scarletise: (greek statue)
scarletise ([personal profile] scarletise) wrote in [community profile] sheepandwolf2015-07-28 10:16 pm
Entry tags:

watering flames

location: T.K.'s house.
timeline: February 2013.



JAE SEUNGHYUN

Bermula dari sebuah pesan.

Tangan Seunghyun membawa kantong plastik berisi minuman soda--pesanan. Coca Cola, katanya T.K. tadi, pas dia menawarkan makanan untuk dibawa. Padahal Coca-cola itu sebetulnya minuman, kan? Tapi karena dia sudah berniat membawakan makanan, jadinya ia tambahkan juga beberapa keripik ringan di dalam plastik.

Sudah biasa sebenarnya Seunghyun mampir ke flat T.K.--setidaknya, seminggu sekali; itu kalau misalnya Bibi Chun memasak makanan yang enak dan anak itu berteriak dengan heboh menyuruhnya datang ke rumah supaya makan. Atau, hal-hal sederhana saja, semacam nonton peer dan nyontek televisi. Eh maksudnya nyontek peer dan nonton televisi. Atau sejenisnya, deh. Biasanya jam waktu pulang sekolah atau pulang kelas training.

Hari ini hari yang tumben karena Seunghyun memutuskan ke sana setelah latihan karatenya selesai. Tumben, karena dojonya dekat ke rumah yang berarti jauh ke WBE apalagi rumah T.K.. Dalam keadaan biasa, Seunghyun juga ogah banget deh pergi jauh-jauh. Tapi ia memutuskan datang juga, karena percakapannya di telepon tadi masih belum bisa membuat dia puas. Puas dalam artian lega.

Hati-hati ia membuka pintu yang sudah Seunghyun tahu nggak terkunci. Nyengir. "Hai, K," sekalipun ia menyapa biasa, namun anak lelaki itu bisa juga merasakan suasananya masih agak tidak enak--entahlah, meskipun sudah jelas di flat itu hanya ada T.K. sendiri. "pizzanya udah pesan, belum? Nih, coca-colanya."

plastik berisi minuman itu ia sodorkan.




FONG TIAN KAI.

Sambungan teleponnya sudah diputuskan sejumlah menit yang lalu. Selot pengunci pintu flatnya sudah dibuka sejak lama, mengetahui yang masuk selanjutnya tak akan bawa celaka. Tapi Fong Tian Kai tetap saja duduk di sana, di atas sofa, dengan kaki dipeluk dan ponsel di genggaman. Dagunya membenam di antara kedua tempurung lutut. Tidak ada yang dinyalakan. Tidak televisi, tidak radio, maupun pemutar musik. Flatnya ditelan sunyi—tidak seperti saat dia meledakkan Bon Jovi dan merasa tolol karena yang terputar adalah lirik-lirik awal It’s My Life; maupun ketika dia jengah setengah mati dan memenuhi kamarnya dengan nada medieval a la Game of Thrones. Flatnya hening. Tapi telinganya, yang biasanya paling benci kesunyian, justru mengakomodir dengan sempurna.

Dia merasa goblok, masih. Lebih goblok daripada biasanya, malah. Mengutuki diri karena merasa sebal untuk hal yang sebetulnya meragukan. Marah-marah sendirian dan bertekad melakukan hal-hal tolol padahal sebetulnya tidak berguna juga. Emosinya mengambil alih logikanya begitu cepat sampai-sampai dia tidak sadar lagi. Mirip seperti waktu dia menjotos Chuan Li. Mirip saat dia meledak di depan Nam Woo. Tenggorokannya panas, seperti sensasi yang kau dapatkan saat hendak mengutuk namun vokalmu tercekat. Makian itu butuh keluar, entah bagaimana. Sumpah-serapah itu harus dinetralisir, cepat atau lambat.

Membutuhkan panggilan telepon dari Jae Seunghyun untuk membuat dia bungkam. Butuh beberapa pesan teks yang menegur untuk menyadarkannya akan kebodohan yang nyaris terjadi. Amarahnya masih menggelembung, memang, namun setidaknya bara api itu tak lagi berkobar liar. Titik-titik panasnya belum mati—dan masih bisa menyala lagi kalau dikipasi. Perasaan tidak tenang di dadanya itu tidak akan bisa diobati dengan apapun kecuali imaji riil Jeong Jin Yeol dan separah apa bebatan di kakinya. Ucapannya di twitter tidak memperbaiki banyak, namun setidaknya dia ditenangkan. Masalahnya, dia. Tidak. Bisa. Begitu. Saja. Tenang. Tidak ketika orang yang dia sayangi terluka cuma gara-gara cewek sialan yang sirik. Vonis sebulan itu hantaman bagi trainee yang mencintai tari. Betapa kurang ajarnya!

Dia nyaris mulai lagi. Nyaris mengutuk lagi. Nyaris menarik napas dalam hanya untuk bisu lagi. Saat itulah pintu flatnya dibuka—tanpa menoleh pun, dia sudah tahu yang masuk bukan orang jahat. Ketika dia melirik, dia berusaha menarik ujung bibirnya ke atas—nyengir, membalas Seunghyun. Tapi jadinya seaneh babi cemberut.

“Thanks. Tapi aku belum pesan—belum kepikiran mau makan apa,” dia tidak bergerak sama sekali kecuali untuk membuka kunci pintu. Orang terakhir yang diajaknya bicara, tetap saja, adalah Seunghyun sendiri. Kantung plastiknya diterima, lantas diletakkan di atas meja. T.K. mengedik ke spasi kosong di sebelahnya. Menyuruh duduk.

Dia tidak bisa ngomong lebih jauh. Karena masih ada sekat di tenggorokannya.




JAE SEUNGHYUN

Senyum di wajah Seunghyun memudar. Ia kira tadi keadaan sudah agak membaik--kalau misalnya sekarang bisa dibilang buruk. Orang lain mungkin tidak akan memikirkan sedang terjadi sesuatu yang aneh kalau melihat keadaan sekarang--tapi buat Seunghyun, itu aneh. Seperti dia yang terbiasa cengar-cengir dan berteriak-teriak, maka begitu pula T.K.. Hal-hal apa pun akan mereka bicarakan dengan ringan, tertawa ditambah dengan emotikon aneh. Itu zona nyaman Seunghyun, dan ia menyukai keadaan seperti itu.

Karena itu, entah mengapa, dia tidak suka kalau T.K. mendadak emosinya naik. Untuk alasan yang menurut dia juga masih belum jelas. Mendengarkan suara T.K. ngamuk di telepon membuat emosinya naik juga, karena menurutnya... T.K. nggak cocok... begitu? Atau mungkin, T.K. yang seperti itu... membuat Seunghyun tidak nyaman. Entahlah.

Seunghyun mengambil tempat di sebelah T.K. Menyandarkan tubuhnya ke sofa, memperhatikan bawaannya yang tidak diapa-apakan. "Licik, ya, padahal tadi kau sendiri yang bilang akan belikan pizza," Seunghyun terkekeh. Tangannya bergerak menoyor kepala T.K.. Dari samping. "Ngomong, hoi."




FONG TIAN KAI.

…licik.

Mungkin.

T.K. diam saja seiring Seunghyun menjatuhkan diri di atas sofa dan langsung berkomentar. Terkekeh, pula. Dia ingin membalas, tersenyum atau pasang wajah sneaky nan ngetroll atau dehaman sok macam apapun—namun otot wajahnya jadi kaku. Senyum yang tadi terpasang meluntur cepat. Dia tidak bisa memasang tampang senang, mau bagaimanapun sirkumstansinya. Sudut kurvanya terasa berat. Tidak bisa ditarik maupun dipaksa naik. Kantung plastik itu cuma dipandangi, alih-alih diserbu dan ludes seketika. Sebetulnya dia tidak nafsu makan. Ngomong soal pizzanya cuma karena dia hendak menggigit dengan beringas, melampiaskan amarah.

Kepalanya ditoyor, seperti biasa. She growls. Dan dia tidak bergerak untuk membalas Seunghyun, entah balas toyor, menarik anakan rambutnya, atau mencubit. Hanya mendelik sebal. Energinya tidak jua muncul untuk ber-`YA!` meskipun fisiknya tidak jalan. Fong Tian Kai seperti kolam renang yang terkuras. Kosong. Sisa-sisa airnya hanya akan mengering dilalap surya dalam hitungan detik. Dia merasa layak untuk cemberut pada semua orang dan mengaitkan alis. Dia merasa dia berhak untuk menolak tersenyum atau bicara. Hanya karena dia tidak mau.

Tapi dia diminta begini—inginnya hanya buang muka, lipat tangan, dan memejamkan mata. Belagak tuli. Tapi Seunghyun sudah bicara. Seunghyun sudah marah. Dan dia tidak bisa seenaknya mendiamkan perkara ini pula, ketika dia sebetulnya masih marah. Perintahnya nggak jelas. Hanya disuruh ngomong.

“Ngomong apa?” tarik alis hingga membentuk curaman di dahi, bersidekap di atas sofa, “Kamu kayaknya sudah tahu semuanya.”

…soalnya, cuma Seunghyun yang dengar.




JAE SEUNGHYUN

Seunghyun bermaksud bermain-main lagi, mendorong kepala anak itu untuk kedua kalinya--syukur-syukur kalau misalnya T.K. terguling, lalu ujungnya lempar-lemparan bantal atau lomba makan atau sejenisnya. Namun tidak ada reaksi. Bah. Seunghyun tidak suka.

Tadi T.K. marah-marah soal Jjin yang (katanya) kakinya luka. Yang (sepertinya) terjadi karena ada anak yang iri pada Jjin. Lalu T.K. jadi marah sekali. Oke, Seunghyun mengerti kalau anak itu marah karena temannya dicelakakan. Namun kalau jadi marah tanpa tahu alasan jelas, Seunghyun juga tidak suka. Seakan-akan main hakim sendiri.

Rupanya anak itu masih kesal juga.

"Mukamu jelek," komentar Seunghyun singkat. Anak lelaki itu mengangkat kaki dan bersila di atas sofa. Memutar tubuhnya ke arah si gadis Fong yang masih berwajah ditekuk serta bersedekap. Tidak peduli dengan tatapan T.K. yang sama sekali tidak terarah padanya. "Jadi kamu masih kesal? Sama anak yang itu? Sampai sana pun palingan kamu juga bingung mau ngapain. Atau kalau kau memilih ngamuk juga mungkin malah kamu yang disalahkan."

Seunghyun tidak suka.

Seunghyun menarik napas. "Daripada ngamuk nggak jelas keluar, mending tonjok aku saja lantaran menahanmu pergi, atau bagaimana. Tapi jangan marah-marah melulu."

Mending Seunghyun mendengarkan anak itu berceloteh selama satu jam soal Daenerys atau apa. Daripada melihat T.K. jadi menekuk muka dan cemberut begitu. Entah sedih, entah marah... apa pun bagi Seunghyun sama saja. Pokoknya, bagaimana caranya supaya anak di hadapannya ini bisa lega.




FONG TIAN KAI.



Jelek. Memang. T.K. tetap mencebik, tetap melipat wajahnya sedemikian rupa—tidak seperti anak kecil yang ngambek, pun bukannya sekalem kata-katanya. Alisnya menukik turun. Senyumnya sudah sepenuhnya menggelontor, dan mungkin tidak akan muncul lagi untuk beberapa lama. Napasnya dihela, mirip dengusan. Bola matanya kemudian diputar. Lututnya masih dipeluk, dahinya membenam.

Seunghyun seharusnya tidak perlu memverifikasi. Dia sudah tahu, kan. Dia yang paling tahu, malahan. T.K. tidak suka harus mendengar pernyataan itu dari mulutnya. Diharuskan membiasakan diri mendengar nada suaranya yang datar, tenang, banting setir dari teriakan dan pekikan nan bising yang biasa dilepas di Game Center. Tidak enak, memang, mendengar suara yang begitu kau kenal bisa berubah sedrastis ini. Sebeda ini. T.K. bukannya tidak adaptif. Tapi untuk Seunghyun, yang rasa-rasanya sudah dikenalnya luar-dalam… nggak gampang. Dia pikir dia kenal anak ini. Dia pikir dia sudah tahu apa yang dilakukan saat dia merasa begini, saat dia merasa begitu.

Tapi tidak.

Karena dia sempat merasa tidak kenal dengan suara yang bicara dengannya melalui sambungan telepon. Tidak tahu siapa yang mengetik balasan mensi di Twitter. Tapi dia tidak merasakan perubahan aura, sebagaimanapun tidak enaknya. Seunghyun tetaplah Seunghyun. Yang membuka pintu apartemennya bukan orang asing. Yang duduk di atas sofanya bukan orang tidak dikenal. Yang memandangnya itu mengenalinya—demikian seharusnya dia.

T.K. hanya terdiam. Karena dia diam-diam mengiyakan perkataan anak lelaki itu. mengamuk tidak begitu berguna—cuma pelampiasan kesal beberapa menit, kemudian usai. Lalu dia bakal ditahan karena berkelahi di lingkungan yang bukan sekolahnya. Betul—mau pasang muka di mana? Harus bilang apa kepada JJ setelahnya? Dia bisa merasakan ada yang menggelegak lagi di bawah lubuknya… hendak membalas, atau apa. Tapi suara Seunghyun menekannya kembali ke bawah, memaksanya berpikir jernih lagi… sadar, sana. Siapa yang rugi kalau kamu marah?

(…kalau kamu nonjok?)

Yang dia paksa adalah dirinya kini, menatap Seunghyun. “…Tapi aku boleh marah, oke?” mengaitkan alis, merapatkan bibir. “Kamu boleh nggak ngijinin aku pergi, aku—ngerti, tapi… kamu nggak boleh protes aku marah-marah begini di depan kamu,” ambil napas, tidak melepas pandangannya, “kamu tahu aku sebal. Dan kamu tahu kenapa. Jadi… aku nggak bakal keluar. Tapi jangan risih, aku… marahnya di depan kamu doang. Kayak begini.”

O, goddamned feels.




JAE SEUNGHYUN


Kalau ditanya, apa yang paling membuat Seunghyun tidak suka adalah kalau ia melihat teman-temannya tidak dalam keadaan... yang baik. Apa pun itu. Entah sakit, sedang susah, kekurangan duit (meskipun yang ini pasti dia susah membantu, karena dia sendiri juga nggak punya duit banyak), sedih, ataupun marah-marah.

Kadang sifatnya ini suka jadi terkesan suka sok ikut campur urusan orang. Namun ini hanyalah satu bentuk kepeduliannya. Apalagi kalau menyangkut teman dekatnya. Makanya itu juga yang tidak bisa menahannya untuk ikut campur ketika melihat Fong Tian Kai muncul di twitter. Kalau T.K. bersikap sebagaimana biasanya, tentu Seunghyun juga tidak akan repot-repot mengirim mention, menelepon, bahkan menyusul.

Semua semata-mata hanya karena ia merasa T.K. tidak seperti biasanya, dan baginya, itu tidak menyenangkan. Melihat anak perempuan itu ngamuk untuk hal yang tidak akan membuatnya biasa lagi setelah lima menit, namun sesuatu yang sepertinya akan panjang--Ah, entahlah.

(Apa?)

"Keluar dari sini berhenti marahnya, kan?" Seunghyun nyengir, tangannya kembali terangkat, mendorong lembut kening T.K.. dia lebih lega dengan gestur seperti itu. "Baiklah, marah. Ayo marah yang banyaaak. Kayak kalau ngomongin Daenerys. JJ nggak akan apa-apa kok kalau kamu marah-marah di sini. Dia bakal tetap sembuh dalam waktu satu bulan."

Diam sebentar. Menelan ludah.

"Tapi kalau kamu ngamuk keluar, dan entah apa masalah yang terjadi padamu," Seunghyun menambahkan, "aku nggak suka. Jadi kamu diam saja di sini."




FONG TIAN KAI.

Dia merasa begitu, begitu egois. Meminta Seunghyun jangan marah mendengar ocehannya. Meminta jangan tutup telinga dengar makiannya. Lalu memaksa diri didengarkan, ngotot mau marah meski yang mendengarkan hanya satu orang—seorang itu pun bukan orang yang bersalah. Membiarkan dirinya memuaskan batin, kemudian membuat orang lain menjadi wadah tampungannya. Dia sudah egois saat dia tidak marah, apalagi ketika dia jadi tidak stabil begini… dan harus Seunghyun yang menekannya, agar dia tidak lepas kendali lagi.

Lalu dia membayangkan apabila anak itu tidak meneleponnya. Dia mungkin akan berada di kereta sekarang, menuju JJ. Atau ke manapun yang bisa membawanya menuju that bitch… Soon Mi? Mengingat namanya saja sudah membuat dia jengah, tolonglah. Dia ingat betul abu-abu dalam kepalanya, ketidaktahuan yang dibayangi bermacam-macam warna merah. Cuma rasa marah, kesal, jengkel, diikuti visualisasi maya sang gadis dengan kaki yang dibebat tebal dan kaku. Dia semakin sebal. Semakin tidak suka. Semakin naik emosinya.

Begitu keningnya disentuh, dia mengernyit—bukan raut bingung maupun tidak suka. Hanya mengerutkan dahi dan merasakan sentuhan tak wajar, karena yang biasa diterimanya adalah toyoran… seperti tadi. Dia bisa merasakan adanya cengiran pada ucapan Seunghyun. Memintanya untuk marah. Mempersilahkannya mencak-mencak sesukanya. Membiarkannya bicara, selama apapun, seegois apapun.

Hangat di keningnya masih ada. Dan ia—

"Tapi kalau kamu ngamuk keluar, dan entah apa masalah yang terjadi padamu, aku nggak suka. Jadi kamu diam saja di sini."

—menggigit bibir.

…kenapa harus baik begitu, sih.

Dia ini tadi menyebalkan. Merepotkan. Tukang geret orang. Tukang bikin marah orang. Bikin Seunghyun harus ribet-ribet kemari dan membeli coca cola jumbo segala… dia tidak kunjung meraih telepon untuk pesan pizza, dia minta yang aneh-aneh dan tidak bersikap seperti biasanya hanya untuk sebuah insiden kecil nan singkat... lalu kenapa dia harus bilang begitu. Kenapa dia malah mempersilahkan. Kenapa dia tidak menoyornya, tidak dorong pundaknya, tidak—kenapa malah…

Dan dia malah jadi tidak bisa marah.

Lalu dia buang muka, tidak mampu bicara apa-apa. Malah menjeda, lama.

Tenggorokannya sesak.




JAE SEUNGHYUN

Kamu tahu apa yang membuat Seunghyun kebingungan?

Orang pendiam.

Yak. Mungkin itu sebabnya Seunghyun lebih mudah berteman dengan orang yang easy going. Karena dia sendiri banyak omong. Kalau orang lain diam, sebisa mungkin ia akan mengisi kekosongan dengan berbagai pembicaraan--karena ia merasa tidak nyaman dengan kekosongan dan kesepian. Meskipun ia juga tidak suka dengan orang yang terlalu berisik dan mengganggunya, namun ia sebetulnya lebih suka orang yang aktif bicara daripada yang pasif. Karena umpan obrolannya bisa dibalas dan mereka bisa saling bercerita. Seunghyun senang mengenal banyak orang.

"Ne?"

Seunghyun bertanya seakan-akan T.K. baru saja mengucapkan sesuatu, tepatnya dia berharap T.K. mengatakan sesuatu. Dia kira T.K. bakal meletus atau apa--baginya lebih baik meletus sekalian dalam satu sesi dan di dalam, sehingga kalau keluar, T.K. bisa kembali lagi seperti biasa. Serius. Karena T.K. yang dia kenal tidak begini. Aduh, malah sekarang dia berpikir T.K. yang ngamuk tadi lebih T.K. daripada T.K. yang mendadak diam. Ah, tapi dia tadi sudah suruh T.K. ngamuk, kan? Mengapa sekarang diam saja?

(hei, Seunghyun, kamu bukan manusia serba bisa yang dapat membuat semua berjalan sesuai keinginanmu, lho.)

"K?"

Melihat T.K. malah diam dan menundukkan kepala; raut wajahnya yang biasanya ramai dan heboh dan nggak berhenti berkomentar tentang apa pun di sekitarnya menghilang, malahan digantikan muka yang sama sekali tidak menatapnya, Seunghyun makin bingung. Ia menelengkan kepalanya, menunduk; berusaha mencari fokus mata T.K. kembali. Aih, tapi menundukkan kepalanya lagi sudah sulit; bagaimanapun T.K. tetap lebih kecil darinya, dan jarak antar kepala mereka rupanya cukup jauh.

"K?" tanyanya hati-hati, mengulang. "Aku melakukan sesuatu yang salah?" Tangannya terulur lagi, menepuk perlahan pipi kanan gadis itu--tadinya mau meraih dagunya, namun ia merasa risih sendiri. Panik karena T.K. masih diam saja, masih tak berkata apa-apa, ia bangkit dan mencari gelas yang biasanya ada di lemari pojok--flat itu kecil, jadi Seunghyun bisa dengan mudah menemukannya. Lagipula, dia sudah sering kemari, kan. Botol coca-colanya masih tidak tersentuh; anak lelaki itu membukanya, menuangkannya untuk dua gelas dan meletakkannya di meja dekat mereka. Habis dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan.

Karena sungguh, dia tidak suka. Jadi dia harus bagaimana? Dia datang ke sini untuk membuat T.K. kembali seperti biasa, namun mengapa yang dia lakukan malahan membuat gadis itu makin diam? Makanya, apakah ada yang salah? Apa seharusnya dia biarkan saja tadi T.K. melakukan semua hal sesuai kemauannya?

"......Aku harus apa?" pertanyaan itu meluncur tak tertahankan.




FONG TIAN KAI.


Tenggorokannya sakit. Seperti ada gelembung udara yang membesar tanpa bisa meletup di dalamnya… nyeri, bagaikan bersekat. Ada yang tertahan. Ada yang menyangkut sebelum sampai ke ujung lidah. Dia tidak tahu apa, tapi dia tidak bisa bicara hanya karena itu saja. Dan dia tidak mau bicara, dia tidak mau lagi marah. Dia tidak bisa. Karena sebagaimanapun dia mencoba seperti sebelum Seunghyun kemari, seperti waktu dia berusaha menahan amarahnya sendiri, dia selalu gagal. Ketika dia justru dipersilahkan seenaknya meledak, dia membeku. Menunduk. Alisnya mempaut. Bibirnya menggulung dalam pergerakan yang dia tidak tahu dia bisa lakukan—mirip bibir bawah anak kecil yang bergetar saking gugupnya (atau saking sedihnya?).

"Ne?"

`Apa, kamu?` dia hendak menyahut, kemudian menatapnya mendelik dengan sebelah tangan siap mencubit. Atau cuma memandang malas sebelum pura-pura lupa semuanya dan meraih konsol game. Tapi tidak bisa. Dan tidak mau.

Tidak mau.

"K?"

Dua kali, tersuarakan tanpa disahuti. Kali ini yang biasa bakal diteriakkannya adalah `Apa, sih!` jengah, diikuti alis menanjak dan tangan yang meraih cola. Mendengar letupan memuaskan dan langsung lari ke dapur untuk menyambar gelas paling besar. Tapi dia menunduk, masih. Karena kini bukan hanya tenggorokannya yang sesak, namun juga dadanya. Bukan hanya nyeri. Sakit. Seperti ada yang lengser perlahan dan mengkikis setiap milisekonnya. Seperti ada yang berpegang dan tidak mau melepas, menarik-narik. Kulit sofa mendadak jadi sangat menarik dan juntaian bulu di ujung bantal sofa menjadi indah bukan main.

(Seperti ada yang melompat, lalu mendentum ke langit-langitnya.)

Seiringan dengan pertanyaan berikutnya dan sentuhan ke kulit, she flinched.

Tidak mau. Stop!

Dia tidak sadar apa yang dia lakukan, atau ke mana kepalanya menoleh. Dia hanya tahu dia berjengit menghindar. Dia hanya tahu gempuran di jantung yang malah semakin liar. Dia tidak mau. Tidak mau diberi yang seperti itu. Tidak mau mendengar suaranya yang demikian, sebagaimanapun dia dinyamankan dengannya. Kenapa dia harus tanya soal itu? Kenapa dia jadi kayak begitu… padahal sebelumnya tidak? Dia tidak mau jawab. Dia seharusnya marah. Marah.

(…atau membetulkan posisi duduk, setidaknya, agar saat Seunghyun kembali dari rehat-entah-ngapain, dia tidak usah melihat matanya yang berkaca-kaca.)

…Tian Kai benci pertanyaan yang begitu.

Kamu nggak tahu kamu harus apa?

“Kamu nggak—nggak…” suaranya melirih, terputus—and she croaks. Shit. Gumpalan itu semakin melekat dan ogah meluncur turun dari rongga tenggorokan, “…kenapa sih, harus begitu? Ketika aku seharusnya… marah—k-kamu… aku bikin kamu ke sini segala, marah-marah nggak jelas… aku benci harus dengar suara kamu yang begitu di telepon, S-Seunghyun…” menjeda lama, mengambil waktu untuk menunduk dan mengulur tangan untuk mengusap pelupuknya, dia mengisak. Samar sekali. Satu kali.

“Terus kamu kenapa masih bisa—h-hh,” dia tidak pernah, pernah bisa menurutkan ini dengan baik, kan? “aku selalu begini, s-selalu begini… tengah malam bikin kamu datang, sampai n-nggak pulang-pulang… lalu kamu masih begini saja,” ada yang pecah di altonya, dan dia masih ogah mendongak.

“K-kamu nggak pernah salah,” karena selalu dia yang salah. Selalu dia yang layak disalahkan. Menyebalkan. Merepotkan. Tukang geret orang. Tukang bikin marah orang. “Jadi… j-jangan…”

…terlalu baik padaku.





JAE SEUNGHYUN

Pernah ia menghadapi hal yang mirip dengan ini.

Berbeda.... tapi mirip. Itu dulu, beberapa tahun yang lalu. Ketika usianya baru saja menginjak dua belas tahun. Keluarga Seunghyun memang keluarga biasa saja; dengan kedua orang tua yang sering bertengkar karena kesibukan. Lalu pertikaian itu makin meninggi. Dan ahirnya harus berpisah. Perdebatan alot, Seunghyun tidak mengerti karena waktu itu dia masih kecil. Yang ia ingat, setelah keributan itu papanya akan mengajaknya main catch ball di pinggir sungai dekat rumah. Ibunya mengajak Soori berbelanja.

Lalu mereka harus berpisah. Rumah yang dulu tidak mereka tempati lagi. Ketika itu, berdiri di depan rumah mereka yang lama yang sudah kosong--kedua orang tuanya berjabat tangan. Tangan Seunghyun digandeng papanya, sementara Soori kecil memegang ujung baju mamanya. Soori yang diam, cemberut menatapnya dengan pandangan meragu. Seunghyun nggak mengerti waktu itu. Dia pikir Soori kesal biasa saja. Jadi ia lambaikan tangannya. Berkata 'nanti kita ketemu lagi'. Soori langsung berkata "OPPA JAHAT" dan menangis. Melambaikan tangan adalah sesuatu yang salah, ternyata.

Dia kenal suara itu. Suara Tian Kai yang mendadak mengecil dan tersedak, dia tahu. Suaranya yang tersendat dan tersela di tengahnya, sementara kalimatnya jadi terbata-bata, dia tahu. Seakan disadarkan oleh alarm kebakaran.... dia panik. Benci. Jadi dia salah? Terus.... gimana? Tadi dia tanya. Tapi jawabannya belum ada.....

"Aduh, maaf--ya ampun--maaf," Seunghyun yang panik langsung meraih T.K. yang ada di hadapannya; oi. Begitu sering ia mendorong-dorong dan menyeret T.K. begitu saja. Makan ramen, main time crisis. Mentertawai anak itu kalau kakinya lagi-lagi keserimpet ketika main dance dance revolution, dan bergantian ketika T.K. meledek pelafalan bahasa Inggrisnya. Tapi sekarang anak itu terlihat begitu kecil di depannya, dengan suara yang tersendat-sendat begitu. Aduh. Aduh. Dia tidak tahu harus berbuat apa lagi selain memeluk--ya habis bagaimana?

"Kamu benci? Aduh--maaf... jangan nangis.... ya ampun, K. Sori. Sori. Beneran sori. Kamu benci aku? Maaf...." Makin serba salah dia. Karena--yah, apa yang harus dia lakukan sekarang? Segala usahanya malah berbanding terbalik. Ah, dia begitu sering berpikir, melakukan apa pun yang menurutnya orang akan senang. Tapi siapa sangka sekarang hasilnya malah berbalik? Dan yang ada Seunghyun makin bingung. T.K. bilang dia benci? Tapi dia tidak salah? Yang mana yang benar?

Seunghyun bukan orang yang ahli dalam menjabarkan kalimat-kalimat. Apalagi kalimat yang terbalik-balik begitu. Biasanya apa pun yang dikatakan T.K. akan langsung dia mengerti. Namun yang ini... dia tidak tahu. Harus menanggapi dengan apa, harus bagaimana, dia tidak tahu. Namun ada satu yang dia ketahui pasti, tapi dia tidak tahu caranya: dia harus membuat T.K. jangan sampai menangis, namun ia tidak tahu caranya bagaimana. Mau hanya terdengar sekali pun tadi di telinganya, suara Tian Kai yang tersendat-sendat sudah cukup membuatnya panik. Cukup. Karena dia sudah terbiasa mendengar suaranya yang heboh, mendengarnya begini telinganya terasa seperti diberi alarm.

"Sssh..... sudah, sudah.... bicaranya jangan begitu.... iya aku nggak salah, tapi kamu jangan nangis kalau memang aku tidak salah apa-apa.... " Seunghyun berkata panik; suaranya jadi berbisik, karena dia takut apa pun yang dikatakannya malah dapat membuat T.K. makin..... aneh? Entah. Bahu Tian Kai mungil sekali dibandingkan dengannya. Seunghyun melirik kanan-kiri, tindakan refleks mencari pertolongan, ayolah--apa saja yang bisa jadi penarik perhatiannya yang lain, tapi nggak bisa; suara anak perempuan itu sudah cukup menarik perhatiannya, jadi yang bisa ia lakukan... yah...

Memeluk. Dengan kata-kata yang ia kira bisa menenangkan. Namun ia sendiri tidak tahu. Karena sedari tadi, usaha Seunghyun gagal semua. Dia harus apa? Seunghyun tidak tahu.... sumpah, dia tidak tahu.




FONG TIAN KAI.

Kini, dadanya sakit sekali. Bagaimana cara dia bilang? Bagaimana cara dia harus berkata kalau menatap Seunghyun saja dia tidak bisa? Ucapannya tersendat-sendat dan terbalik-balik, kacau-balau dalam kosakata. Lidahnya tidak kooperatif. Nyerinya memanjat naik lagi menuju tenggorokan. Blur, visualisasinya itu. Pelupuknya panas. Dan dia butuh, butuh melanjutkan, entah bagaimana caranya. Menyampaikan maksudnya meskipun dengan cara paling bego sekalipun. Tapi dia tidak mampu menyusun kalimatnya, tidak mampu buka suara lagi—tidak sanggup. Jangan terlalu baik padaku. Jangan terlalu baik padaku.

Jangan terlalu baik padaku.

Jangan—


Lalu dia ditarik ke dalam sebuah pelukan. Begitu cepatnya sampai dia tidak memiliki waktu untuk menahan air matanya di dalam kelopak. Merasakan lengan yang begitu dikenalnya melingkari tubuhnya, merengkuhnya, mendengarkan repetan permintaan maaf yang terdengar panik namun konyol. Merasakan sekian lama menghabiskan waktu dengan pemuda ini langsung buyar karena ada kontak yang baru kali ini dilakukan. Dia biasanya akan langsung meronta atau bergerak menjauh, seperti apa yang dilakukannya terhadap sentuhan Seunghyun yang sudah-sudah. Tubuhnya tidak menerima. Tangannya kaku dan dingin. Kakinya tidak bisa dirasakan. Dia dipeluk, erat, untuk pertama kalinya.

Ada banyak hal yang baru diketahuinya tentang Seunghyun hari ini. Bahwa dia memiliki suara kalem yang mampu meredakan amarahnya meski hanya tersambung landline. Bahwa dia orang bego yang rela naik bus, balik arah, menuju Jongno, hanya untuk didiamkan. Bahwa dia si tolol yang kalang kabut minta maaf ketika dia tidak salah. Bahwa auranya selalu membawa tenang dan lega dan sejubel rasa yang tidak bisa dinamainya. Bahwa dia beraroma seperti—seperti pengharum pakaian yang lembut, namun disentuhi sedikit bau anak laki-laki. Bau matahari. Dan keringat.

Bahwa Tian Kai langsung merasa begitu kecil apabila didekap seperti ini. Bahwa Tian Kai merasa dia boleh melakukan apa saja dan tidak akan dicela, sekekanakan apapun tindakannya.

(Bahwa Seunghyun adalah orang pertama yang melihatnya menangis tanpa pertahanan. Dan dia membiarkannya.)

“S-Seunghyun—goblok, goblok, goblok!” dia memukul membabi buta, tanpa sasaran, pun tanpa tenaga. Mengenai bagian manapun yang bisa dikenainya. Dia mengisak; air matanya lancar mengalir, diselingi naik-turunnya pundak dan sesenggukan yang semakin meliar. “Memangnya k-kenapa kalau aku nangis! A-aku boleh—hiks… kamu kenapa kayak begitu, sih, lagian! M-minta maaf p-padahal enggak s-salah! R-repot-repot datang… coba hitung, sana, berapa k-kali kamu mampir cuma karena a-aku tolol di linimasa…”

Dia merepotkan. Dia membuat terlalu banyak masalah, dan Seunghyun selalu menjadi penanggungnya. Penstabilnya. Penetralisirnya. Badan Tian Kai melemas di dalam pelukan pemuda itu. Berhenti melawan. Kepalanya menggolek, bersandar di ceruk leher Seunghyun. Pundaknya bergetar tidak berhenti, begitu pula tangisnya. Sebal. Kesal. Bukan pada Seunghyun, tapi pada dirinya sendiri.

“S-soalnya aku—hiks—selalu… selalu… u-uh,” sesenggukan lagi. Susah sekali bicara dengan kondisi seperti ini. Kedua tangannya bergerak melingkari leher pemuda itu dan dia menenggelamkan diri di jaketnya, menumpahkan lebih banyak air mata di sana. Memeluknya, erat-erat. Berpegangan padanya.

“L-larinya ke kamu terus. Ka-kalau ada apa-apa, s-selalu… lalu kamu repot, dan a-aku ditolong terus, dan…” dia harus menjeda. Lama. Kata yang telah disiapkannya kembali menggantung begitu saja, nyaris ditelan. Dia menjuranginya, membiarkan waktu berdiri di antara. Karena nyatanya, mungkin dia tidak akan bisa mengucapkannya.

Maaf.

Dia pun tidak sadar sejak kapan dia jadi sebegini bergantungnya pada pemuda itu.

(Dan terima kasih.)





JAE SEUNGHYUN

Seunghyun nggak tahu cara yang lebih baik dari itu--ia juga bahkan tak tahu apakah itu cara yang paling baik, atau memang yang benar. Karena yah... dia bodoh dalam hal beginian. Memeluk tubuh Tian Kai yang kecil, ia merasakan anak perempuan itu memukul-mukul punggungnya--namun tak bertenaga, diikuti racauan yang berkata bahwa dia goblok dan sebagainya.

Tahu tidak? Seunghyun merasa lega. Mendengar T.K. yang mengomel seperti itu, meskipun diikuti dengan suara serak dan bagian bahu bajunya yang terasa basah, ia merasa lega. Entah perasaan lega itu muncul dari mana. Padahal T.K. menangis, bukan? Padahal baru saja tadi ia panik karena T.K. terlihat seperti mau menangis--dan ia tidak mau kalau T.K. menangis.... itulah pikirannya beberapa detik yang lalu.

Namun mendengar T.K. menangis, membuatnya merasa lega.

Memangnya T.K. ngapain? Nggak ada yang salah, kok. Bukankah T.K. tidak pernah meminta Seunghyun datang? Kalau misalnya T.K. menyuruhnya datang, dan Seunghyun merasa keberatan, baru mungkin itu masalah. Tapi.... karena Seunghyun selalu "repot-repot"? Seunghyun malah bingung. Masalahnya dia tidak pernah merasa repot. Justru dia baru direpotkan kalau misalnya dia kelewatan sesuatu soal gadis itu. Kalau misalnya terjadi sesuatu yang aneh, makanya, dia akan senantiasa mencari T.K. karena takut kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

(yang semacam apa, dan mengapa, mana Seunghyun mengerti.)

Ia menarik napas panjang. Pelukannya tidak ia lepaskan--dan anak lelaki itu tertawa, kecil sekali, lebih merupakan tawa yang segera tersembunyi dalam senyuman. Meskipun gestur ini bukan gestur yang bakal dia lakukan sebelum-sebelum ini, namun ia merasa T.K. yang ada di dalam dekapannya ini ia kenal. Kepala gadis itu terasa begitu dekat, dan ia menyembunyikan tawanya dengan mendekatkan wajahnya ke sisi kanannya, pada rambut pendek gadis itu yang ternyata terasa sangat halus menyentuh wajahnya, ada aroma buah yang menyenangkan--hei, dia suka menciumnya. Rasanya lucu. Nggak cocok dengan T.K. yang sering dia dorong-dorong dengan kasar.

"Iya.... terus kenapa?" dia masih tertawa, dan tanpa sadar ia merapatkan lengannya, membiarkan tubuh anak perempuan itu berguncang-guncang, membiarkan kepalanya bersandar ke bahunya. "Nggak ada yang memaksa aku buat datang, kok.... terus kenapa masalahnya jadi yang ini?" ia terkekeh lagi--nggak tahu kenapa. Dia malah jadi merasa bego--tadi panik, terus tertawa...

"K? .....kamu masih kesal?" dia diam, sebentar, sekarang merasa tolol dengan sunyi yang ada, namun tangannya masih tidak ia lepaskan. Matanya kembali mencari-cari. "....mau coca-cola?"




FONG TIAN KAI.


Dia hanya bisa terdiam, lama. Membiarkan tubuhnya lunglai tanpa tenaga, dikontrol isak tangis semata. Air matanya belum berhenti mengalir, dan bibir itu membentuk kurva miring yang curam. Dia tak akan peduli sekalipun ada bola besi mengayun menghantam apartemennya kini—dia hanya mau menangis. Lalu apa? Peduli siapa dia menangis atau enggak? Toh air matanya sudah mengalir keluar. Dia sudah keburu marah-marah, keburu pukul-pukul, keburu menggobloki diri sendiri dengan isakan dan repetan yang amburadul. Dan rasa-rasanya sudah terlalu telat untuk peduli lagi.

…karena dia merasa begitu tolol, bahkan setelah Seunghyun tertawa seolah tidak ada apa-apa. Merasa begitu helpless karena harus disambangi, dicek, dibantu setiap saat. Dia tidak mau begitu bergantung. Dia pula tidak mau begitu manja. Meskipun bukan dia yang memutuskan dia manja atau tidak di mata orang lain, namun tetap saja—manja. Secara subjektif suara itu menyeruak dari dalam dirinya, menjerit kencang-kencang hingga gendangnya pecah. Meledek. Merutuk. Dan melihat bahwa dia tidak banyak melakukan apa-apa untuk Seunghyun justru membuatnya jadi… sebal sendiri.

Karena dia jadi merasa tidak berguna. Dan Seunghyun malah tidak menganggap itu sebagai masalah—oh, dia gemas! Dia betul-betul keberatan soal ini, tentu, namun Seunghyun yang begitu santai (bahkan terkekeh) itu… membuatnya jadi merasa makin goblok. Kembali lagi ke square one; lalu kenapa? Kenapa dia begitu… oke-oke saja perihal semuanya? Kenapa enggak merasa risih—seharusnya iya, iya! Kenapa malah begitu! Senang-senang begitu, senyum begitu… ngomong soal kedatangannya yang sukarela dengan begitu ringan…

Sang gadis cemberut. Sebelah tangannya dilepaskan, lantas menonjok lengan Seunghyun. Berhenti ketawa! Dia mau berteriak begitu, tapi tidak bisa. Ujungnya dia malah sesenggukan lagi, kemudian meredam isakannya dengan menahan suara di tenggorokannya. Semakin erat dia memeluk, ujungnya. Sebal. Dikemanakan ucapan susah payahnya itu, hah! Dilambaikan begitu saja dengan gampang? Dikiranya enak, apa, harus ngomong di sela tangis begitu—dan itu masih harus nahan malu karena kayak anak kecil nggak bisa ngomong dengan benar!

…tapi dia tidak bisa marah lagi.

“Y-yakali—pikir, coba, aku bisa m-minum soda apa enggak dengan keadaan begini!” grunts. Yang ada nanti dia semakin tersedak. Terisak sekali lagi, dia menambahkan,

“Kamu goblok, sih—m-makanya, sebal.”

…nyatanya, dia memang enggak kenal orang lain yang lebih goblok.




JAE SEUNGHYUN

....PPPPPPPPPPPPFFFFFFFFFFFT.

Aduduh. Sudah kadung tertawa, namun Seunghyun tahu anak perempuan itu marah--tapi habis gimana, kata-kata T.K. tadi malah kepingin membuatnya ngakak. Tapi bagaimana, dong. Jadilah ia menahan tawanya dengan menenggelamkan wajahnya ke rambut gadis itu--dalam usahanya menahan tawa yang jadi tersendat-sendat. Nggak ngerti juga mengapa jadi ingin tertawa lagi, ngomong-ngomong. Merasakan pukulan di tangannya, Seunghyun malah nyengir--nggak kelihatan, pasti, tapi nggak tahu deh anak perempuan itu tahu atau tidak. "Siapa yang tadi minta coca-cola ukuran besar. Heh? Siapa coba yang goblok duluan. Jadi sekarang aku minta maaf karena ngetawain..."

ngomong-ngomong...

punggungnya....

pegal.

Uhuk.

Jadi dia mundur--dengan menarik Tian Kai dalam proses--ke pinggir sofa, setidaknya supaya tubuhnya sendiri ada sandaran. "Ya sudah. Nangislah sampai selesai....." ia bergumam pelan, tangannya menepuk-nepuk kepala gadis itu dengan agak canggung. "berarti sudah nggak kesal? Eh, tunggu.... tadi kamu bilang aku ini menyebalkan, berarti masih kesal.... tapi hmmm.... kesalnya bukan soal yang sebelumnya juga? Euh..."

Yah, masih, dia nggak tahu apa yang harus dilakukan, sebenarnya--karena sudah tanggung, ya sudah, biarkan saja gadis itu memukulinya sampai puas. Toh tadi dia juga yang minta, dan memang, Seunghyun lebih lega dengan begitu.




FONG TIAN KAI.


Sudah, ya. Tidak perlu dijelaskan lagi.

Sniffs. Lalu cemberut besar-besaran dengan pipi basah. Matanya masih berkaca-kaca dan dia jengah dibuatnya. Air mata bego enggak mau sebegitu gampangnya berhenti (mungkin karena nyatanya dia memang masih belum puas, makanya tidak bisa). Keketusannya dalam menjawab hanya sebuah cara untuk menekan agar suaranya tidak bergetar. Dan lagi, ya, dia memang sebal. dirasakannya Seunghyun mengeluarkan bebunyian aneh macam batuk yang tidak kunjung keluar. Betul saja, dia nyaris memukulinya untuk ronde yang kedua kalau saja badannya tidak semalas ini.

Tapi dia toh tidak mengatakan apa-apa, bahkan tidak untuk menyahuti perihal coca-cola raksasa itu. Dia memang dosa karena sudah meminta Seunghyun belikan, well, tapi percayalah, delikasi sebesar itu tak mungkin terbuang mubazir di flat ini. Lambat laun, pasti tutup itu akan dibuka dan isinya akan ditenggak ludes—mungkin hanya dalam satu malam. Entahlah. Tidak membukanya sekarang juga tidak akan membuat masalah, kan?

Gadis itu menurut saja ketika ditarik. Membetulkan posisi, ia menarik satu tangannya untuk menghapus air matanya. Tapi ditepuk-tepuk begitu… dia berjengit, kemudian ber-`sialsialsial` batiniah karena dia justru mulai lagi. Tangisannya tidak bermotif sebal atau marah atau rasa bersalah, namun lebih ke menyelesaikan apa yang telah dimulai. Tanggung, memang. Dan sudah lama sekali dia tidak menangis… makanya biarkan saja dia jadi tolol sekarang, ya?

Matanya dikucek sementara ia membenarkan kepalanya yang mulai pegal. Pipinya menempel ke bahu Seunghyun. Basah. Tahulah. Suaranya keluar dan terdengar parau.

“Kesal. Mau soal kamu… soal yang sebelumnya juga,” dia berkata, pautan di bibirnya belum menormal pula, “Tapi marahnya sudah hilang.” Kali ini ia menggosok hidungnya, “Sudah, ah. Aku nggak mau ngomongin ini lagi.”




JAE SEUNGHYUN

Bahunya Seunghyun basah, betulan basah--dan sudah cukup lama juga T.K. bersandar di tubuhnya, pipi anak perempuan itu menempel di bahu. Ia membiarkan saja, terutama ketika air mata gadis itu perlahan menderas dan membuatnya meracau tanpa ampun. Lalu kesunyian mengambil alih dan membuat Seunghyun kembali memperhatikan sekitar--mencari-cari hal lain yang bisa dikerjakan, kayaknya.

Sadar kalau tadi dia memeluk T.K. karena panik. Sudah lama memeluknya, maka rasa panik itu pun berangsur-angsur hilang, dan ia sekarang dihentak rasa sadar lagi--tentang apa yang dia lakukan. Hm, bukannya ia menganggap memeluk T.K. itu sesuatu yang besar juga, sih; karena yang ia pikirkan bukan soal memeluknya; tapi bagaimana cara menghentikan T.K. menangis (meskipun akhirnya ia membiarkan T.K. menangis juga, sih).

Punggungnya terasa tertekan bagian pinggiran sofa. Eh, masih salah juga posisinya. Tubuh T.K. sepertinya sudah bertumpu penuh ke tubuhnya, dan rasanya agak berat.... meskipun tidak seberat yang ia perkirakan sebelumnya. Pelan ia membetulkan lagi posisi tubuhnya. "Masih kesal? Sama aku?" anak lelaki itu kembali tertawa karena komentar T.K., "Kalo gitu harusnya kamu nggak boleh numpang naruh berat di sini."




FONG TIAN KAI.


Didn’t I tell you to let it slip away?



“K-kalau nggak suka… ya udah.”

Karena, sebetulnya, tidak pernah sekalipun dia kesal dengan anak lelaki itu.

Save for his tardiness, cuma itu saja yang mengganggu Tian Kai. Sisanya, tidak pernah betul-betul masuk ke hatinya. Dia tidak suka berbohong, terlebih kepada mereka-mereka yang dekat dengannya. (Terlebih lagi kepada Seunghyun.) Untuk yang kali ini, oh, inginnya Tuhan memaklumi. Meski ada toyoran kelewat kencang atau teriakan perihal main kotor saat bola tangan, toh Tian Kai tidak pernah sebal. Tidak pernah membenci. Lidahnya menggantungkan kata itu sebagai bentuk pelarian. Dia sebal. Tapi bukan karena Seunghyun. Karena dia tidak tahu Seunghyun bisa berlaku segoblok itu. Karena Seunghyun selalu mau bergerak karena masalah yang ia buat.

(Karena dia merasa begitu nyaman mendengar suara tenang itu—padahal rindu pula pada `EH?!` goblok menyahuti poin rendah di depan mesin TC.)

Dia terus memikirkan mengenai eksistensinya yang merepotkan. Pada senja ketika pintu apartemennya dibuka demi wujud yang menemani, derap-nyaris-terpeleset di tangga hanya untuk datang tepat waktu, tengah malam ketika Bibi Chun tidak ada—itu dia semua yang mengakibatkan. Dan Seunghyun selalu ada, selalu ada, tanpa sekalipun bilang keberatan. Untuk tindakan yang seperti itu, dia tidak bisa tidak merasa bersalah. Apalagi dia masih mau datang hari ini, setelah dia lepas kendali… dia malu. Penyangkalannya toh akan selalu terlepas. Dia malu. Karena begitu bergantung pada satu sosok (yang bahkan tak pernah ogah turun tangan).

Dan dia pula merasa bego karena dari semua orang di bumi Seoul, di depan Seunghyun dia memilih untuk runtuh. Untuk jadi emosional dan kekanakan, beberapa jam saja.

Enam belas tahun dan tidak pernah bertemu orang setolol ini.

Matanya memerah dan membengkak, dia bisa merasa. Menangis tanpa jeda di bahu seseorang dan menjadikan jaketnya sebagai saputangan. Perlahan tangannya melepas, kepalanya bergerak menjauh, meninggalkan tempat di mana dia merasa begitu kecil (dan aman). Pundaknya sendiri berhenti bergetar, perlahan-lahan. Matanya diseka. Isaknya terdengar, masih. Dia menunduk menghadap sang pemuda. Tidak mau wajahnya yang berantakan itu dilihat. Sudah cukup dia membobol dindingnya dalam waktu sekian puluh menit.

Dia akan mulai membenci sentuhan pemuda itu.

“Seunghyun,”

(Karena dadanya seperti meledak.)

Dia harus bicara padanya. Untuk selalu ada. Untuk kerelaannya dan kesetiakawanannya dan kebaikannya. Dia bukan sahabat yang baik. Perbuatan pemuda itu hanya bisa dibalasnya dengan makanan yang bukan racikannya, malam-malam penuh film dan game, dan tawa—yang mana sering melantun mengejek,

“…makasih, ya.”

pula, dengan ucapan lirih macam itu.

Tian Kai tidak tahu dia menyayangi Seunghyun sebesar ini.


I just can’t understand why you cared to stay.





JAE SEUNGHYUN

Setelah beberapa waktu berlalu dan isak tangis itu mereda, barulah Seunghyun serasa diingatkan tentang apa yang baru saja terjadi dalam jangka waktu beberapa puluh menit tadi.

Ketika ia memeluk Tian Kai, maka yang ia pedulikan hanya bagaimana cara membuat gadis itu agar kembali tenang lagi. Karena T.K. yang ia lihat setiap hari adalah T.K. yang berteriak dari kelas sebelah, memberondongnya dengan pertanyaan tentang makan siang atau bermain game. Tentang T.K. yang berisik dan menebar emotikon seru kemana-mana, menendangnya kalau jalannya terlalu lambat atau menantangnya main Call of Duty semalaman.

Meskipun, pada akhirnya, dia masih juga tak mengerti mengapa T.K. tahu-tahu menangis. Apa penyebabnya. Mengapa T.K. jadi kesal padanya. Ah, dia memang bodoh. Nggak bisa mengerti perasaan perempuan--mengapa begini, mengapa begitu. Ia tak mengerti mengapa T.K. jadi sebal. Tapi goblok-nya mungkin benar.

Tapi ia merasakan perasaan lega ketika anak perempuan itu memilih menangis di bahunya--dan bukan orang lain; memilih untuk diam di sana--dan bukannya pergi; meskipun mungkin, yang sebelumnya terpikir di kepalanya bukan T.K. yang seperti ini. Gadis itu terlihat kecil, dengan suaranya yang serak dan tangannya yang mungil mendekapnya tadi. Ketika candaannya berakhir, dan akhirnya tubuh mungil itu meninggalkan tubuhnya, ia merasakan ada yang hilang.

Perlahan tangannya terulur, menyentuh poni gadis itu yang menutupi wajahnya yang masih merah karena terus tertekan sedari tadi. Wajah yang sudah tidak jelas basah di mana saja. Disentuhnya wajah yang masih terasa lembap itu, bermaksud hendak mengangkatnya--namun tidak jadi. Tangannya langsung berpindah menepuk-nepuk kepala Tian Kai, sementara Seunghyun sendiri menganggukkan kepala. Sesaat wajahnya terasa kaku--sebelum ia tersenyum tipis. Entah mengapa rasanya sulit. Meskipun tadi sebelumnya ia tertawa.

"Ne." Seunghyun berdiri, menepuk-nepuk bahunya yang basah. Tak lagi melirik T.K. yang masih duduk di sofa. Lalu anak lelaki itu berlalu ke dapur. "Aku ambilkan air minum saja, ya."

Memang dia bodoh. Dia masih tak mengerti. Sama sekali. Dan tidak, ia tak mau memikirkannya. Lain kali saja.

end.