialah yang datang dan mengetuk pintu Tian Kai, berdiri di pintu kamarnya ketika dia duduk di jendela membelakangi Junyi, dan bertanya, “kamu marah?”
Dan Tian Kai menjawab dengan, “nggak,” singkat, karena dia memang tidak marah.
Junyi tidak meminta maaf; entah karena Tian Kai tidak meminta, atau memang dia tidak menyesal. Tetapi memang sepatutnya demikian, karena Tian Kai tidak menangis karena Junyi, belum pernah, tidak akan pernah.
“Apa kamu mau melihatku sekarang?” tanya Junyi, keberadaannya bisa dia rasakan di dekatnya, melipat tangan dan bersandar. Jemari Tian Kai memainkan figurin di meja, sembari yang empunya menoleh dan menatap pemuda itu tepat di mata.
Tian Kai tidak akan pernah mengerti apa yang dia lihat—bahwa ada sesuatu yang tidak dimaksudkan, permintaan maaf yang menggenang entah dalam atau dangkal. Ketidaktahuan dan apa yang terbit di antaranya. Selamanya, meski Junyi bilang dia sudah mengerti atau akan mencoba mengerti, Tian Kai tidak akan peduli. Tidak untuk yang ini. Hal yang paling bisa dia pegang teguh, yang hanya dia yang tahu, yang hanya dia yang mengerti. Kapan Junyi datang? Apa yang dia lihat? Apa yang membuatnya lantas bisa bilang demikian?
Dia tidak akan marah karena apa pun. Segalanya hanya hal sepele. Soal perjalanan pulang, soal traktiran di kedai-kedai tua, soal menemaninya minum saat dia betul-betul butuh. Semuanya, kecuali satu.
“Tidak mau.”
Hanya satu itu.
Junyi tidak mengatakan apa-apa saat dia menutup pintu.